Senin, 15 Desember 2008

REFLEKSI HARI IBU : JASA IBU

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan membentuk dinamika zaman. Lahirnya generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang ibu. Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan. pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak. Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban dan pusat pembentukan nilai, tak seorang pun menyangsikannya.
Islam memberikan perhatian khusus kedudukan seorang ibu dalam pergaulan masyarakat. Dikisahkan, seorang sahabat yang bernama Jahimah datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku ingin ikut berperang dan minta pendapatmu.” Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu masih punya ibu? Jawabnya, “Masih ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Uruslah ibumu, sesungguhnya surga terletak di bawah telapak kakinya.”
Rasulullah SAW menjadikan bakti kepada ibu lebih utama daripada berjihad di jalan Allah SWT. Jihad oleh Jahimah itu adalah jihad ofensif dengan peserta tertentu. Adapun jihad defensif menjadi kewajiban setiap muslim, karena ia membela keselamatan ibu.
Suatu ketika ada seorang sahabat datang menemui Rasulullah SAW menanyakan siapakah yang paling berhak mendapatkan bakti dari anak. “Ya Rasulullah siapakah yang paling berhak menerima baktiku?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Kemudian siapa lagi? “Ibumu.” Siapa lagi? “Ibumu.” Kemudian siapa lagi? “Bapakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meskipun banyak ayat Al-Qur’an berpesan agar berbakti kepada kedua orang tua, namun ada tekanan lebih khusus kepada ibu, karena perjuangan dan pengorbanannya. Allah SWT berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbakti) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14).
Dalam ayat yang lain, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (QS. Al-Ahqaf : 15).
Begitu besarnya jasa kedua orang tua, terutama ibu, sehingga apapun yang kita
lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tua tidak akan dapat membalas
jasa keduanya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar melihat seseorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja ‘Si Ibu’ menginginkan. Orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Jawab Abdullah, “Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu”.
Orang tua kita telah mengurusi kita mulai dari kandungan dengan beban yang dirasakannya sangat berat dan susah payah. Demikian juga ketika melahirkan, ibu mempertaruhkan jiwanya antara hidup dan mati. Ketika kita lahir, ibu-lah yang menyusui dan membersihkan kotoran. Semuanya dilakukan oleh ibu kita, bukan oleh orang lain. Ibu selalu menemani ketika kita terjaga dan menangis baik di pagi, siang atau malam hari. Apabila kita sakit tidak ada yang bisa menangis kecuali ibu. Sehingga kalau ditawarkan antara hidup dan mati, ibu memilih mati agar kita tetap hidup. Itulah jasa seorang ibu terhadap anaknya. Wallahu a’lam.

Kamis, 04 Desember 2008

BERQURBAN

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al Kautsar [108] : 1-2).
Dalam ayat di atas, setelah Allah SWT menyebutkan nikmat-nikmat yang begitu banyak, Allah SWT mengingatkan hamba-hamba-Nya agar melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat dan berqurban sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.
Berkaitan dengan qurban, Allah SWT menegaskan dalam ayat-Nya yang lain, “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka …” (QS. Al Hajj [22] : 34)
Qurban, sesuai makna harfiahnya berasal dari kata qaruba-yaqrubu-qurbanan yang berarti dekat, adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena Dia Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Secara ritual, melalui qurban itu, manusia bermaksud menggapai ridha Ilahi. Sedangkan dimensi sosial, berqurban sebagai ajang solidaritas sesama manusia.
Rasulullah SAW telah memerintahkan berqurban dengan bahasa yang tegas dan lugas, bahkan disertai dengan ancaman. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW melarang seseorang yang memiliki kelapangan harta untuk mendekati tempat shalat (masjid) jika ia tidak menyembelih qurban. Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban berqurban.
Berqurban tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan qurban, namun lebih dari itu, berqurban berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah SWT dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya.
Berqurban juga berarti menyembelih sifat-sifat hewan yang ada dalam diri kita. Sangatlah berat, tidak semua orang yang berqurban mampu melakukannya kecuali mereka yang sadar bahwa semua yang mereka miliki (harta, jabatan, keluarga, popularitas, dll) hanyalah titipan Allah SWT yang tidak layak untuk disombongkan dan bisa diambil-Nya kapan saja Dia kehendaki.
Bila sikap ini sudah dimiliki oleh umat Islam, maka umat akan maju dalam segala hal. Betapa tidak? Bagi yang berprofesi sebagai pengusaha, ia akan berqurban dengan bisnis yang halal. Bagi orang yang berpunya, ia akan berqurban dengan banyak berderma. Seorang politisi akan berqurban demi kemaslahatan umum. Pemimpin berqurban untuk kesejahteraan rakyatnya dan begitu seterusnya.
Karena itu Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, ”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Hajj [22] : 37). Wallahu a’lam.

TIPOLOGI IBADAH HAJI

Oleh Imam Nur Suharno

“Akan datang suatu masa yang dialami manusia yaitu: orang kaya dari umatku yang melaksanakan ibadah haji (niatnya) karena wisata, orang kalangan menengah (niatnya) karena berdagang, orang kalangan ahli pengetahuan (niatnya) karena ria dan sum’ah, dan kaum fakir di antara mereka (niatnya) karena untuk meminta-minta.” (HR Ibnu Jauzy).
Hadits di atas menjelaskan tentang tipologi orang-orang yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Pertama, ibadah haji untuk wisata. Yaitu orang-orang yang diberikan kecukupan harta, kemudian ia melaksanakan ibadah haji dengan tujuan wisata ke tanah suci. Sehingga ibadah haji yang dilaksanakan tidak berpengaruh terhadap perbaikan pribadi, keluarga dan masyarakatnya, melainkan agar masyarakat menilainya sebagai orang yang kaya.
Kedua, ibadah haji untuk berdagang. Yaitu orang-orang dari kalangan menengah yang menunaikan ibadah haji dengan tujuan utamanya untuk berdagang. Sehingga aktifitasnya di tanah suci lebih banyak pada aktifitas berdagang daripada ibadah kepada Allah SWT. Orientasinya adalah untung dan untung.
Ketiga, ibadah haji karena ria dan sum’ah. Yaitu para ahli pengetahuan yang melaksanakan ibadah haji hanya sekedar untuk mengejar gelar haji, sehingga sepulang dari tanah suci dipanggil pak haji atau bu haji.
Keempat, ibadah haji untuk meminta-minta. Yaitu orang-orang dari kalangan kaum fakir yang berangkat ke tanah suci dalam rangka untuk mengharap belas-kasihan orang lain, dengan harapan sekembalinya dari tanah suci dapat mengumpulkan harta yang cukup. Dan aktifitas meminta-minta ini menjadi profesi tahunan baginya.
Sedangkan tipologi ibadah haji yang akan mendapatkan predikat haji mabrur adalah ibadah haji yang dilaksanakan dengan penuh keimanan dan keikhlasan semata-mata karena Allah SWT. Tipologi seperti inilah yang dijamin oleh Allah SWT dengan surga sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Tidak ada balasan bagi haji mabrur melainkan surga.” (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Menurut Imam Nawawi dalam syarah Muslim, ”Haji mabrur ialah haji yang tidak dikotori dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riya, tidak ada sum’ah, rafats (perkataan kotor) dan tidak fusuq.”
Kemabruran ibadah haji tidak ditentukan oleh penilaian masyarakat atau orang lain. Akan tetapi sejauhmana ia mampu memberikan teladan bagi keluarga dan masyarakatnya. Ia akan berusaha untuk menjadi bagian yang dapat menyelesaikan masalah, bukan bagian dari masalah itu sendiri.
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW bersabda, ”Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.” Wallahu a’lam.

Sabtu, 01 November 2008

PEMBELAJARAN TERPADU

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

Minimnya jam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum, tampaknya mengundang keprihatinan yang mendalam dari para guru agama. Dalam lokakarya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI beberapa waktu yang lalu di Cirebon, yang diikuti guru SLTP dan SMA/sederajat, para guru meminta tambahan jam mengajar PAI melalui ekstrakurikuler di masin-masing sekolah.
Apakah dengan ditambahnya jam pelajaran PAI menyelesaikan masalah? Sebuah pertanyaan yang perlu kita renungkan. Sejatinya, tujuan pendidikan nasional tiada lain adalah untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Insan yang utuh diciptakan melalui proses yang baik dan benar. Rasanya sangatlah tidak cukup mewujudkan insan seutuhnya hanya dengan dua jam per pekan untuk mata pelajaran PAI. Ditambah lebih dari dua jam pun belum menjamin bisa mewujudkan manusia seutuhnya.
Menurut hemat penulis, ada beberapa cara yang dapat kita dilakukan dengan tanpa menambah jam pelajaran PAI. Pertama, memadukan mata pelajaran umum dengan PAI. Karenanya, guru harus mampu mengaitkan atau memadukan mata pelajaran yang diajarkan dengan PAI. Misalnya, guru matematika menjelaskan perhitungan dengan contoh-contoh perhitungan zakat harta atau perhitungan warisan. Guru bahasa dan sastra harus berusaha agar tema-tema yang diajarkan, baik pada bagian mengarang, cerita, maupun puisi mengandung ide-ide Islami. Guru ilmu komputer, ketika menjelaskan kepada siswa cara pembuatan program, guru bisa menjelaskan kepada siswa cara pembuatan program perhitungan sistem perbankan Islam, pendataan jamaah haji dan umrah, serta jumlah penduduk di negeri Islam. Dengan pembelajaran terpadu ini secara otomatis ketika siswa belajar pelajaran umum maka ia juga belajar Pendidikan Agama Islam.
Penulis telah mencoba menyusun modul pelajaran ekonomi terpadu, yaitu pembelajaran materi ekonomi yang dipadukan dengan materi PAI. Misalnya, bahasan tentang kegiatan konsumsi. Kata konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consuption, yang berarti memakai atau menghabiskan. Konsumsi adalah kegiatan menghabiskan, memakai, menggunakan, atau mengurangi kegunaan suatu barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Orang yang kegiatannya menghabiskan, memakai, atau mengurangi kegunaan suatu barang dan jasa disebut konsumen.
Dalam sistem perekonomian, kegiatan konsumsi memainkan peranan penting. Adanya kegiatan konsumsi akan mendorong terjadinya kegiatan produksi dan kegiatan distribusi. Dalam melakukan kegiatan konsumsi hendaknya sesuai dengan kemampuan (penghasilan) yang dimiliki. Melakukan kegiatan konsumsi yang berlebihan berarti bertentangan dengan pola hidup sederhana, dan Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A’raf : 31).
Kedua, menghimpun ayat-ayat Alqur’an dan hadits yang terkait dengan materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini guru agama berperan untuk membantu guru-guru umum dalam menyiapkan ayat dan hadits yang terkait. Sehingga, di kemudian hari akan tersusun kurikulum terpadu.
Ketiga, membangun pola hubungan yang agamis. (1) ketika masuk kelas, guru hendaknya menunjukkan wajah yang cerah kepada para siswanya. Kemudian mengucapkan salam. Begitu pula jika bertemu di luar kelas, hendaknya mengucapkan salam dan berjabat tangan. (2) guru memulai pembicaraan dengan mengucapkan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi SAW. (3) jika hendak menjelaskan pelajaran di atas papan tulis, buatlah tulisan basmalah terlebih dahulu, agar kalimat itulah yang pertama kali dilihat oleh para siswa. Dengan demikian, para siswa tahu bahwa setiap akan memulai aktivitas harus dimulai dengan membaca basmalah. Dan (4) setelah selesai pelajaran guru hendaknya menutup dengan do’a, kemudian mengucapkan salam.
Melalui pembelajaran terpadu ini diharapkan dapat membentuk peserta didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
*) Republika, Akademia, Guru Menulis, Rabu, 11 Juni 2008.

IKHLAS

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

Ikhlas merupakan salah satu dari berbagai amal hati. Amal akan menjadi sempurna, hanya dengan ikhlas. Amal yang tidak disertai dengan ikhlas, ibarat gambar mati atau raga tanpa jiwa. Allah SWT hanya menginginkan hakikat amal, bukan rupa dan bentuknya. Dia menolak setiap amal yang pelakunya tertipu dengannya.
Maksud ikhlas di sini adalah menghendaki keridhaan Allah SWT dengan suatu amal, membersihkannya dari segala noda individual maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah SWT. Praktis dalam ikhlas, tidak ada noda yang mencampuri suatu amal.
Imam Al Ghazali pernah mengatakan bahwa segala sesuatu digambarkan mudah bercampur dengan sesuatu lainnya. Jika bersih dari pencampurannya dan bersih darinya, maka itulah yang disebut murni. Perbuatan yang bersih dan murni disebut ikhlas.
Allah berfirman, "…(berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya." (QS An Nahl : 66).
Kemurnian susu itu diukur tanpa adanya campuran kotoran dan darah atau segala sesuatu yang memungkinkan bercampur dengannya. Ikhlas kebalikan syirik. Siapa yang tidak ikhlas, berarti dia musyrik. Hanya saja syirik itu mempunyai beberapa derajat.
Ikhlas dalam tauhid kebalikan dari syirik dalam uluhiyah. Syirik ada yang tersembunyi, ada pula yang terang-terangan. Begitu pula ikhlas. Ikhlas dan kebalikannya sama-sama menyusup ke dalam hati karena memang hatilah tujuannya.
Ikhlas akan memberikan kekuatan untuk beramal secara berkesinambungan. Seseorang yang beramal karena nafsu perut akan menghentikan amalnya bila tidak mendapatkan sesuatu yang mengenyangkan nafsunya.
Orang yang beramal karena mengharap ketenaran dan kedudukan, tentu akan bermalas-malasan atau merasa berat, jika ada pertanda harapannya akan kandas. Orang yang beramal karena mencari muka di hadapan pemimpin atau penguasa, tentu akan menghentikan amalnya, jika pemimpin tersebut turun dari jabatannya.
Sedangkan orang yang beramal karena Allah SWT, tidak akan memutuskan amalnya, tidak mundur dan tidak malas-malasan sama sekali. Sebab alasan yang melatarbelakangi amalnya tidak pernah sirna.
Allah SWT berfirman, "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (QS Al Qashash : 88).
Upaya mengetahui hakikat ikhlas dan pengamalannya laksana lautan yang dalam. Semua orang bisa tenggelam di dalamnya, kecuali hanya sedikit. Inilah yang dikecualikan dalam firman Allah SWT, "Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka." (QS Shad : 83). Wallahu a’lam bi ash shawab.

Selasa, 14 Oktober 2008

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RAMADHAN

Ramadhan 1429 Hijriyah sudah berlalu, dan telah meninggalkan kita. Ramadhan itu kini tinggal kenangan. Sekarang saatnyalah memetik hasil apa yang didapat dari bulan Ramadhan. Harapan terbesar setiap muslim adalah diterimanya amal ibadah selama Ramadhan, baik ibadah yang bersifat individu, maupun ibadah yang bersifat sosial.
Target akhir dari puasa Ramadhan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah meraih predikat takwa. Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183).
Dengan takwa seseorang akan mampu mengontrol tingkah lakunya. Ia akan selalu menimbang apakah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan rasul-Nya atau tidak. Takwa menjadi karakter yang dapat mendorong seseorang menjadi manusia paling mulia di sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman, ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat : 13).
Keberhasilan orang yang berpuasa bukan dilihat dari aktifitasnya selama Ramadhan, tetapi sejauhmana ia dapat mengimplementasikan nilai-nilai Ramadhan pada sebelas bulan berikutnya. Ramadhan adalah bulan pendidikan. Karena itu, Ramadhan merupakan bulan yang dapat membawa perubahan secara total dalam berbagai sisi kehidupan, baik dalam skala individu, keluarga maupun masyarakat. Perubahan secara vertikal maupun horizontal. Perubahan menuju perbaikan dalam pelbagai dimensi kehidupan adalah sebuah keniscayaan.
Ada beberapa nilai puasa Ramadhan yang dapat diimplementasikan secara berkelanjutan. Saat berpuasa dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang pada hakikatnya halal bila dilakukan pada siang hari di selain Ramadhan, seperti makan dan minum. Maka selesai Ramadhan harus berkomitmen untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik. ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah : 168). Dalam ayat yang lain disebutkan, ”Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang batil.” (QS. Al-Baqarah : 188).
Saat berpuasa dianjurkan pula untuk menghindari setiap perkataan kotor, maka selesai Ramadhan berkomitmen dengan ucapan yang baik dan berusaha menjauhi segala bentuk permusuhan dan menyakiti orang lain. Saat Ramadhan dilatih untuk senang berinfak, maka setelah Ramadhan berkomitmen untuk peduli terhadap mereka yang membutuhkan pertolongan. Saat Ramadhan dilatih pula untuk disiplin dengan sahur dan berbuka pada waktu yang telah ditentukan, maka di luar Ramadhan pun harus berkomitmen untuk senantiasa disiplin waktu. Karena tidak disiplin waktu akan berakibat melemahnya produktifitas kerja.
Saat berpuasa Ramadhan dilatih untuk bersikap jujur dan merasakan adanya pengawasan Allah SWT, maka usai Ramadhan harus berkomitmen untuk berperilaku jujur dan menghadirkan Allah dalam setiap aktifitasnya. Dengan kehadiran Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya, maka seseorang akan senantiasa terbimbing dari perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya. Dalam situasi negeri yang carut-marut seperti saat ini, mau tidak mau karakter ini harus dilahirkan kembali. Para penguasa, birokrat, pegawai negeri maupun swasta, pedagang, buruh, dan sebagainya perlu diingat bahwa kita semua dalam pengawasan Allah SWT.
Ramadhan berpotensi untuk memberikan warna perubahan ke arah yang lebih baik. Mudah-mudahan Allah SWT selalu menyertai kita dengan bimbingan, inayah dan hidayah-Nya, sehingga kita dipertemukan dengan rahmat, maghfirah dan ridha-Nya. amin.

PERANAN DOA DALAM PENDIDIKAN

Perlu disadari bahwa gelar yang disandang seseorang bukanlah jaminan keberhasilan dalam mendidik. Sebaliknya, sangat mungkin gelar yang dimiliki dapat menjadi bumerang menuju kegagalan. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang terlalu yakin dengan kemampuan yang dimilikinya.
Kadang guru sering lupa, sebagai manusia, kita hanya mampu berusaha. Selebihnya, keputusan akhir tentang hasil usaha kita tetap bergantung kepada Allah SWT. Sikap terlalu yakin dengan kemampuan diri hingga mengabaikan Allah SWT akan membuatnya kehilangan kekuatan jiwa.
Ilmu yang dimiliki hanya bisa digunakan sebagai pedoman, sementara itu, berhasil-tidaknya proses pendidikan tetap harus diserahkan kepada Allah SWT. Doa yang selalu dipanjatkan bakal turut menentukan keberhasilan lebih lanjut. Intinya, seorang guru harus senantiasa melibatkan Allah SWT dalam mendidik. Sebab Sang Pencipta, Allah-lah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya.
Doa termasuk hal penting yang harus selalu kita pegang teguh. Melalui doa, rasa cinta dan kasih sayang kepada anak didik akan bertambah mekar di dalam hati. Untuk itu, hendaklah guru senantiasa memohon kepada Allah agar Dia meluruskan anak didiknya dan masa depannya. Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Ada tiga macam doa yang tidak diragukan lagi, pasti diterima, yaitu doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua (guru) kepada anaknya.” (HR. Tirmidzi).
Karenanya, Rasulullah melarang para orang tua (guru) mendoakan keburukan bagi anak didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya. Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian mendoakan keburukan kepada diri kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan kepada anak-anak kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan kepada pelayan-pelayan kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan kepada harta kalian. Janganlah kalian mendoakan keburukan sebab jika waktu doa kalian bertepatan dengan saat-saat dikabulkannya doa maka Allah mengabulkan doa kalian (yang buruk itu).” (HR. Abu Dawud).
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa ada seseorang yang datang kepada Abdullah bin Al-Mubarak seraya mengadukan perihal kedurhakaan anaknya. Ibnu Mubarak berkata, ”Pernahkah kamu mendoakan keburukan baginya?” Ia menjawab, ”Ya, pernah”. Ibnu Mubarak mengatakan, ”Engkau telah menghancurkannya”. Seharusnya, daripada engkau penyebab kehancurannya dengan mendoakan keburukan baginya lebih baik engkau menjadi penyebab keshalihannya dengan mendoakan kebaikan untuknya.
Guru merupakan profesi yang sangat berat, tidak sekedar menyampaikan ilmu. Tanggung jawabnya pun tidak sebatas di dunia. Sejatinya guru adalah arsitek peradaban, jika ia salah dalam mendidik, berarti ia salah dalam membentuk peradaban. Karenanya, guru harus senantiasa mendoakan anak didiknya di setiap waktu, terutama di waktu malam.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita mendoakan mereka?

PENDIDIKAN: UPAYA MEMBENTUK BUDAYA BANGSA

Reformasi 1998 memang berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi negara demokrasi, namun ternyata atas nama demokrasi juga, kekerasan seperti telah menjadi pertunjukan teater di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekerasan demi kekerasan pun berlangsung tiada henti sejak 1998. Kekerasan seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia. Lebih memprihatinkan lagi, di beberapa kota besar, budaya kekerasan seperti menjadi ekstrakurikuler para pelajar, baik SMP, SMA, SMK, dan bahkan mahasiswa. Sedemikian parahnya masalah-masalah ini berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, sehingga secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi kehidupan seluruh warga negara Indonesia.
Mengapa bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang religius, ramah, cinta damai, dan santun, tiba-tiba bermetamorfosis menjadi bangsa yang menjunjung tinggi budaya kekerasan? Padahal, pendidikan di Indonesia baik formal, non formal maupun informal merupakan proses yang dengan sengaja dilakukan untuk tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian yang mantap, mandiri serta bertanggungjawab, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut hemat penulis, ada beberapa cara yang dapat dilakukan guna mengembalikan budaya bangsa yang santun, cinta damai, ramah, dan religius. Pertama, melalui kurikulum terpadu (integrated curriculum). Menurut Cohen dan Manion (1992), kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Oleh karena itu, seyogyanya kurikulum terpadu ini perlu dirumuskan melalui pendekatan yang komprehensif, sehingga mampu menjelaskan realitas keagamaan yang sebenarnya. Hal tersebut sebagai landasan pengembangan, cara dan proses pengembangan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Karena hakikat dari pendidikan adalah perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan setelah mengetahui kemudian mengamalkannya.
Kedua, melalui internalisasi nilai-nilai keagamaan. Penyadaran merupakan inti proses pembelajaran dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas, maka siswa mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Seperti halnya pendekatan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan, pembiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama, menggugah perasaan dan spiritual peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agama, memberikan peranan kepada akal dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, serta menyajikan ajaran agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Hal ini akan mewujudkan keshalihan sosial, dan keshalihan individual peserta didik dan merubah perilaku yang hanya menjadi simbol-simbol keagamaan ke nilai substantif yang diwujudkan dalam kehidupan obyektif empiris sehari-hari.
Ketiga, melalui keteladanan. Keteladanan merupakan sarana efektif untuk menuju keberhasilan pendidikan. Pendidik adalah prototipe dalam pandangan siswa. Oleh sebab itu, teladan yang baik dalam pandangan siswa pasti akan diikutinya dengan perilaku dan akhlak yang baik pula. Keteladanan itu akan terpatri dalam jiwanya. Oleh karena itu, orang-orang terdahulu begitu serius dalam memilih pendidik yang terbaik untuk anak mereka. Umar bin Utbah menulis surat kepada pendidik anaknya, ”Hendaklah yang pertama kau lakukan dalam menshalihkan anakku adalah menshalihkan dirimu sendiri sebab pandangan mereka sangat ditentukan oleh pandanganmu. Yang disebut baik oleh mereka adalah apa yang kau lakukan dan yang disebut buruk oleh mereka adalah apa yang kau tinggalkan.” Dalam peribahasa dikatakan, guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari.
Dan keempat, pembentukan lingkungan sekolah yang kondusif sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama. Oleh karena itu sekolah harus mengusahakan terciptanya situasi yang tepat sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar (learning experiences) pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber (resources) dan menggunakan strategi pembelajaran (teaching-learning strategy) yang tepat (appropriate). Seperti sekolah plus pesantren atau sekolah Islam terpadu. Sedangkan bagi sekolah yang siswanya pulang pergi, maka keluarga harus mampu menciptakan suasana rumah yang mendukung pada pembelajaran di sekolah.

INTERNALISASI NILAI-NILAI AGAMA MELALUI PEMBELAJARAN

Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab.

Sebagai bangsa yang beragama, kita sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat dalam hal moralitas dan etika. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara khusus menekankan pentingnya pendidikan bagi peningkatan keimanan dan akhlak. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia ...”.

Meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia merupakan ranah Pendidikan Agama dan Keagamaan yang seyogyanya dirumuskan melalui pendekatan yang komprehensif, sehingga mampu menjelaskan realitas keagamaan yang sebenarnya. Hal tersebut sebagai landasan pengembangan cara, proses pengembangan dan pencapaian tujuan pendidikan.

Kegiatan pembelajaran merupakan fungsi pokok dan usaha yang paling strategis guna mewujudkan tujuan institusional. Tujuan setelah proses pembelajaran adalah sistem nilai yang harus tampak dalam perilaku dan merupakan karakteristik kepribadian siswa. Pembelajaran sebagai sebuah metode menghendaki adanya perekayasaan situasi terencana yang memberikan perlakuan tertentu, untuk mengetahui akibat-akibatnya terhadap peserta didik. Menggunakan metode secara terencana, sistematik, dan terkontrol baik dalam bentuk desain fungsional maupun faktoral melalui pengenalan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan melalui bentuk penggambaran konsep-konsep yang bersifat penghayatan dan pengamalan.

Pembelajaran dan internalisasi nilai-nilai agama di lingungan lembaga pendidikan menghadapi berbagai persoalan mendasar, di antaranya terkait dengan relevansi materi pembelajaran, strategi pembelajaran, dan keterbatasan bahan bacaan yang dapat mendukung perkembangan keagamaan peserta didik.

Sejauh ini penanaman nilai-nilai keagamaan di sekolah masih menitikberatkan kepada domain kognisi yang cenderung menampilkan agama sebagai seperangkat rumusan kepercayaan dan ajaran yang cenderung indoktrinatif-normatif. Akibatnya bahan-bahan bacaan untuk mendukung domain tersebut terbatas pada buku-buku teks. Padahal upaya penanaman nilai-nilai keagamaan tidak sekedar menyangkut dimensi kepercayaan, tetapi lebih dari itu adalah dimensi pembudayaan. Dalam hal ini dibutuhkan agama dalam bentuknya yang efektif dan praktis. Artinya, agama mesti ditampilkan dalam performan historik, kontekstual dan aktual yang disajikan melalui pengalaman dan kisah hidup yang mengekspresikan perilaku keagamaan dan menjawab berbagai problem keseharian dalam suatu dimensi ruang, waktu dan konteks tertentu melalui pola pembelajaran yang diarahkan pada upaya menciptakan model pembelajaran bagi peserta didik dan mampu memberi warna baru bagi pembelajaran nilai keagamaan.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menginternalisasikan nilai-nilai agama kepada peserta didik. Pertama, melalui pembelajaran terpadu. Yaitu guru harus mampu memadukan atau mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan nilai-nilai agama. Misalnya, guru matematika menjelaskan perhitungan dengan contoh-contoh perhitungan zakat harta atau perhitungan warisan. Guru bahasa dan sastra harus berusaha agar tema-tema yang diajarkan, baik pada bagian mengarang, cerita, maupun puisi mengandung ide-ide Islami. Guru ilmu komputer, ketika menjelaskan kepada siswa cara pembuatan program, guru bisa menjelaskan kepada siswa cara pembuatan program perhitungan sistem perbankan Islam, pendataan jamaah haji dan umrah, serta jumlah penduduk di negeri Islam. Melalui pembelajaran terpadu ini secara tidak langsung pada saat siswa belajar mata pelajaran umum maka ia juga belajar nilai-nilai agama.

Kedua, membangun budaya lingkungan yang religius. Misalnya, ketika masuk kelas, guru hendaknya menunjukkan wajah yang cerah kepada para siswanya. Kemudian mengucapkan salam. Begitu pula jika bertemu di luar kelas, hendaknya mengucapkan salam dan berjabat tangan. Guru memulai pembicaraan dengan mengucapkan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi SAW. Jika hendak menjelaskan pelajaran di atas papan tulis, buatlah tulisan basmalah terlebih dahulu, agar kalimat itulah yang pertama kali dilihat oleh para siswa. Dengan demikian, para siswa tahu bahwa setiap akan memulai aktivitas harus dimulai dengan membaca basmalah. Dan setelah selesai pelajaran guru hendaknya menutup dengan do’a, kemudian mengakhiri pertemuan dengan mengucapkan salam.

Dan ketiga, mendoakan peserta didik. Kadang guru sering lupa, sebagai manusia, kita hanya mampu berusaha. Selebihnya, keputusan akhir tentang hasil usaha seseorang tetap bergantung kepada Allah SWT. Sikap terlalu yakin dengan kemampuan diri hingga mengabaikan peran Allah SWT akan membuatnya kehilangan kekuatan jiwa. Ilmu yang dimiliki hanya bisa digunakan sebagai pedoman, sementara itu, berhasil-tidaknya proses pendidikan tetap harus diserahkan kepada Allah SWT. Doa-doa yang selalu dipanjatkan bakal turut menentukan keberhasilan lebih lanjut. Intinya, seseorang harus senantiasa melibatkan Allah SWT dalam mendidik. Sebab Sang Pencipta, Allah-lah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya.

Melalui pembelajaran yang terpadu ini diharapkan terjadi proses internalisasi nilai-nilai agama pada diri peserta didik. Sehingga ia tidak hanya giat dalam menjalankan ibadah ritual, tetapi ia pula komitmen melakukan aktivitas-aktivitas yang terbingkai dengan nilai-nilai agama. Semoga. Wallahu a’lam.

Jumat, 05 September 2008

Ramadhan Bulan Pendidikan

Puasa di bulan Ramadhan bisa diibaratkan sekolah khusus yang ajaran barunya selalu dibuka setiap tahun dengan tujuan pendidikan praktis dalam menyerap nilai-nilai yang paling tinggi. Barangsiapa memasukinya untuk mendapatkan karunia Ilahi, kemudian ia berpuasa sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, lalu ia dapat melakukan ibadah tambahan sesuai yang telah disyariatkan, maka ia akan lulus dengan menyandang gelar muttaqin. Dengan gelar muttaqin orang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT dan terbebas dari api neraka.

Rasulullah SAW menegaskan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim).

DR. Raghib As-Sirjani dalam kitabnya ‘Ramadhan wa Bina’ul Ummah’ mengatakan, ada beberapa sisi pendidikan dalam puasa Ramadhan. Pertama, Ramadhan mendidik kaum muslimin untuk memenuhi perintah-perintah Allah SWT secara totalitas. Karenanya, tidak pantas seorang muslim jika selesai Ramadhan ketika mendengar salah satu hukum Allah SWT, atau mengetahui salah satu hukum Rasulullah SAW, ia memperdebatkannya.

Allah SWT mencintai hamba-hambaNya yang tunduk kepada-Nya tanpa membantah dan menaati-Nya tanpa ada keraguan. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).

Kedua, Ramadhan mendidik kaum muslimin agar menundukkan syahwatnya. Ketika Ramadhan kaum muslimin dilarang melakukan hal-hal yang pada hakikatnya halal bila dilakukan pada siang hari di selain Ramadhan. Seperti makan, minum, dan berhubungan suami-istri. Karenanya, seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Ramadhan, maka ia akan lebih mampu untuk menahan diri dari makanan dan minuman yang tidak jelas asal-usulnya, serta mampu untuk menjaga diri dari pergaulan lawan jenis yang diharamkan. Puasa, pada hakikatnya adalah memutus dominasi syahwat. Syahwat bisa kuat dengan makan dan minum, dan setan selalu datang melalui pintu-pintu syahwat. Maka dengan berpuasa syahwat dapat dipersempit geraknya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai para pemuda barangsiapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, sesungguhnya nikah itu bisa menahan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu sesungguhnya bisa mengendalikan syahwat.”

Ketiga, Ramadhan mendidik kaum muslimin agar mengendalikan sifat terburu nafsu serta memiliki kesanggupan untuk menahan amarah. Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman, ”Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Karena, sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Maka, apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, bersuara tidak pantas, dan tidak mau tahu. Lantas jika ada seseorang yang menghinanya atau memeranginya (mengajaknya berkelahi), maka hendaklah ia mengatakan, ’Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari Muslim).

Keempat, Ramadhan mendidik kaum muslimin untuk senang berinfak. Ramadhan mampu membentuk jiwa orang yang berpuasa menjadi dermawan dengan memberikan kebaikan kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda, ”Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril selalu menemuinya setiap malam bulan Ramadhan, lalu memantau bacaan Al-Qur’an beliau. Pada saat ditemui Jibril, Rasulullah lebih dermawan dengan penuh kebaikan (lebih cepat) daripada angin yang ditiupkan.” (HR. Bukhari Muslim).

. Kelima, Ramadhan mendidik kaum muslimin agar memiliki rasa persatuan, persaudaraan, dan kasih sayang. Segenap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia akan berpuasa pada hari yang sama dan berbuka pada hari yang sama pula. Mereka akan mulai berpuasa pada saat yang sama, ketika fajar, dan berbuka di saat yang sama pula, yaitu ketika maghrib. Ramadhan tidak membedakan antara yang kaya dan miskin, penguasa dan rakyat biasa. Sungguh luar biasa, ada jiwa kebersamaan yang memasuki hati kaum muslimin pada bulan Ramadhan.

Keenam, Ramadhan mendidik kaum muslimin merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain. Kaum muslimin merasakan penderitaan lapar dan dahaga untuk waktu tertentu pada siang Ramadhan. Ia merasa lapar dan menderita seperti yang sering dirasakan fakir miskin atau seperti yang dikatakan Ibnu Qayyim, ”Puasa dapat mengingatkan bagaimana rasanya perut keroncongan dan dahaga yang membakar dan sering dirasakan para fakir miskin”. Sehingga, di saat ia melihat orang lain serba kekurangan, maka tersentuhlah hatinya untuk berbagi kepada mereka.

Dan, ketujuh, Ramadhan mendidik ketakwaan dalam hati kaum muslimin. Sebab, tujuan yang ingin dicapai dari ibadah puasa adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa, yakni pribadi yang mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya. Dengan kehadiran Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya, maka orang tersebut akan senantiasa terbimbing dari perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya.

Setelah sebulan penuh dididik Ramadhan, ilmu pun didapat, maka langkah selanjutnya adalah mengamalkannya di sebelas bulan berikutnya. Islam menginginkan orang yang berilmu mengamalkan ilmunya demi kebaikan diri dan orang lain. Ilmu pada seseorang ibarat sebatang pohon dan amal sebagai buahnya. Perintah belajar dan menuntut ilmu bertujuan meningkatkan kuantitas dan kualitas amal muslim. Dengan amal itu pula, muslim memperoleh kebahagiaan di dunia dan selamat di akhirat.

Karenanya, hakikat dari belajar atau menuntut ilmu adalah perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan setelah mengetahui kemudian mengamalkannya. Sedangkan manusia yang tidak mampu lagi berubah (setelah belajar/menuntut ilmu) sejatinya ia telah mati. Oleh karena itu, jadilah manusia pembelajar, karena dengan belajar berarti akan ada perubahan, perubahan adalah keniscayaan, karena orang yang cerdas (sang pembelajar) adalah orang yang jeli untuk mengetahui dan mengakui kelemahan dirinya. Dari kesadaran tersebut, ia perbaiki dirinya agar selanjutnya ia dapat melakukan yang terbaik dalam hidup ini.

Sungguh, puasa mampu membentuk manusia baru, Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi baru lahir. Wallahu a’lam.

Jumat, 29 Agustus 2008

Puasa Membentuk Pribadi Takwa

Secara etimologi puasa berarti menahan atau menahan sesuatu dan meninggalkan. Dikatakan, kuda berpuasa ketika tidak mau berjalan, dan angin berpuasa ketika tidak mau bertiup atau berhembus. Dalam syair dikatakan, ”Kuda berpuasa (tidak mau berjalan) dan kuda yang lain tidak berpuasa, tidak menahan (mau berjalan)”.

Sedangkan secara terminologi syari’ah, puasa adalah seorang mukallaf menahan diri dengan niat mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, menahan dari makan dan minum, berhubungan suami-istri, dan muntah-muntah; atau menahan diri dari makanan, minuman dan berhubungan seksual, disertai dengan niat mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dan sempurnanya dengan menjauhi yang haram dan tidak terjerumus dalam hal-hal yang haram; atau menahan segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Ibadah puasa termasuk ibadah yang paling utama. Salah satu keutamaannya adalah ibadah puasa telah diwajibkan Allah SWT kepada semua umat manusia sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 183).

Dari ayat di atas, Allah SWT menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari ibadah puasa adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa, yakni pribadi yang mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya. Dengan kehadiran Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya, maka orang tersebut akan senantiasa terbimbing dari perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya.

Ada beberapa karakteristik yang menonjol pada pribadi yang bertakwa. Pertama, orang yang bertakwa akan senantiasa menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit. Kedua, mampu menahan amarah disaat ada kesempatan untuk marah. Ketiga, mudah mema'afkan kesalahan orang lain. Dan keempat, apabila terlanjur mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, ia bersegera memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukannya.

Karenanya, Allah SWT menjanjikan dua balasan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu: pertama, ampunan atas dosa yang telah dilakukan. Dan kedua, surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai yang sungguh menakjubkan.

Allah SWT befirman, ”Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS. Ali Imran [3] : 134-136).

Mari optimalkan bulan Ramadhan tahun ini dengan amal kebaikan agar kita bisa meraih gelar muttaqin. Jadikan Ramadhan tahun ini seakan-akan Ramadhan yang terakhir dalam hidup kita, sehingga kita bertekad untuk menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Wallahu a’lam.

Keistimewaan Bulan Ramadhan

Setiap sesuatu ada yang diistimewakan. Di antara rumah dari rumah Allah SWT yang istimewa adalah Baitullah. Dikalangan manusia, ada manusia yang istimewa yaitu Rasulullah SAW. Di antara hari yang istimewa adalah hari jum’at, dan di antara dua belas bulan yang istimewa yaitu bulan Ramadhan. Berkaitan dengan keistimewaan bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda, ”Penghulu segala bulan adalah bulan Ramadhan, dan penghulu hari adalah hari jum’at”. (HR. Al Bazzar).

Beberapa keistimewaan bulan Ramadhan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan selainnya. Pertama, pandangan Allah SWT pada malam pertama bulan Ramadhan. Allah SWT memberikan pandangan, rahmat, dan inayah kepada kaum muslimin. Orang yang mendapatkan pandangan (nadharah) Allah SWT niscaya tidak akan disiksa selamanya. Artinya, ada jaminan bahwa mendapatkan pandangan Allah SWT akan mengantarkan seseorang untuk meraih husnul khotimah (kesudahan hidup yang baik).

Kedua, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah SWT daripada harumnya minyak kasturi. Ketiga, para malaikat senantiasa memohonkan ampunan kepada Allah SWT, siang dan malam, untuk kaum muslimin yang sedang menjalankan ibadah puasa. Keempat, Allah SWT memerintahkan kepada surga agar berhias untuk menyambut orang-orang yang berpuasa. Dan kelima, Allah SWT memberikan ampunan atas dosa orang-orang yang berpuasa pada malam terakhir bulan Ramadhan.

Rasulullah SAW bersabda, ”Pada malam Ramadhan umatku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumnya. Pertama, bila datang awal malam Ramadhan Allah SWT melihat orang-orang yang berpuasa. Barangsiapa dilihat oleh Allah dia tidak akan mendapatkan adzab selamanya. Kedua, bau mulut orang yang berpuasa di sore hari lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kasturi. Ketiga, para malaikat memohonkan ampunan untuk orang-orang yang berpuasa siang dan malam. Keempat, Allah SWT telah menyuruh surga. Dia berfirman kepada surga-Nya itu, ”Bersiap-siaplah dan berhiaslah untuk hamba-hamba-Ku, sudah dekat waktunya mereka (hamba-hamba-Ku) itu beristirahat dari kesusahan dunia menuju rumah dan rahmat-Ku. Kelima, bila telah tiba akhir malam Ramadhan, Allah mengampuni dosa mereka semua. Seorang sahabat bertanya, apakah itu yang dimaksud dengan lailatul qadar? Jawab beliau, ”lain”! Tidakkah kamu melihat para pegawai, bukankah jika telah rampung pekerjaannya, mereka disempurnakan gajinya?” (HR. Baihaki).

Oleh sebab itu, mari optimalkan bulan Ramadhan tahun ini dengan amal shaleh agar kita bisa meraih gelar muttaqin. Suatu gelar yang diperuntukkan bagi orang-orang yang berpuasa sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 183).

Dengan gelar muttaqin orang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT. Rasulullah SAW menegaskan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim). Wallahu a’lam.

Minggu, 24 Agustus 2008

Menyambut Ramadhan

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183).

Ayat di atas mengingatkan kembali akan kewajiban puasa di bulan Ramadhan, yang beberapa hari lagi menyambangi kita. Seharusnya-lah kita bergembira dan bersuka-cita menyambut datangnya bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, tanamkan tekad dalam hati untuk mengisinya dengan kebaikan, serta meninggalkan berbagai kejahatan.

Mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan termasuk pengagungan terhadap syiar-syiar Allah SWT sebagaimana firman-Nya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).

Kenapa kita harus menyambut Ramadhan dengan penuh suka cita? Pertama, karena Ramadhan merupakan bulan dilipatgandakan pahala. Rasulullah SAW bersabda, ”Semua amalan anak Adam akan dilipatgandakan (balasannya): satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat.” Allah berfirman, ”Kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang langsung membalasnya. Hamba-Ku telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.” (HR. Muslim).

Kedua, Allah SWT telah menyiapkan surga Ar-Rayyan bagi yang berpuasa. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut dengan Ar-Rayyan, yang pada hari kiamat nanti hanya akan dimasuki oleh orang-orang yang terbiasa berpuasa. Tidak satupun selain mereka yang memasukinya. Jika mereka (orang-orang yang terbiasa berpuasa) telah masukinya, pintu itu akan ditutup. Sedangkan siapa saja yang telah masuk melaluinya, ia pasti minum. Barangsiapa yang minum ia pasti tidak akan merasakan haus untuk selamanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Tirmidzi).

Ketiga, pada bulan Ramadhan pintu surga dibuka lebar-lebar, pintu neraka ditutup rapat-rapat, dan setan-setan dibelenggu, sehingga orang yang berpuasa akan leluasa untuk berburu kebaikan di dalamnya. Rasulullah SAW bersabda, ”Telah tiba kepada kalian bulan penuh berkah. Allah mewajibkan kalian berpuasa di bulan ini. Dan pada bulan itu pula pintu-pintu surga akan dibuka, pintu-pintu neraka akan ditutup, dan setan-setan akan dibelenggu. Pada bulan tersebut ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang terhalangi untuk mendapatkan kebaikannya, maka sungguh ia telah dihalangi (benar-benar tidak akan mendapatkannya).” (HR. Nasa’i).

Keempat, doa orang yang sedang berpuasa akan mudah dikabulkan. Rasulullah SAW bersabda, ”Tiga macam doa yang pasti dikabulkan: doa orang yang berpuasa, doa orang yang didzalimi, dan doa orang yang musafir.” Kelima, Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa orang yang berpuasa. Rasulullah SAW menegaskan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim).

Dan keenam, pada bulan Ramadhan terdapat malam lailatul qadar, yaitu suatu malam yang nilainya lebih baik dari pada seribu bulan. Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam laitul qadar. Dan tahukah kamu apakah malam lailatul qadar itu? Malam laitul qadar itu lebih baik dari seribu bulan (QS. Al-Qadar: 1-3).

Oleh sebab itu, mari optimalkan bulan Ramadhan tahun ini dengan amal saleh agar kita bisa meraih gelar muttaqin. Dengan gelar muttaqin orang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT dan terbebas dari api neraka. Jadikan Ramadhan kali ini seakan-akan Ramadhan yang terakhir dalam hidup kita, sehingga kita bertekad untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Wallahu a’lam.

Puasa Membentuk Manusia Baru

Puasa tidak hanya diwajibkan atas umat Nabi Muhammad SAW, tapi diwajibkan pula atas umat-umat sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan sarana efektif untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa, yakni pribadi yang mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya.

Puasa di bulan ramadhan bisa diibaratkan sekolah khusus yang ajaran barunya selalu dibuka setiap tahun dengan tujuan pendidikan praktis dalam menyerap nilai-nilai yang paling tinggi. Barangsiapa memasukinya untuk mendapatkan karunia Ilahi, kemudian ia berpuasa sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, lalu ia dapat melakukan ibadah tambahan sesuai yang telah disyariatkan, maka ia akan lulus dengan menyandang gelar muttaqin. Dengan gelar muttaqin orang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT dan terbebas dari api neraka.

Rasulullah SAW menegaskan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah) di bulan ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim).

Syaikh Ahmad Musthofa Al-Maraghi dalam tafsinya mengatakan, ada beberapa sisi puasa yang dapat mengantarkan manusia untuk meraih gelar muttaqin. Pertama, puasa membiasakan seseorang takut kepada Allah SWT, karena orang yang sedang dalam melaksanakan puasa tidak ada yang mengontrol dan melihat kecuali Allah SWT.

Kedua, puasa mampu menghancurkan tajamnya syahwat dan mengendalikan nafsu sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Wahai para pemuda barangsiapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, sesungguhnya nikah itu bisa menahan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu sesungguhnya bisa mengendalikan syahwat.”

Ketiga, puasa membiasakan seseorang untuk berkasih sayang dengan yang lain. Membiasakan untuk selalu berkurban dan bersedekah. Di saat ia melihat orang lain serba kekurangan, maka tersentuhlah hatinya untuk berbagi kepadanya. Ia merasa lapar dan menderita seperti yang sering dirasakan fakir miskin atau seperti yang dikatakan Ibnu Qayyim, ”Puasa dapat mengingatkan bagaimana rasanya perut keroncongan dan dahaga yang membakar dan sering dirasakan para fakir miskin.”

Keempat, puasa membiasakan keteraturan dalam hidup, yaitu orang yang berpuasa akan berbuka pada waktu yang sama, dan tidak ada yang lebih dulu karena kehormatan, atau jabatan, misalnya.

Kelima, adanya persamaan antara yang miskin dan kaya, antara penguasa dan biasa, tidak ada perbedaan dalam melaksanakan kewajiban agama. Berikutnya, keenam, puasa dapat menghancurkan sisa-sisa makanan yang mengendap dalam tubuh, utamanya pada orang yang mempunyai kebiasaan makan dan sedikit kegiatan.

Ketujuh, puasa dapat membersihkan jiwa, karena puasa pada hakikatnya adalah memutus dominasi syahwat. Syahwat bisa kuat dengan makan dan minum, dan setan selalu datang melalui pintu-pintu syahwat. Maka dengan berpuasa syahwat dapat dipersempit geraknya. Terakhir, kedelapan, puasa membentuk manusia baru, Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan ramadhan sebagaimana bayi baru lahir.” Wallahu a’lam.

Sabtu, 26 Juli 2008

Kuningan Menanti Pemimpin Yang Melayani

Tanggal 12 Oktober 2008 adalah hari Kabupaten Kuningan akan melaksanakan perhelatan demokrasi lokal. Hal ini menjadi penting karena tujuan awal berdirinya kabupaten ini adalah memperbaiki kinerja birokrasi, salah satunya adalah perbaikan pelayanan. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan terpilihnya pemimpin yang mampu melayani agar tercipta suasana pelayanan publik yang mudah dijumpai di Kuningan ini.

Pertanyaannya sekarang, aspek apa yang diperlukan dalam melayani Kabupaten Kuningan? Paling tidak ada tiga aspek dalam melayani. Pertama, melayani dengan hati. Melayani harus dimulai dari dalam diri. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam hati, kemudian bergerak ke luar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Ciri dari pemimpin yang mampu melayani dengan hati adalah: (1) tujuan utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. Orientasinya bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan, tetapi justru untuk kepentingan publik yang dipimpinnya. (2) memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan orang-orang yang dipimpinnya. (3) memiliki perhatian terhadap mereka yang dipimpinnya. Perhatian akan kebutuhan, kepentingan, dan harapan. (4) akuntabilitas, penuh tanggungjawab dan dapat diandalkan. Artinya, perkataan dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. (5) mau mendengar setiap kebutuhan dan harapan dari orang-orang yang dipimpinnya. (6) mampu mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat. Karenanya, pemimpin sejati harus selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi.

Aspek kedua, melayani dengan kepala (pikiran). Ada tiga hal penting dalam melayani dengan pikiran: (1) memiliki visi yang jelas. (2) responsive. Artinya, seorang pemimpin harus senantiasa tanggap dalam setiap persoalan, kebutuhan, dan harapan dari orang-orang yang dipimpinnya. Juga selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan maupun tantangan yang dihadapi. (3) performance coach, menjadi pelatih atau pendamping bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Dan aspek ketiga adalah melayani dengan tangan. Paling tidak ada empat perilaku yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang melayani dengan tangan: (1) pemimpin tidak hanya sekedar memuaskan mereka yang dipimpinnya, tetapi juga memiliki kerinduan untuk mengemban amanah dengan baik, karena kepemimpinan adalah beban, bukan kehormatan. (2) fokus pada hal-hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi. (3) mau belajar. (4) senantiasa menselaraskan dirinya terhadap komitmen untuk ibadah dan melayani sesamanya.

Selain kemampuan dalam melayani, seorang pemimpin harus juga memiliki kualitas di atas rata-rata dari mereka yang dipimpinnya. Kualitas itu menyangkut dalam hal keyakinan (iman), kepribadian (akhlak) dan keahlian memimpin atau skill of leadership. Kualitas tersebut haruslah menyatu dalam keseluruhan tindakan, sehingga kata sejalan dengan tindakan. Janji yang disampaikan pada saat kampanye akan direalisasikan setelah dirinya menjadi pemimpin. Kepemimpinan adalah amanah dan setiap amanah akan dimintai pertanggung jawabannya.

Kualitas secara operasional sebagaimana dikemukakan oleh Keith Davis adalah: (1) Kualitas intelegensia. Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan yang relatif lebih daripada mereka yang dipimpinnya. (2) Kematangan dan keluasan pandangan sosial. Sehingga dengan kematangan tersebut diharapkan dapat mengendalikan keadaan, kerjasama sosial serta mempunyai keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri. (3) Mempunyai motivasi dan keinginan berprestasi. (4) Mempunyai kemampuan mengadakan hubungan sosial.

Lebih terperinci lagi George R. Terry menyebutkan delapan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (kepala daerah), yaitu: (1) Penuh energi, baik rohani maupun jasmani. (2) Mempunyai stabilitas dalam emosi dan perasaan. Artinya seorang pemimpin tidak boleh berprasangka atau berpikir apriori buruk tentang mereka yang dipimpinnya. (3) Berpengetahuan luas dalam hubungan sosial. (4) Keinginan untuk menjadi pemimpin harus menjadi daya pendorong yang muncul dari dalam dan tidak didesakkan dari luar. (5) Mahir dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. (6) Cakap. Artinya, pemimpin sejati harus bisa memberi semangat, mengembangkan, dan memajukan orang-orang yang dipimpinnya. (7) Mempunyai kemahiran di bidang sosial. Seorang pemimpin harus memiliki sifat suka menolong, senang jika orang lain maju, ramah dan dapat menghargai pendapat orang lain. (8) Mempunyai kecakapan teknis. Seorang pemimpin harus mampu merencanakan, mendelegasikan, mengambil keputusan, mengawasi dan meneliti.

Merujuk itu semua, tampak bahwa posisi Bupati Kabupaten Kuningan bukanlah posisi yang mudah diisi oleh orang-orang populer atau individu-individu yang hanya pandai berbicara. Pemimpin yang dibutuhkan saat ini dan ke depan adalah pemimpin yang mampu melayani, terlebih disertai keteladanan yang tulus dan konkret, tidak sebatas pada pemimpin tingkat atas, melainkan juga diikuti seluruh jajaran di bawahannya, sehingga dapat mengantarkan kepada suasana keramahan hidup. Wallahu a’lam.

Senin, 30 Juni 2008

Kurikulum Terpadu

KURIKULUM TERPADU

Reformasi 1998 memang berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi negara demokrasi, namun ternyata atas nama demokrasi juga, kekerasan seperti telah menjadi pertunjukan teater di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekerasan demi kekerasan pun berlangsung tiada henti sejak 1998. Kekerasan seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia. Lebih memprihatinkan lagi, di beberapa kota besar, budaya kekerasan seperti menjadi ekstrakurikuler para pelajar, baik SMP, SMA, SMK, dan bahkan mahasiswa. Sedemikian parahnya masalah-masalah ini berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, sehingga secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi kehidupan seluruh warga negara Indonesia.

Mengapa bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang religius, ramah, cinta damai, dan santun, tiba-tiba bermetamorfosis menjadi bangsa yang menjunjung tinggi budaya kekerasan? Padahal, pendidikan di Indonesia baik formal, non formal maupun informal merupakan proses yang dengan sengaja dilakukan untuk tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian yang mantap, mandiri serta bertanggungjawab, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Menurut hemat penulis, ada beberapa cara yang dapat dilakukan guna mengembalikan budaya bangsa yang santun, cinta damai, ramah, dan religius. Pertama, melalui kurikulum terpadu (integrated curriculum). Menurut Cohen dan Manion (1992), kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Oleh karena itu, seyogyanya kurikulum terpadu ini perlu dirumuskan melalui pendekatan yang komprehensif, sehingga mampu menjelaskan realitas keagamaan yang sebenarnya. Hal tersebut sebagai landasan pengembangan, cara dan proses pengembangan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Karena hakikat dari pendidikan adalah perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan setelah mengetahui kemudian mengamalkannya.

Kedua, melalui internalisasi nilai-nilai keagamaan. Penyadaran merupakan inti proses pembelajaran dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas, maka siswa mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Seperti halnya pendekatan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan, pembiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama, menggugah perasaan dan spiritual peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agama, memberikan peranan kepada akal dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, serta menyajikan ajaran agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Hal ini akan mewujudkan keshalihan sosial, dan keshalihan individual peserta didik dan merubah perilaku yang hanya menjadi simbol-simbol keagamaan ke nilai substantif yang diwujudkan dalam kehidupan obyektif empiris sehari-hari.

Ketiga, melalui keteladanan. Keteladanan merupakan sarana efektif untuk menuju keberhasilan pendidikan. Pendidik adalah prototipe dalam pandangan siswa. Oleh sebab itu, teladan yang baik dalam pandangan siswa pasti akan diikutinya dengan perilaku dan akhlak yang baik pula. Keteladanan itu akan terpatri dalam jiwanya. Oleh karena itu, orang-orang terdahulu begitu serius dalam memilih pendidik yang terbaik untuk anak mereka. Umar bin Utbah menulis surat kepada pendidik anaknya, ”Hendaklah yang pertama kau lakukan dalam menshalihkan anakku adalah menshalihkan dirimu sendiri sebab pandangan mereka sangat ditentukan oleh pandanganmu. Yang disebut baik oleh mereka adalah apa yang kau lakukan dan yang disebut buruk oleh mereka adalah apa yang kau tinggalkan.” Dalam peribahasa dikatakan, guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari.

Dan keempat, pembentukan lingkungan sekolah yang kondusif sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama. Oleh karena itu sekolah harus mengusahakan terciptanya situasi yang tepat sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar (learning experiences) pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber (resources) dan menggunakan strategi pembelajaran (teaching-learning strategy) yang tepat (appropriate). Seperti sekolah plus pesantren atau sekolah islam terpadu. Sedangkan bagi sekolah yang siswanya pulang pergi, maka keluarga harus mampu menciptakan suasana rumah yang mendukung pada pembelajaran di sekolah.

Minggu, 29 Juni 2008

POTRET KEPEMIMPINAN KAUM MUDA

Dalam sejarah kebangkitan bangsa-bangsa, pemuda selalu memiliki peranan yang besar dan strategis, karena untuk menuju kebangkitan bangsa diperlukan daya kekuatan berupa keyakinan yang kuat, ketulusan, semangat kejujuran, kesungguhan dalam kerja dan pengorbanan. Memang, selalu ada harapan baru pada figur pemuda. Harapan akan kesegaran gagasan, kekuatan pikiran, ketangguhan stamina, dan keberanian dalam memberantas penyimpangan.

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda menempati peranan yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan, pemuda menjadi ujung tombak perjuangan melawan penjajahan ketika itu. Selain sebagai pengontrol independen terhadap kebijakan pemerintah dan penguasa, pemuda juga aktif melakukan kritik tajam, hingga menurunkan pemerintahan apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berpihak kepada rakyat.

Sekaitan dengan kepemimpinan, misalnya, John F. Kennedy menjabat Presiden Amerika Serikat di usia 35 tahun, Tony Blair sebagai Perdana Menteri Inggris usia 44 tahun, Benazir Bhutto menjabat Perdana Menteri Pakistan usia 35 tahun, Ir. Soekarno, menjabat Presiden Republik Indonesia pertama pada usia 44 tahun.

Muhammad Hidayat Nur Wahid dilantik menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam usia 44 tahun. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini adalah anugerah zaman yang harus disyukuri, didukung dan diteladani. Bagaimana tidak, ketika orang-orang dan pemerintah pada khususnya, baru berteriak-teriak tentang pemberantasan korupsi, ia sudah menerapkan hidup dengan konsep sederhana. Fasilitas mobil mewah adalah hal pertama yang ia tolak saat memangku jabatan Ketua MPR RI. Ia juga menolak dan menyeru agar anggota dewan dan wakil rakyat yang terhormat tidak perlu menginap di suite room hotel berbintang lima yang cukup mahal harganya. Sebagai gantinya, ia lebih memilih menginap di ruang kerja.

Dari dunia Islam, kita mengenal nama Umar bin Abdul Aziz, saat dilantik menjadi khalifah pada usia yang masih sangat muda, yaitu 35 tahun. Adil, jujur, sederhana dan bijaksana, itulah ciri khas kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Tak salah bila sejarah Islam menempatkannya sebagai khalifah kelima yang bergelar Amirul Mukminin, setelah Khulafa Ar-Rasyidin. Khalifah pilihan itu begitu mencintai dan memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya. Ia beserta keluarganya rela hidup sederhana dan menyerahkan harta kekayaannya ke baitulmal (kas negara), begitu diangkat menjadi khalifah. Khalifah Umar pun dengan gagah berani serta tanpa pandang bulu memberantas segala bentu praktik korupsi. Sehingga pada era kepemimpinannya, Dinasti Umayyah mampu menorehkan tinta emas kejayaan yang mengharumkan nama Islam.

Dan, contoh dari segala teladan adalah Rasulullah Muhammad SAW. Beliau mendapat wahyu pertama yang sekaligus menandai kerasulannya pada usia 40 tahun. Setelah itu, beliau dan pengikutnya berjibaku mempertahankan dan menyebarkan Islam, hingga akhirnya Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Kisah hidup dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, tak tertandingi keindahan biografi tokoh dunia manapun. Itulah sebabnya nama besar Muhammad SAW tak tergoyahkan dari urutan teratas tokoh paling berpengaruh sedunia.

Michael Hart dalam bukunya “The 100, a Rangking of The Most Influential Persons in History”, menempatkan Rasulullah SAW sebagai orang yang paling berpengaruh dalam sejarah. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memiliki kecerdasan manajerial yang tinggi dalam mengelola, mengatur dan menempatkan anggota masyarakatnya dalam berbagai posisi sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat mencapai tujuan utama, yaitu membangun masyarakat madani yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi.

Rasulullah SAW adalah sosok pemimpin yang mengedepankan kebersamaan. Beliau mengusulkan sebuah ide win-win solution dalam penyelesaian masalah peletakkan hajar aswad. Direntangkannya sebuah kain besar, kemudian hajar aswad diletakkan di bagian tengahnya, lalu beliau meminta kepada setiap pemimpin kabilah untuk memegang ujung kain tersebut. Setelah itu, hajar aswad disimpan ke tempat semula di Ka’bah. Dengan cara seperti itu, tidak ada satupun kabilah yang merasa dirugikan, bahkan mereka sepakat untuk menggelari beliau sebagai al amin (orang yang terpercaya).

Pada tahun 2009 kita akan melaksanakan pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden. Pemilu menjadi krusial karena menjadi momentum pergantian kepemimpinan nasional, baik pada level eksekutif maupun legislatif. Ada sejumlah kriteria yang harus dimiliki oleh kalangan muda dalam memimpin bangsa ke depan. Tidak cukup hanya bermodalkan semangat yang tinggi dan wajah yang tampan. Kriteria itu di antaranya, kalangan muda harus memiliki wawasan yang luas, memiliki kepedulian dan penuh tanggung jawab, memiliki jaringan yang luas dengan politisi, pengusaha, maupun TNI, sehingga ketika terpilih maka akan bisa berkomunikasi dengan semua kalangan.

Kepemimpinan kalangan muda diyakini sudah siap tampil tahun 2009. Namun citra kepemimpinan kaum muda tergantung pada keberhasilan kalangan muda yang menang di pemilihan kepala daerah saat ini. Bila kaum muda dapat menunjukkan kemampuannya dalam memimpin daerah, dapat melayani masyarakat, dan dapat memenuhi janji-janjinya pada saat kampanye, maka tidak menutup kemungkinan tahun 2009 adalah milik kaum muda. Kini saatnya yang muda tampil memimpin.