Rabu, 18 November 2009

Integrasi Ujian Nasional dan SNMPTN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Pemaksaan Ujian Nasional (UN) sebagai satu-satunya penentu kelulusan peserta didik membuat pendidikan mengarah hanya pada pengembangan kemampuan kognitif. Bahkan, UN telah banyak mengubah metode belajar yang cukup berefek pada kemampuan peserta didik memahami masalah.

Para guru biasanya menggenjot kemampuan siswa dengan metode drilling , yaitu melatih siswa untuk mengerjakan sosl-soal yang mungkin akan keluar dalam UN. Siswa tidak lagi diajari untuk memahami pelajaran secara utuh, namun bagaimana mereka terbiasa dengan soal-soal yang diprediksi akan muncul dalam UN. Melalui metode ini, kadang sampai mengorbankan mata pelajaran yang tidak di-UN-kan.

Ironisnya lagi, peserta didik diajari cara mengerjakan soal UN secara instan. Mulai dari upaya membocorkan soal, memberikan kunci jawaban UN, hingga me- mark up hasil ujian siswa. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan persentase kelulusan, mengingat hal tersebut terkait erat dengan gengsi sekolah dan daerah.

Selain itu, persentase angka kelulusan tersebut juga menjadi dasar pertimbangan alokasi bantuan pemerintah pusat terhadap daerah dan sekolah.Memang, membahas polemik seputar UN tidak akan ada selesainya. Karena itu, yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem. Jika UN kredibel, hasilnya bisa dipakai untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan, Alhamdulillah akhirnya kabar gembira tentang integrasi UN dengan SNMPTN itu akan direalisasikan pada tahun 2011. Ini merupakan kado istimewa dari Mendiknas untuk para pengelola pendidikan di negeri ini.

Pemerintah melalui Depdiknas akhirnya memutuskan pada 2011 pelaksanaan dan hasil UN bisa diintegrasikan dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Hal itu disampaikan Mendiknas Mohammad Nuh didampingi seluruh jajaran eselon I di lingkungan Depdiknas, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya yang juga Ketua Panitia SNMPTN, Haris Supratno, di Depdiknas, akhir pekan lalu.

Dalam kesempatan itu, Ketua SNMPTN Haris Supratno mengatakan, pembuatan soal, pengawasan, dan hal-hal lain sudah dilibatkan dalam pengawasan tes masuk, pembuatan soal, juga hal-hal yang kecil lainnya. Dan mulai tahun inipun Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah dilibatkan dalam proses UN.

Dari mulai pembuatan soal, distribusi, pelaksanaan, dan evaluasi. ''Dengan pelibatan PTN, diharapkan pada 2010 UN sudah kredibel dan tidak usah tunggu 2012 untuk mengintegrasikan UN dengan SNMPTN.'' ujarnya.

PTN sudah dilibatkan dalam UN mulai dari penyusunan soal ujian, cetak naskah, distribusi ke sekolah-sekolah, pengawasan ujian hingga scanning lembar jawaban ujian. ''Tahun ini UN belum bisa dijadikan syarat masuk PTN.'' cetus Haris. ( Republika Online , Senin, 09/11/2009).

Pengintegrasian UN ini sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI bahwa UN dijadikan sebagai seleksi masuk pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam Peraturan Menteri tersebut dinyatakan bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk; a) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; d) akreditasi satuan pendidikan; dan e) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Semoga melalui integrasi UN dengan SNMPTN ini, polemik seputar UN bisa terselesaikan. Dan diharapkan sekolah dapat melaksanakan amanah pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Wallahu a'lam bishshawab .
Rabu, 18 November 2009 pukul 12:27:00/Republika

Selasa, 17 November 2009

Pemuda dalam Lintasan Sejarah

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Karena maju mundurnya sebuah bangsa tergantung pada kondisi pemudanya saat ini. Jika pemudanya baik dan memiliki jiwa yang maju, maka bangsa itu akan menjadi baik dan maju. Sebaliknya, jika pemudanya rusak otomatis masa depan bangsa itu pun akan terpuruk.
Dalam sejarah kebangkitan bangsa-bangsa, pemuda selalu memiliki peranan yang besar dan strategis, karena untuk menuju kebangkitan bangsa diperlukan daya kekuatan berupa keyakinan yang kuat, ketulusan, semangat kejujuran, kesungguhan dalam bekerja, dan pengorbanan. Memang, selalu ada harapan baru pada figur pemuda. Harapan akan kesegaran gagasan, kekuatan pikiran, ketangguhan stamina, dan keberanian dalam memberantas penyimpangan.
Pemuda adalah generasi yang turut menentukan. Dalam Alquran Allah SWT selalu menegaskan pentingnya masa muda. Misalnya, pemuda Ashhabul kahfi digambarkan sebagai sekelompok anak muda yang memiliki kekuatan integritas moral (iman). Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. (QS Alkahfi [18]: 13).
Dalam hadits disebutkan, Syabaabaka qabla haramika. Masa mudamu sebelum masa tuamu. Dari ayat dan hadits tersebut tampak bahwa masalah kepemudaan oleh Islam sangat ditekankan. Ditekankan karena tidak saja masa muda adalah masa berbekal untuk hari tua, melainkan juga di masa muda itulah segala kekuatan dahsyat terlihat.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan dan memuliakan para pemuda. Alquran telah menyebutkan karakteristik pemuda. Pertama, pemuda selalu menyeru kepada alhaq (kebenaran). Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan. (QS Al Araf [7]: 181).
Kedua, mereka mencintai Allah, dan Allah pun mencintai mereka. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (QS Almaidah [5]: 54).
Ketiga, mereka saling melindungi dan saling mengingatkan. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Attaubah [9]: 71).
Keempat, mereka adalah pemuda yang memenuhi janjinya kepada Allah SWT. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (QS Arrad [13]: 20).
Kelima, mereka tidak ragu-ragu dalam berkorban dengan jiwa dan harta mereka untuk kepentingan Islam. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS Alhujurat [49]: 15).
Berkaitan sosok pemuda, para Nabi dan Rasul yang diutus untuk menyampaikan wahyu dan syariat Allah SWT kepada umat manusia, semuanya adalah orang-orang terpilih dari kalangan pemuda yang berusia sekitar empat puluh tahunan. Bahkan ada di antaranya yang diberi kemampuan untuk berdebat dan berdialog sebelum genap delapan belas tahun. Ibnu Abbas berkata, Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus, melainkan ia (dipilih) dari kalangan pemuda (yakni antara 30- 40 tahun). Begitu pula tidak seorang alim pun yang diberi ilmu melainkan ia (hanya) dari kalangan pemuda.
Rasulullah Muhammad SAW tatkala diangkat menjadi rasul, beliau juga baru berusia empat puluh tahun. Setelah itu, beliau dan pengikutnya yang merupakan generasi pertama, kebanyakan dari kalangan pemuda bahkan ada yang masih anak-anak, mereka berjibaku mempertahankan dan menyebarkan Islam, hingga akhirnya Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Generasi pertama (assaabiquunal awwaluun) itu di antaranya adalah Abu Bakar As Shiddiq, masuk Islam pada usia 32 tahun; Umar bin Khattab, 35 tahun; Utsman bin Affan, 30 tahun, Ali bin Abi Thalib, 9 tahun; dan seterusnya.
Pada generasi berikutnya, kita mengenal nama Umar bin Abdul Aziz. Dia dilantik menjadi khalifah pada usia yang masih sangat muda, yaitu 35 tahun. Adil, jujur, sederhana dan bijaksana, itulah ciri khas kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Tak salah bila sejarah Islam menempatkannya sebagai khalifah kelima yang bergelar Amirul Mukminin, setelah Khulafa Ar-Rasyidin. Khalifah pilihan itu begitu mencintai dan memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya. Dia beserta keluarganya rela hidup sederhana dan menyerahkan harta kekayaannya ke baitulmal (kas negara) begitu diangkat menjadi khalifah. Khalifah Umar pun dengan gagah berani serta tanpa pandang bulu memberantas segala bentu praktik korupsi sehingga pada era kepemimpinannya, Dinasti Umayyah mampu menorehkan tinta emas kejayaan yang mengharumkan nama Islam.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda menempati peranan yang sangat strategis dalam setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan, pemuda menjadi ujung tombak perjuangan melawan penjajahan ketika itu. Selain sebagai pengontrol independen terhadap kebijakan pemerintah dan penguasa, pemuda juga aktif melakukan kritik tajam hingga menurunkan pemerintahan yang tidak lagi berpihak kepada rakyat.
Ir. Soekarno, misalnya, menjabat presiden Republik Indonesia pertama pada usia 44 tahun, dan Mohammad Hatta menjadi wakil presiden RI pada usia 42 tahun. Kedua pemuda ini melakukan langkah besar dan berani dipenghujung masa penjajahan Jepang kala itu, yaitu memproklamirkan negara baru yang bernama Indonesia. Sehingga sejarah mencatat keduanya sebagai bapak proklamator.
Soeharto belum genap 45 tahun saat dilantik menjadi pemimpin di negeri ini. Saat itu, perwira muda yang dikenal sebagai ahli strategi tersebut mencoba untuk menyelesaikan satu persatu persoalan bangsa, yang muncul akibat terjadinya peristiwa 30 September 1965. Keberaniannya mengatasi berbagai persoalan inilah kemudian mengantarkan karier militer dan politiknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Kemudian, Muhammad Hidayat Nur Wahid dilantik menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) pada usia 44 tahun. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini adalah anugerah zaman yang harus disyukuri, didukung dan diteladani. Bagaimana tidak, ketika orang-orang dan pemerintah pada khususnya, baru berteriak-teriak tentang pemberantasan korupsi, dia sudah menerapkan hidup dengan konsep sederhana. Fasilitas mobil mewah adalah hal pertama yang dia tolak saat memangku jabatan sebagai ketua MPR RI. Dia juga menolak dan menyeru agar anggota dewan dan wakil rakyat yang terhormat tidak perlu menginap di suite room hotel berbintang lima yang cukup mahal harganya. Sebagai gantinya, dia lebih memilih menginap di ruang kerja.
Semangat memunculkan tokoh muda dalam kepemimpinan nasional menjadi sangat relevan dan beralasan. Oleh karena itu, melalui peringatan sumpah pemuda kali ini, satu pertanyaan yang perlu direnungkan, siapkah kaum muda menyambut estafet kepemimpinan itu?

Penulis adalah Kepala Devisi Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat
dimuat di kolom opini HU Pelita

Makna Lailatul Qadar

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Aam Amiruddin dalam bukunya, Tafsir Al-Quran Kontemporer, menyebutkan empat pengertian alqadar. Pertama, menurut Al-Qurtubi, alqadar artinya penetapan. Lailatul qadar berarti malam penetapan Allah SWT atas perjalanan makhluk selama setahun, seperti penetapan rizki, jodoh, dan umur.
Allah SWT berfirman, Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS Addukhan [44]: 3-4).
Dalam Al-Quran dan terjemahnya, Departemen Agama RI, disebutkan, yang dimaksud dengan urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rizki, baik, buruk dan sebagainya.
Kedua, Al-Qasimy menyebutkan, alqadar artinya pengaturan. Lailatul qadar berarti malam pengaturan, karena pada malam itu Allah SWT mengatur strategi bagi Nabi-Nya untuk mengajak manusia kepada agama yang benar, demi menyelamatkan mereka dari kesesatan.
Ketiga, makna lain dari alqadar adalah kemuliaan. Jadi, Lailatul qadar berarti malam kemuliaan. Malam tersebut menjadi lebih mulia karena kemuliaan Alquran. Ada juga yang memahami kemuliaan tersebut dalam kaitannya dengan ibadah, dalam arti bahwa ibadah pada malam itu mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan ganjaran tersendiri, berbeda dengan malam-malam yang lain.
Keempat, alqadar juga berarti sempit. Lailataul qadar berarti malam yang sempit, karena pada malam itu diturunkannya Al-Quran, begitu banyak Malaikat yang turun ke bumi, sehingga bumi serasa sempit karena penuh sesak oleh rombongan Malaikat.
Lailatul qadar merupakan peristiwa besar, dahsyat dan bahkan spektakuler karena diawali dengan kalimat maa adraaka. Kalimat tersebut biasanya digunakan Alquran untuk menggambarkan sesuatu yang dahsyat dan spektakuler, misalnya, Wama adraaka mal qariah (tahukah kamu apakah hari kiamat itu?), Wama adraaka maahiyah (tahukah kamu, apakah neraka hawiyah itu?).
Kalimat khairun min alfi syahr (lebih baik dari seribu bulan), mengandung dua pengertian. Pertama, diartikan secara harfiah, apa adanya, angka 1000, bahwa malam tersebut nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Kedua, menunjukkan sesuatu yang sangat banyak, bahkan tak terhingga. Hal ini diungkapkan dalam ayat yang lain (QS Albaqarah [2]: 96). Jadi menurut pendapat ini, bahwa tingkatan keutamaan lailatul qadar tidak bisa dihitung dengan angka. Atas dasar ini, maka lailatul qadar adalah lebih utama dari sepanjang masa.
Lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, pada suatu malam yang tak seorangpun mengetahui, karena Nabi SAW hanya mengisyaratkan bahwa kemungkinan besar lailatul qadar terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir pada setiap bulan Ramadhan. (HR Muslim).
Adapun hikmah tidak dipastikannya kapan turunnya lailatul qadar adalah, pertama, agar kita terus giat dan sungguh-sungguh beribadah, tidak hanya beribadah pada hari-hari tertentu dan meninggalkan ibadah di hari-hari yang lain. Kedua, untuk melatih kita agar senantiasa istiqamah dalam beramal.
Bagaimana agar kita bisa menggapai lailatul qadar? Pertama, menghidupkan malamnya dengan imanan dan ihtisaban, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Barangsiapa yang shalat pada malam lailatul qadar berdasarkan iman dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-sosanya yang telah lalu. (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua, berdoa ketika bertemu lailatul qadar. Rasulullah SAW mengajarkan membaca doa berikut, Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengampun, maka ampunilah aku. Terkait pengaruh yang bisa dirasakan bagi orang yang mendapatkan lailatul qadar, seorang ahli tafsir berpendapat, jika seseorang mendapatkan lailatul qadar, maka orang tersebut akan merasakan semakin kuatnya dorongan dalam jiwa untuk melakukan kebajikan pada sisa hidupnya, sehingga ia merasakan kedamaian dalam hidup. Semoga Allah SWT memberi kesempatan kepada kita untuk bisa meraih lailatul qadar, amin. Wallahu alam bish-shawab.

Penulis adalah Pengurus Korps Muballigh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat
dimuat di HU Pelita

Jumat, 13 November 2009

BELAJAR DARI IBADAH HAJI

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI dan Hj Siti Mahmudah SPdI
Kepala dan Guru MTs Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Kini, musim haji telah tiba. Berbondong-bondong kaum Muslim dari segala penjuru dunia menuju Tanah Suci. Mereka membelanjakan rezeki yang dianugerahkan Allah SWT untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Untuk sementara waktu mereka meninggalkan kesibukan dunia, keluarga, dan sanak saudara. Semua itu merupakan wujud kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Allah telah mengabadikan seruan untuk menunaikan haji kepada seluruh manusia melalui Nabi Ibrahim AS.
Allah SWT berfirman, ”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Alhajj [22] : 27).
Melaksanakan ibadah haji adalah dambaan setiap umat Islam. Apalagi, bila ibadah yang dilaksanakan itu diterima oleh Allah SWT sehingga hajinya menjadi mabrur. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada balasan bagi haji mabrur (yang diterima) kecuali surga.” (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Syariat atau perintah melaksanakan ibadah haji ini tidak hanya berlaku pada umat Nabi Muhammad SAW. Tetapi jauh sebelum itu, haji telah diperintahkan kepada Nabi dan Rasul-Rasul Allah terdahulu. Karenanya semua rangkaian pelaksanaan ibadah haji mengandung pelajaran (ibrah) yang sangat berharga bagi umat manusia.
Di antara rangkaian pelaksanaan ibadah haji itu adalah, pertama, pakaian ihram. Pakaian ihram terdiri dari dua lembar kain yang tidak berjahit. Hal ini dimaksudkan pemakaiannya agar melepaskan diri dari sifat-sifat buruk yang melekat pada dirinya. Sebab kemewahan pakaian dapat membangkitkan sikap hidup sombong bagi pemakainya, yang pada akhirnya akan menjauhkan diri dari orang lain, tidak mau bergaul dengan orang lain, tidak mau mendengarkan apa kata orang lain dan yang lebih celaka lagi kalau tidak mau mendengar firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW. Dan pada dasarnya mengenakan pakaian ihram adalah menanggalkan perhiasan dunia yang penuh dengan gemerlap dan cobaan.
Kedua, berihram. Berihram adalah niat, yaitu niat memasuki ibadah haji atau umrah sebagai pemenuhan atas panggilan Allah SWT, memenuhi panggilan dengan penuh keyakinan, ditinggalkannya kampung halaman dengan berbagai hal yang melekat padanya. Ditinggalkan jabatan yang membuat sibuk sepanjang waktu, dilepaskan atribut, titel, gelar dan sebagainya, menuju rumah Allah yang berupa tumpukan batu persegi empat, tidak ada keistimewaan apa-apa di rumah itu. Tetapi itulah rumah dambaan bagi setiap Muslim, belum puas rasanya sebelum mengunjungi baitullah itu.
Ketiga, talbiyah. Talbiyah merupakan panggilan Allah SWT kepada seseorang untuk senantiasa dengan ikhlas memenuhi panggilan tersebut, bukan karena keterpaksaan. ”Labbaikallahumma, labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, innalhamda wanni’mata laka walmulka la syarikalak”.
Keempat, thawaf (mengelilingi Ka’bah). Thawaf artinya keliling. Maksudnya mengelilingi Ka’bah baik berkaitan dengan umrah atau haji. Mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 putaran yang dimulai dan diakhiri di hajar aswad. Perputaran 7 keliling bisa diartikan sama dengan jumlah hari yang beredar mengelilingi kita dalam setiap minggu. Lingkaran pelataran Ka’bah merupakan arena pertemuan dan bertamu dengan Allah yang dikemukakan dengan doa dan zikir dan selalu dikumandangkan selama mengelilingi Ka’bah. Agar manusia memahami hubungan manusia dengan sang Pencipta dan ketergantungan manusia akan Tuhannya.
Gerakan mengelilingi Ka'bah ini juga mengacu kepada gerakan perputaran benda-benda langit. Bulan, bintang, matahari, dan semua planet berputar pada porosnya masing-masing. Ini merupakan sebuah bentuk kepatuhan benda-benda langit tersebut kepada hukum-hukum Allah yang mengatur seluruh alam jagat raya ini. Dengan melakukan thawaf, manusia diharapkan menyadari bahwa mereka pun seharusnya hanya tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah, sebagaimana tunduk dan patuhnya seluruh benda-benda di jagat raya ini.
Allah SWT berfirman, ”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan.” (QS Ali Imran [3]: 83).
Kelima, sai (berlari-lari). Sai adalah berlari-lari kecil di antara bukit Shafa dan Marwah. Gerakan ini dilakukan bolak-balik sebanyak 7 kali. Ritual pelaksanaan ibadah sai ini mengacu pada gerakan Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail AS, yang berlari bolak-balik 7 kali antara bukit Shafa dan Marwah dalam upayanya mencari air untuk Ismail yang sedang kehausan.
Apa yang telah dilakukan Siti Hajar ini memberikan pelajaran bagi umat manusia, yakni setiap orang harus senantiasa berusaha dan bekerja dengan mengharap ridha Allah SWT. Apa pun yang didapat, berhasil atau tidak upaya itu, hendaknya senantiasa memanjatkan syukur kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Shafa dan Marwah ialah bagian dari syiar (agama) Allah. Barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sai antara keduanya.” (QS Albaqarah [2]: 158).
Keenam, bercukur. Mencukur rambut adalah penegasan dan realisasi akan selesainya masa ihram. Sedangkan perintah untuk mencukur rambut adalah agar kotoran yang melekat para rambut menjadi hilang karena rambut kepala berfungsi menjaga otak dari berbagai penyakit dan otak yang sehat akan membuahkan pemikiran yang positif.
Ketujuh, wukuf di Arafah. Makna wukuf adalah berhenti, diam tanpa bergerak. Jika dikaitkan dengan thawaf, maka setelah kehidupan diwarnai dengan gerakan, maka suatu saat gerakan itu akan berhenti. Manusia suatu saat jantungnya akan berhenti berdetak, matanya akan berhenti berkedip, kaki dan tangannya akan berhenti melangkah dan berkeliat.
Ali Syariati dalam bukunya, Al-Hajj, menjelaskan, wukuf di padang Arafah adalah sebuah upaya merenungi hakikat penciptaan alam semesta, perbuatan yang telah dilakukan, dan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat penghisaban.
Ia menambahkan, Arafah bermakna mengenal, mengetahui, atau menyadari. Dari makna ini, kata Ali Syariati, Arafah merupakan gambaran dari padang mahsyar di akhirat kelak sebagai tempat penghisaban segala amal perbuatan manusia selama di dunia. Karena itulah, di lokasi ini, setiap jamaah haji dianjurkan untuk memperbanyak doa, istighfar (mohon ampunan), serta melakukan penghisaban (perhitungan) diri atas segala perbuatan yang pernah dilakukan.
Kedelapan, melempar jumrah. Melempar jumrah adalah batu-batu kecil pada sebuah tiang yang dianggap sebagai perumpamaan setan (iblis) dan hawa nafsu, yang senantiasa menggoda hati manusia untuk berbuat dosa dan maksiat. Melempar batu (jamarat) ini sebagai simbol kemenangan anak manusia terhadap godaan setan (iblis).
Ritual melempar batu-batu kecil pada tiang jamarat ini, meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim AS. Saat Nabi Ibrahim AS diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS, tiba-tiba datanglah iblis yang meminta Ibrahim AS agar mengurungkan niatnya.
Dan begitu seterusnya, karena masih banyak rangkaian ibadah haji yang belum disebutkan di sini. Oleh karena itu, hanya dengan keimanan, niat, tekad, dan kemauan serta kemampuannyalah yang akan memberangkatkan seseorang untuk berhaji. Semoga kita termasuk orang-orang yang akan mendapatkan undangan dari Allah SWT untuk menunaikannya. Amin.

*Radar Cirebon, Opini, Sabtu, 31 Oktober 2009

Rabu, 07 Oktober 2009

OPTIMALISASI PENDIDIKAN RAMADHAN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Albaqarah [2]: 183).
Puasa merupakan salah satu latihan terbaik untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa. Karena itu, puasa tidak hanya diwajibkan atas umat Nabi Muhammad SAW, tetapi diwajibkan pula atas umat-umat sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan sarana yang efektif untuk membentuk pribadi-pribadi yang berkarakter, yaitu bertakwa (la’allakum tattaqun).
Bulan Ramadhan menjadi momen yang sangat tepat untuk kita, orang tua, dan pendidik untuk mengoptimalkan konsep pendidikan dengan melibatkan anak secara langsung. Tujuan terpenting dari pembelajaran bukanlah teori tetapi praktek (Herbert Spencer). Anak akan belajar dari apa yang mereka lakukan. Rata-rata 75 % anak belajar dari apa yang mereka lakukan, 5 % dari guru, dan 10 % dari yang mereka baca (Brunmer Jerome).
Konsep pembelajaran akan lebih efektif dan nyata ketika anak melakukannya secara langsung dibandingkan ketika anak membaca. Mereka akan selalu ingat pada masa-masa berikutnya. Sebab dalam proses pembelajaran ini melibatkan tiga ranah pendidikan secara langsung, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ada beberapa sisi pendidikan Ramadhan yang dapat dirasakan secara langsung oleh anak didik. Pertama, Ramadhan mendidik mematuhi perintah Allah SWT secara totalitas. Sebab orang yang berpuasa tidak ada yang mengontrol dan melihat kecuali Allah SWT. Dalam hal ini, anak akan terbiasa melakukan ibadah karena Allah SWT, bukan karena orang tua atau guru, misalnya.
Kedua, Ramadhan mendidik mengendalikan nafsu. Ketika Ramadhan dilarang melakukan hal-hal yang pada hakikatnya halal bila dilakukan pada siang hari di selain Ramadhan, seperti makan dan minum. Melalui pengendalian ini, anak akan mampu menahan diri dari makanan dan minuman yang tidak jelas asal-usulnya, dan ia hanya akan mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan bergizi.
Ketiga, Ramadhan mendidik menahan emosi. Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, bersuara tidak pantas, dan tidak mau tahu. Lantas jika ada seseorang yang menghinanya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, ’Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari Muslim).
Keempat, Ramadhan mendidik persatuan dan persaudaraan. Segenap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia akan berpuasa pada tanggal yang sama. Mereka akan mulai puasa pada saat yang sama, ketika fajar, dan berbuka di saat yang sama pula, yaitu ketika maghrib. Ramadhan tidak membedakan antara yang kaya dan miskin, penguasa dan rakyat biasa. Dengan demikian, ada jiwa kebersamaan yang memasuki hati anak didik pada bulan Ramadhan.
Kelima, Ramadhan mendidik berempati. Saat berpuasa, anak akan merasakan penderitaan lapar dan dahaga untuk waktu tertentu pada siang Ramadhan. Ia merasa lapar dan menderita seperti yang sering dirasakan fakir miskin. Sehingga, di saat anak melihat orang lain kekurangan, maka tersentuhlah hatinya untuk berbagi kepada mereka.
Keenam, Ramadhan mendidik ketakwaan. Dengan ketakwaan, anak akan mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah). Dengan muraqabatullah, anak akan terhindar dari perbuatan tercela, seperti menyontek ketika ujian.
Melalui optimalisasi pendidikan Ramadhan ini diharapkan terbentuk karakter anak yang shalih secara individu dan sosial. Sehingga keluar Ramadhan seperti bayi yang baru dilahirkan, sebagaimana sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi baru lahir.” Wallahu a’lam.

* Majalah PGRI Kuningan, Aktualita, Edisi No 38/September 2009

MENUJU PERUBAHAN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan

Ramadhan, bulan yang selalu ditunggu oleh umat Islam. Bulan yang sebagian orang menyebutnya sebagai bulan panen raya. Sebab, pada bulan ini, segala amal kebajikan pahalanya dilipatgandakan, sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat.
”Semua amalan anak Adam akan dilipatgandakan (balasannya): satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat.” Allah berfirman, ”Kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang langsung membalasnya. Hamba-Ku telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.” (HR Muslim).
Puasa merupakan salah satu latihan terbaik untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa. Karena itu, puasa tidak hanya diwajibkan atas umat Nabi Muhammad SAW, tetapi diwajibkan pula atas umat-umat sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan sarana yang efektif untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Albaqarah [2]: 183).
Dengan ketakwaan, seseorang mampu menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah). Melalui muraqabatullah ini, orang akan terbimbing dari perilaku tercela, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena itu, orang yang bertakwa mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. (QS Alhujurat [49]: 13).
Keberhasilan orang yang berpuasa bukan dilihat dari aktifitasnya selama Ramadhan, tetapi sejauhmana ia dapat mengimplementasikan nilai-nilai Ramadhan pada sebelas bulan berikutnya. Karena itu Ramadhan merupakan start menuju perubahan dalam berbagai sisi kehidupan, baik dalam skala individu, keluarga maupun masyarakat. Perubahan secara vertikal maupun horizontal. Perubahan menuju perbaikan dalam pelbagai dimensi kehidupan adalah keniscayaan.
Saat berpuasa, misalnya, kita dilarang melakukan hal-hal yang hakikatnya halal bila dilakukan pada siang hari selain Ramadhan, seperti makan dan minum, maka usai Ramadhan kita harus komitmen untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang jelas asal usulnya.
Saat berpuasa dianjurkan untuk menghindari setiap perkataan kotor, maka usai Ramadhan kita harus komitmen dengan ucapan yang baik dan berusaha menjauhi segala bentuk permusuhan dan menyakiti orang lain. Saat berpuasa dilatih untuk berinfak, maka usai Ramadhan kita harus komitmen untuk peduli terhadap mereka yang membutuhkan pertolongan.
Saat berpuasa dilatih untuk disiplin dengan sahur dan berbuka pada waktu yang telah ditentukan, maka usai Ramadhan kita harus komitmen untuk senantiasa disiplin waktu, dan begitu seterusnya.
Dengan demikian, Ramadhan berpotensi untuk memberikan warna perubahan ke arah yang lebih baik. Dari rahim Ramadhan ini lahirlah manusia-manusia baru sebagaimana disabdakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW, ” ”Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan ramadhan sebagaimana bayi baru lahir.”
Oleh sebab itu, harapan terbesar setiap Muslim adalah diterimanya amal ibadah selama Ramadhan, baik ibadah yang bersifat individu, maupun ibadah yang bersifat sosial.

* Radar Cirebon, Tausiyah, Selasa, 15 September 2009.

MENJADI PENDIDIK BERKUALITAS

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI

Kepala MTs Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat



Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sistem pendidikan, tetapi juga pendidiknya. Melalui pendidiklah aktivitas paedagogis dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Ia juga bertanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, kehadirannya akan banyak mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri.

Doni Koesoema dalam bukunya, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, membedakan istilah pengajar (teacher) dengan pendidik (educator). Menurutnya, mengajar seringkali dikaitkan dengan kegiatan menyampaikan dan memberikan sesuatu berupa bahan dan materi tertentu yang mesti dipelajari oleh siswa. Oleh karena itu, ketika guru mengajar, ia mengajar sesuai dengan garis besar program pengajaran sebagaimana terdapat dalam kurikulum. Dalam tindak mengajar terdapat proses transfer dari guru ke siswa. Jadi, tindakan mengajar lebih berurusan dengan penyampaian materi pelajaran sehingga siswa dapat memahami isi kurikulum yang mesti mereka pelajari. Hasil ajaran ini lantas diuji melalui proses evaluasi untuk melihat apakah siswa itu dapat menguasai materi yang diajarkan atau belum.

Sedangkan mendidik memiliki konotasi yang lebih luas, tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran. Oleh karena itu, mendidik juga tidak sekedar berurusan dengan menyampaikan materi pelajaran. Guru mendidik dengan cara menghadirkan diri mereka secara utuh di hadapan siswa dan dengan itu siswa merasakan kehadiran guru sebagai sosok yang istimewa, sebagai pribadi yang memberikan inspirasi dan rasa hormat. Guru menjadi teman, sahabat, pengajar, rekan kerja, pendamping, orang tua, dan semua kemampuan individu yang memungkinkan proses belajar di sekolah berjalan dengan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Kegiatan mendidik berkaitan dengan eksistensi keseluruhan individu dalam relasinya dengan orang lain dan lingkungannya. Untuk itu, kegiatan mendidik tidak dapat dibatasi oleh kegiatan di dalam kelas.

Beragam sifat-sifat pendidik berkualitas telah diidentifikasi dan dikaji oleh para ahli pendidikan, seperti Muhammad Atiyah al-Abrasyi, Abdurrahman an-Nahlawi, dan Imam al-Ghazali.

Sifat-sifat tersebut adalah (1) Zuhud. Zuhud tidak berarti menolak materi, tetapi juga tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Kekayaan materi hanya merupakan sarana bagi pendidik untuk mencapai tujuan hidup. Mendidik manusia lain (anak didik) bukan karena keinginan mengumpulkan materi, melainkan karena keterpanggilan untuk menyampaikan risalah.

(2) Kebersihan diri. Seorang pendidik harus bersih, baik fisik maupun psikisnya. (3) Ikhlas. Seorang pendidik dalam melaksanakan tugas mengajar bukan karena keterpaksaan. Sifat ikhlas akan melahirkan pendidik yang penuh idealisme untuk membina pribadi dan masyarakat dengan benar. Ia mendidik dan mengajar manusia, semata-mata untuk mencari rida Allah SWT.

(4) Pemaaf. Sifat pemaaf bagi seorang pendidik merupakan kendali dalam melaksanakan tugas kependidikan. Berhadapan dengan anak didik yang kurang disiplin, ia tidak cepat naik pitam, bahkan memaafkannya, dan terus membimbingnya. Justru dengan sifat pemaaf itulah ia akan dihormati dan disenangi oleh anak didiknya.

(5) Kebapak-bapakan. Artinya, seorang pendidik harus mencintai anak didiknya seperti mencintai anaknya sendiri, menyayanginya seperti ia menyayangi anak kandungnya sendiri

(6) Mengetahui tabiat anak didik. Pendidik harus mengetahui perbedaan masing-masing anak didiknya, agar tidak tersesat dalam menjalankan tugasnya. (7) Menguasai mata pelajaran. Pendidik harus menguasai mata pelajaran yang diajarkannya dan senantiasa mendalami serta memperluas pengetahuannya.

(8) Bersifat rabbani. Dalam hal ini, seorang pendidik harus menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dari segala aktivitasnya. (9) Sabar. Seorang pendidik harus bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada anak didiknya.

(10) Jujur. Pendidik harus jujur dalam menyampaikan apa yang diajarkannya. Tidak menyembunyikan ketidaktahuannya, jika memang tidak tahu. Sifat jujur akan meningkatkan wibawa bagi pendidik, sebab dengan kejujuran itu, ia mengajar dan mendidik orang lain dengan apa adanya.

(11) Senantiasa membekali diri dengan ilmu. Ia harus senantiasa memperdalam pengetahuannya, agar senantiasa dapat dengan mudah dan leluasa menyampaikan ilmunya.

(12) Mampu menggunakan berbagai metode mengajar. Dengan menguasai metode yang tepat seorang pendidik akan dapat dengan mudah menyampaikan ilmu, nilai, norma, dan kecakapan kepada anak didiknya.

(13) Mampu mengelola anak didik. Seorang pendidik harus mampu memperlakukan anak didiknya secara tepat dan proporsional. Dengan demikian ia tidak akan bersikap keras dalam kondisi yang semestinya bersifat lunak, begitu pula sebaliknya.

(14) Mengetahui keadaan psikis anak didik. Pengetahuan seorang pendidik terhadap kejiwaan anak didiknya akan memudahkan kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian ia akan dapat dengan mudah memperlakukan anak didiknya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.

(15) Memiliki kepekaan dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi. Seorang pendidik harus mengantisipasi setiap perkembangan, gejolak yang terjadi, baik pada anak didik maupun lingkungannya.

(16) Bersifat adil. Keadilan pendidik harus tercermin dan dimanifestasikan dalam sikap dan tindakannya, baik berupa pujian, hukuman, penilaian, perintah maupun larangan terhadap anak didiknya. Memperlakukan anak didiknya dengan tidak pilih kasih. Siapa yang bersalah harus dihukum dan yang benar harus dipuji. Sifat adil dimaksudkan memperlakukan anak didiknya secara bijak sesuai dengan proporsinya masing-masing.

(17) Tidak meninggalkan nasihat. Ia harus membimbing anak didiknya dengan penuh ketulusan. (18) Tidak berlaku kasar. Seorang pendidik harus memperlakukan anak didiknya dengan lunak, tidak membentak, menyindirnya dengan halus bila berbuat salah.

(19) Tidak menjelek-jelekkan ilmu yang lain di depan anak didik. Seorang pendidik tidak merendahkan ilmu yang bukan bidangnya. (20) Tidak mengajarkan sesuatu di luar kemampuan anak didik. Dalam hal ini, seorang pendidik tidak memaksakan suatu ilmu kepada anak didiknya di luar kemampuannya.

(21) Mengajarkan pelajaran secara jelas. Seorang pendidik hendaknya dapat menerangkan suatu pembahasan secara jelas, sehingga anak didik akan semakin berminat untuk memperdalam pelajaran yang telah dipelajari.

(22) Hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya. Oleh karena itu, ia harus menyesuaikan antara ilmu dengan tindakannya. Mengamalkan apa yang diketahuinya, karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal perbuatan dilihat dengan mata kepala.

Melalui sifat-sifat di atas, diharapkan pendidik dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi, pendidik yang berkualitas akan melahirkan anak didik yang berkualitas pula. Wallahu a’lam.



* Media Pembelajaran, Kajian Utama, Edisi No. 07/XXXVI Oktober 2009

Jumat, 21 Agustus 2009

Puasa Membentuk Manusia Baru

Oleh Imam Nur Suharno

Puasa di bulan Ramadhan bisa diibaratkan sekolah khusus yang ajaran barunya selalu dibuka setiap tahun. Tujuannya setara dengan pendidikan praktis dalam menyerap nilai-nilai yang paling tinggi.

Barangsiapa memasukinya untuk mendapatkan karunia Ilahi, kemudian berpuasa sesuai aturan yang ditetapkan, lalu melakukan ibadah tambahan sesuai syariat, maka ia akan lulus dengan menyandang gelar muttaqin. Dengan gelar muttaqin, seseorang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT dan terbebas dari api neraka.

''Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan berharap pahala dari Allah SWT, niscaya Allah SWT mengampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah) di bulan Ramadhan karena iman dan berharap pahala dari Allah SWT, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.'' (HR Bukhari Muslim).

Syaikh Ahmad Musthofa Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan, ada beberapa sisi puasa yang dapat mengantarkan manusia meraih gelar muttaqin.

Pertama, puasa membiasakan seseorang takut kepada Allah SWT, karena orang yang sedang berpuasa tidak ada yang mengontrol dan melihat kecuali Allah SWT.

Kedua, puasa mampu menghancurkan tajamnya syahwat dan mengendalikan nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. ''Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya nikah itu bisa menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa sesungguhnya bisa mengendalikan syahwat.''

Ketiga, puasa membiasakan seseorang berkasih sayang. Membiasakan untuk selalu berkurban dan bersedekah. Di saat ia melihat orang lain serbakekurangan, tersentuhlah hatinya untuk berbagi kepadanya.

Keempat, puasa membiasakan keteraturan hidup, yaitu orang yang berpuasa akan berbuka pada waktu yang sama, dan tidak ada yang lebih dulu karena kehormatan, atau jabatan, misalnya.

Kelima, adanya persamaan antara yang miskin dan kaya, antara penguasa dan biasa, tidak ada perbedaan dalam melaksanakan kewajiban agama.

Keenam, puasa dapat menghancurkan sisa-sisa makanan yang mengendap dalam tubuh, utamanya pada orang yang punya kebiasaan makan dan sedikit kegiatan.

Ketujuh, puasa dapat membersihkan jiwa, karena puasa hakikatnya memutus dominasi syahwat. Syahwat bisa kuat dengan makan dan minum, dan setan selalu datang melalui pintu-pintu syahwat. Dengan berpuasa, syahwat dipersempit geraknya.

Kedelapan, puasa membentuk manusia baru, Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi baru lahir.''




hikmah-republika/ jum'at 21 Agustus 2009

Selasa, 18 Agustus 2009

Kualitas dan Kepiawaian Kepala Sekolah

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi efektivitas sekolah adalah kualitas kepemimpinan dan manajemen yang diterapkan kepala sekolah. Sosok kepala sekolahlah yang mengatur segala sesuatu yang ada di sekolah.

keberhasilan program peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah, sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah sebagai faktor penggerak bagi segenap sumber daya sekolah terutama pendidik dan karyawan (Arifin, 1999). Pentingnya peranan tersebut menyebabkan keberhasilan dan kegagalan sekolah ditentukan oleh kualitas dan kepiawaian kepemimpinan kepala sekolah itu sendiri.

Wajar bila kepala sekolah bisa disebut sebagai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan sekolah dan gagalnya peserta didik. Untuk itu, agar kepala sekolah dapat menjalankan kepemimpinannya dengan efektif, ia harus memiliki sedikitnya lima kompetensi.

Pertama, kompetensi kepribadian. Dalam hal ini, kepala sekolah dikatakan berkepribadian memadai apabila memiliki komponen sebagai berikut: bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlak mulia; memiliki etos kerja yang tinggi; bersikap terbuka; berjiwa pemimpin; mampu mengendalikan diri; mampu mengembangkan diri; dan memiliki integritas kepribadian.

Kedua, kompetensi sosial. Komponen yang harus dimiliki kepala sekolah dalam kompetensi sosial ini adalah kemampuan bekerja sama dengan orang lain; berpartisipasi dalam kegiatan kelembagaan/sekolah; dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.

Ketiga, kompetensi manajerial. Dalam hal ini kepala sekolah harus mampu menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkatan perencanaan; mampu mengembangkan organisasi sekolah sesuai dengan kebutuhan; mampu memimpin guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; mampu mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka pendayagunaan secara optimal; mampu mengelola hubungan sekolah-masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah; mampu mengelola kesiswaan, terutama dalam rangka penerimaan siswa baru, penempatan siswa, dan pengembangan kapasitas siswa; mampu mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional; mampu mengelola keuangan sekolah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien; mampu mengelola ketatausahaan sekolah dalam mendukung kegiatan-kegiatan sekolah; dan mampu mengelola unit layanan khusus sekolah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan kesiswaan di sekolah.

Keempat, kompetensi supervisi. Untuk optimalisasi komponen supervisi ini, kepala sekolah harus mampu melakukan supervisi sesuai dengan prosedur dan teknik-teknik yang tepat; mampu melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan program pendidikan sesuai dengan prosedur yang tepat; dan mampu menindaklanjuti hasil supervisi.

Kelima, kompetensi kewirausahaan. Seorang kepala sekolah dikatakan memiliki kompetensi kewirausahaan apabila mampu bertindak kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pekerjaan melalui cara berpikir dan cara bertindak; mampu memberdayakan potensi sekolah secara optimal ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan produktif yang menguntungkan sekolah; dan mampu menumbuhkan jiwa kewirausahaan (kreatif, inovatif, dan produktif) di kalangan warga sekolah.

Dengan optimalisasi lima kompetensi di atas, diharapkan kepala sekolah dapat mewujudkan sistem manajemen pendidikan berbasis sekolah yang kreatif, efektif, dan inovatif sehingga menghasilkan siswa yang berkualitas lebih baik. Wallahualam.***

Penulis, Kepala MTs Husnul Khotimah dan Pengurus DPD PGM, Kuningan, Jawa Barat.



PR/FORUM GURU/Selasa, 18 Agustus 2009

Jumat, 17 Juli 2009

Pendidikan Ala Pesantren

Oleh Imam Nur Suharno

"Saya saat ini masih teringat akan makanan halal dan haram, hukum nun mati dan tanwin, larangan-larangan ketika jinabah, dan sebagainya. Namun, saya sudah tidak ingat fungsi trigonometri dalam matematika. Apalagi tentang teori-teori ilmu ekonomi dan sejarah."

Begitulah komentar beberapa orang yang mencoba membedakan keadaan (ilmu) saat ini dari hasil pendidikan pesantren dengan pendidikan formal pada umumnya. Sederhana tetapi mengena. Cukup banyak komentar yang sejenis dengan pernyataan di atas. Hal ini sebenarnya menjadi evaluasi bahwa proses pendidikan ala pesantren lebih berkesan di benak para pembelajar (santri) dibandingkan dengan hasil dari pendidikan formal umumnya. (Tabloid Pondok, edisi keempat, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI, 2008).

Salah satu keistimewaan pendidikan pondok pesantren adalah sistem boarding school atau sistem asrama. Dengan sistem boarding school, santri sepanjang hari dan malam berada dalam lingkungan belajar. Mereka bergaul bersama siswa yang lain dan para ustaz mereka. Para guru/ustaz dapat memantau dan mengarahkan setiap perilaku santri sepanjang waktu. Di samping itu, dengan bergaul sepanjang waktu, memungkinkan bagi santri untuk mencontoh perilaku dan cara hidup ustaz. Sebab, mencontoh merupakan salah satu cara belajar yang paling efektif daripada sekadar belajar secara kognitif. (Wakhudin, Pikiran Rakyat, 2007).

Dengan model pendidikan ala pondok pesantren, tiga aspek ranah pendidikan, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik akan sangat mudah diimplementasikan. Lain halnya dengan di lembaga pendidikan pada umumnya, bahwa format tiga ranah pendidikan tersebut masih dicari untuk bisa diimplementasikan. Dengan pendidikan ala pondok pesantren ini, tujuan pendidikan nasional dapat pula diejawantahkan.

Keberhasilan pola pendidikan ala pondok pesantren (terlepas dari kekurangannya di berbagai sisi) menjadikan para pengelola pendidikan tertarik untuk mengadopsinya. Sejak pertengahan 1990-an, ada fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan model pondok pesantren ramai-ramai diadopsi untuk mengembangkan sekolah plus yang menawarkan kelebihan bagi peserta didik.

Di sekolah yang kemudian disebut boarding school ini, peserta didik mengikuti kegiatan pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai di sore dan malam hari. Selama 24 jam, peserta didik berada di bawah pendidikan dan pengawasan para ustaz/guru dan pembimbing.

Di lingkungan sekolah, mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Sementara di asrama, mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama yang dipelajari di sekolah, juga untuk mengekspresikan rasa seni dan keterampilan hidup di hari-hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para ustaz/guru. Dari segi sosial, boarding school mengisolasi peserta didik dari lingkungan sosial yang heterogen. Dari segi semangat religiusitas, menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, intelektual, emosional, dan spiritual.

Dalam kehidupan asrama, peserta didik mendapatkan pembelajaran dan pengalaman hidup yang sangat baik. Ustaz/guru dan pembimbing hidup berdampingan dengan peserta didik di dalam kampus untuk sebanyak-banyaknya memberikan pengaruh yang baik agar budaya hidup dan kehidupan kampus normatif seiring dengan kematangan peserta didik secara fisik ataupun mental. Pola pendidikan pondok pesantren (boarding school) ini, memungkinkan untuk terbentuknya karakter peserta didik.

Memilih sekolah di pondok pesantren, bukanlah keputusan yang mudah bagi orang tua ataupun anak. Sedikitnya ada empat hal yang perlu dipersiapkan selain biaya pendidikan.

Pertama, perlu adaptasi dengan lingkungan. Sebab, yang biasanya anak bergaul hanya dengan teman sebaya dalam satu wilayah tertentu, kemudian harus bergaul dengan teman secara lebih luas dan kompleks. Sebab, komunitas pesantren berasal dari berbagai daerah dan berbagai karakter.

Kedua, perlu kesiapan mental baik dari anak maupun orang tua. Sebab, secara fisik mereka akan berpisah dalam waktu tertentu.

Ketiga, perlu kesabaran. Dengan kesabaran yang matang, anak akan mampu menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapinya.

Keempat, yang tidak kalah pentingnya, iringan doa dari orang tua, terutama doa di sepertiga malam. Rasulullah saw. pernah bersabda, "Ada tiga macam doa yang tidak diragukan lagi, pasti diterima, yaitu doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua kepada anaknya." (H.R. Tirmidzi).

Dengan empat hal di atas, diharapkan anak menjadi betah dan siap untuk belajar di lingkungan pondok pesantren (boarding school). Betah merupakan kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu di pondok pesantren. Sebab, anak yang cerdas tetapi tidak betah tidak akan mampu konsentrasi dalam belajar. Sebaliknya, anak yang biasa-biasa saja dari sisi kecerdasan bila betah akan mampu berprestasi. Wallahualam. ***



Penulis, Praktisi Pesantren di Kuningan, Jawa Barat.


PR edisi 17 Juli 2009

Selasa, 14 Juli 2009

PENDIDIKAN KARAKTER DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah Kab. Kuningan

”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asysyams [91]: 8-10).
Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan, pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan tersebut, penyelenggaraan pendidikan di sekolah mestinya bukan sekadar to transfer knowledge atau to change mental attitude. Orientasi pendidikan ke depan harus diarahkan untuk membentuk watak (karakter) peserta didik.
Bambang Q-Anees dan Adang Hambali dalam bukunya, menyebutkan bahwa pendidikan karakter berdiri di atas dua pijakan. Pertama, keyakinan bahwa pada diri manusia telah terdapat benih-benih karakter dan alat pertimbangan untuk menentukan tindakan kebaikan. Namun seperti sebuah benih, ia belum menjadi apa-apa, ia harus dibantu untuk ditumbuh-kembangkan. Kedua, pendidikan berlangsung sebagai upaya pengenalan kembali sekaligus mengafirmasi apa yang sudah dikenal dalam aktualisasi tertentu.
Lebih lanjut, mengutip Thomas Lickona dalam Pendidikan Karakter Berbasis Alquran, Bambang Q-Anees dan Adang Hambali menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan guna merealisasikan pendidikan karakter ini. Pertama, menanamkan sikap mental peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Dengan demikian, peserta didik memiliki kemampuan menjaga agamanya dengan selalu menjaga hubungan dengan Allah SWT (hablum minallah). Peserta didik juga akan mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah).
Melalui hablum minallah dan muraqabatullah ini, peserta didik tidak akan menjatuhkan dirinya ke dalam perilaku negatif, seperti penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran antarpelajar, kekerasan di kalangan pelajar, dan perilaku negatif lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Kedua, menumbuhkan kecerdasan sosial peserta didik yang diarahkan pada pembentukan dan penanaman sikap yang harmonis, selaras, seimbang dengan masyarakat atau dunia di sekitarnya (hamblum minannas).
Ketiga, mengembangkan kreativitas dan keterampilan peserta didik, dalam arti melatih kemampuan untuk menggali, mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia (ahsanu amala).
Dalam hal ini, kurikulum yang diterapkan mesti dikembangkan ke arah peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; penekanan di bidang agama; memperhatikan dinamika perkembangan global; dan menguatkan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pendidikan diharapkan mampu menjadi pilar utama dalam mempertahankan identitas dan kepribadian peserta didik di tengah terpaan arus globalisasi yang tidak bisa dihindari. Wallahu a’lam.


Pikiran-Rakyat, Pendidikan, Forum Guru, Rabu 1 Juli 2009, hal 21

OPTIMALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah, Kuningan




Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diajarkan di sekolah belum optimal. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya kualitas moral para siswa. Terbukti, masih maraknya kasus kriminalitas yang melibatkan pelajar, seperti penggunaan narkoba, seks bebas yang menyebabkan pelajar hamil di usia dini, dan kekerasan di kalangan pelajar. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI), saat memantau pelaksanaan Ujian Sekolah Standar Nasional Pendidikan Agama Islam (USSN-PAI) di Kabupaten Gresik, Jumat, 1 Mei 2009 lalu.
Memori kita pun kembali tergugah dengan adanya praktik bunuh diri yang dilakukan seorang bocah yang masih berumur 11 tahun, Ani Mulyani, siswa kelas 5 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sukakarya, Kampung Babakan Raweny, Kelurahan Sukakarya, Kota Sukabumi, beberapa waktu yang lalu.
Sebagai bangsa yang beragama, kita sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat dalam hal moralitas dan etika. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara khusus menekankan pentingnya pendidikan bagi peningkatan keimanan dan akhlak. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia ...”.
Menurut penulis, ada dua cara mendasar yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan PAI di sekolah. Pertama, internalisasi PAI melalui pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan fungsi pokok dan usaha yang paling strategis guna mewujudkan tujuan institusional. Tujuan setelah proses pembelajaran adalah sistem nilai yang harus tampak dalam perilaku dan merupakan karakteristik kepribadian siswa.
Pembelajaran sebagai sebuah metode menghendaki adanya perekayasaan situasi terencana yang memberikan perlakuan tertentu, untuk mengetahui akibat-akibatnya terhadap peserta didik. Menggunakan metode secara terencana, sistematik, dan terkontrol, baik dalam bentuk desain fungsional maupun faktoral melalui pengenalan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, melalui bentuk penggambaran konsep-konsep yang bersifat penghayatan dan pengamalan.
Pembelajaran dan internalisasi PAI di sekolah menghadapi berbagai persoalan mendasar. Di antaranya terkait dengan relevansi materi pembelajaran, strategi pembelajaran, dan keterbatasan bahan bacaan yang dapat mendukung perkembangan keagamaan peserta didik.
Sejauh ini penanaman nilai-nilai PAI di sekolah masih menitikberatkan kepada domain kognisi yang cenderung menampilkan agama sebagai seperangkat rumusan kepercayaan dan ajaran yang cenderung indoktrinatif-normatif. Akibatnya, bahan-bahan bacaan untuk mendukung domain tersebut terbatas pada buku-buku teks.
Padahal, upaya penanaman nilai-nilai PAI tidak sekedar menyangkut dimensi kepercayaan, tetapi lebih dari itu adalah dimensi pembudayaan. Dalam hal ini dibutuhkan agama dalam bentuknya yang efektif dan praktis. Artinya, agama mesti ditampilkan dalam performa historik, kontekstual dan aktual yang disajikan melalui pengalaman dan kisah hidup yang mengekspresikan perilaku keagamaan dan menjawab berbagai problem keseharian dalam suatu dimensi ruang, waktu dan konteks tertentu. Tentu saja melalui pola pembelajaran yang diarahkan pada upaya menciptakan model pembelajaran bagi peserta didik dan mampu memberi warna baru bagi pembelajaran nilai keagamaan.
Kedua, membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai PAI. Institusi pendidikan merupakan sebuah ranah (domain) sosial yang diharapkan mampu berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya intelektualitas, moralitas, dan orde kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian. Maka, dengan sendirinya, sebuah institusi pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa dibandingkan dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau dibandingkan barak militer.
Ini karena secara eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh serta belajar menerima keberadaan orang lain dengan prinsip tepa selira. Itulah sebabnya mengapa pembudayaan akal budi dalam dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani. Dalam dunia pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani.
Melalui internalisasi dan pembentukan lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai PAI, diharapkan mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya giat dalam menjalankan ibadah ritual, tetapi ia pula komitmen melakukan aktivitas-aktivitas yang terbingkai dengan nilai-nilai agama. Wallahu a’lam.



Republika, Akademia, Guru Menulis, Rabu, 17 Juni 2009, hal 22.

Sabtu, 13 Juni 2009

Pengaruh Doa dalam Mendidik Anak

oleh : Imam Nur Suharno, S.pd. M.Pd.I
Guru tidak sekedar menyampaikan ilmu.
Guru adalah arsitek peradaban


Perlu disadari bahwa gelar yang disandang seseorang bukanlah jaminan keberhasilan dalam mendidik. Sebaliknya, sangat mungkin gelar yang dimiliki dapat menjadi bumerang menuju kegagalan. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang terlalu yakin dengan kemampuan yang dimilikinya.

Kadang guru sering lupa, sebagai manusia, kita hanya mampu berusaha. Selebihnya, keputusan akhir tentang hasil usaha kita tetap bergantung kepada Allah SWT. Sikap terlalu yakin dengan kemampuan diri hingga menga­baikan Allah SWT akan membuatnya kehilangan kekuatan jiwa.

Ilmu yang dimiliki hanya bisa digunakan sebagai pedoman, sementara itu, berhasil-tidaknya proses pendi­dikan tetap harus diserahkan kepada Allah SWT. Doa yang selalu dipanjatkan bakal turut menentukan keberhasilan lebih lanjut. Intinya, seorang guru harus senantiasa melibatkan Allah SWT dalam mendidik. Sebab Sang Pencipta, Allah-lah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya.

Doa termasuk hal penting yang harus selalu kita pegang teguh. Melalui doa, rasa cinta dan kasih sayang kepada anak didik akan bertambah mekar di dalam hati. Untuk itu, hendaklah guru senantiasa memohon kepada Allah agar Dia meluruskan anak didiknya dan masa depannya. Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Ada tiga macam doa yang tidak diragukan lagi, pasti diterima, yaitu doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua (guru) kepada anaknya.” (HR. Tirmidzi).


Guru adalah orang tua para siswa. Karenanya, Rasulullah melarang para orang tua (guru) mendoakan keburukan bagi anak didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian mendoakan keburukan kepada diri kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan kepada anak-anak kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan kepada pelayan-pelayan kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan kepada harta kalian. Janganlah kalian mendoakan keburukan sebab jika waktu doa kalian bertepatan dengan saat-saat dikabulkannya doa maka Allah mengabulkan doa kalian (yang buruk itu).” (HR. Abu Dawud).

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahw­a ada seseorang yang datang kepada Abdullah bin Al-Mubarak seraya mengadukan perihal kedurhakaan anaknya. Ibnu Mubarak berkata, ”Pernahkah kamu mendoakan keburukan baginya?” Ia menjawab, ”Ya, pernah”. Ibnu Mubarak me­ngatakan, ”Engkau telah menghancurkannya”. Seharusnya, daripada engkau penyebab kehancurannya dengan mendoakan keburukan baginya lebih baik engkau menjadi penyebab keshalihannya dengan mendoakan kebaikan untuknya.

Guru tidak sekadar menyampaikan ilmu. Guru adalah arsitek peradaban, jika ia salah dalam mendidik, berarti ia salah dalam membentuk peradaban. Dan tanggung jawabnya pun tidak sebatas di dunia. Karenanya, guru harus senantiasa mendoakan anak didiknya di setiap waktu, terutama di waktu malam.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita mendoakan mereka? TG


Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.
Kepala MTs Husnul Khotimah, Desa Maniskidul, Jalaksana, Kuningan


*) Tulisan ini diterbitkan pada Teachers Guide Edisi No. 8 Vol

Senin, 04 Mei 2009

MENGGAGAS UN TERINTEGRASI

oleh : Imam Nur Suharno

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam membentuk generasi mendatang. Dengan pendidikan, diharapkan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas, bertanggung jawab, dan mampu mengantisipasi masa depan. Namun, dalam perjalanannya pendidikan tidak seperti apa yang diharapkan. Beberapa masalah muncul, seperti biaya pendidikan yang mahal, kurikulum yang sering berganti, dan standar kelulusan ujian nasional (UN) yang terus meningkat.

Setiap tahun, UN menyisakan kesedihan bagi siswa, orang tua, dan guru. Walaupun rakyat sudah berusaha mengajukan ke pengadilan agar UN ditiadakan dan putusan pengadilan berpihak kepada rakyat, tetapi sepertinya pemerintah enggan mendengar atau bahkan tidak mau kalah dengan rakyatnya. Buktinya, pemerintah mengajukan banding dan UN tetap dilaksanakan.

Terlepas dari gugatan rakyat dan sikap pemerintah terhadap putusan pengadilan tersebut, sebagai pendidik seharusnya kita menyikapi UN dengan wajar, yaitu membekali siswa untuk menghadapi UN dengan bekal sebaik dan sebanyak mungkin. Bekal di sini, berupa kesiapan materi ujian dan mental siswa dalam menghadapi UN. Jika proses pembekalannya maksimal, terprogram, dan terevaluasi dengan baik, perbuatan curang tidak akan terjadi. Bukankah hal tersebut merupakan pembodohan massal generasi muda secara terstruktur?

Ujian nasional merupakan upaya pemerintah, untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional dan sebagai seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI mengatakan, hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk, a) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; d) akreditasi satuan pendidikan; dan e) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Dalam UN, siswa dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah. Hal ini, mengundang pro dan kontra tentang penyelenggaraan UN. Dengan demikian, untuk memenuhi standar kelulusan tersebut, sebagian sekolah berupaya dengan berbagai cara, walaupun bertentangan dengan nilai-nilai moral. Mengapa hal ini terjadi?

Sekolah beralasan, di antaranya: (1) siswa yang telah belajar selama tiga tahun menjadi tidak lulus, hanya dalam waktu dua jam melalui UN; (2) hasil UN tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya, karena yang diperoleh siswa merupakan hasil kerja keras "tim sukses"; (3) UN menjadikan siswa malas belajar, karena kelulusan siswa ditentukan melalui ujian yang waktunya hanya empat atau lima hari; (4) nilai UN tidak dapat dijadikan sebagai alat pembeda terhadap kemampuan siswa, karena banyak faktor yang melatarbelakangi ketidaklulusannya; (5) sarana dan prasarana sekolah yang belum memadai dan lain sebagainya. Dengan UN, seharusnya kelima tujuan tersebut bisa diintegrasikan agar lebih efektif, efisien, dan ekonomis, serta tidak menimbulkan polemik yaitu melalui UN terintegrasi.

Menurut penulis, ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar melalui UN terintegrasi ini tujuan diselenggarakannya ujian dapat terpenuhi dan nilai-nilai moral pun terjaga.

Pertama, penentuan kelulusan ujian sepenuhnya diserahkan kepada sekolah penyelenggara, sehingga nilai yang diraih siswa mencerminkan yang sesungguhnya, bukan hasil kerja keras "tim sukses". Kedua, standar nilai yang ditetapkan pemerintah dijadikan sebagai acuan untuk seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga, memberikan sanksi kepada siswa yang melakukan kecurangan dalam ujian dengan tidak meluluskannya. Keempat, pembatalan kelulusan bagi siswa yang melakukan tindakan tercela setelah dinyatakan lulus, seperti mencoret-coret baju, kebut-kebutan, pesta miras, dan lain sebagainya. Kelima, melakukan penilaian secara terpadu, meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Keenam, memberikan arahan kepada siswa untuk melakukan sujud syukur, dilanjutkan dengan pengumpulan seragam layak pakai untuk diberikan kepada adik kelas yang kurang mampu.

Semoga melalui UN terintegrasi ini, diharapkan sekolah dapat melaksanakan amanah pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Wallahualam. ***

Penulis, pemerhati pendidikan dan Kepala MTs. Husnul Khotimah Kuningan.
PR Edisi 28 April 2009

Jumat, 24 April 2009

Kriteria Pemimpin

Oleh Imam Nur Suharno

''Berkata Yusuf, 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan'.'' (QS Yusuf [12]: 55).Islam senantiasa memberikan perhatian yang besar dalam masalah kepemimpinan. Bahkan, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memilih dan mengangkat seorang pemimpin jika ada tiga orang yang bepergian. ''Jika tiga orang bepergian, mereka wajib menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai pemimpinnya.'' (HR Abu Dawud).

Adapun ayat Alquran di atas mengisyaratkan tentang kriteria mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama,hafidzun (yang pandai menjaga).Seorang pemimpin harus mampu menjaga agamanya dengan selalu menjaga hubungan dengan Allah SWT ( hablum minallah ). Seorang pemimpin juga mesti mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya ( muraqabatullah ).

Melalui hablum minallah dan muraqabatullah ini, seorang pemimpin tidak akan menjatuhkan dirinya ke dalam perilaku negatif, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ia akan bekerja dengan amanah, jujur, memiliki integritas, dan komitmen terhadap kemajuan bangsa dan negara. Sifat ini hanya bisa terwujud pada diri seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual ( spiritual quotient ) dan juga kecerdasan emosional ( emotional quotient ).

Kedua, 'alimun (berpengetahuan). Seorang pemimpin harus memiliki dan menguasai beragam disiplin ilmu untuk menunjang keberhasilan kepemimpinannya. Di antara ilmu itu seperti ilmu agama, manajerial dan leadership , ketatanegaraan, pengetahuan tentang kompleksitas problematika masyarakat, dan ilmu lainnya yang menunjang untuk kesuksesan dan keberhasilan kepemimpinannya.

Dengan kekuatan ilmu pengetahuan yang dimiliki, seseorang dapat memimpin secara profesional, sehingga kebijakan yang dibuatnya akan berorientasi pada kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Sifat ini hanya bisa terwujud pada diri seorang pemimpin yang mempunyai kecerdasan intelektual ( intellectual quotient ).

Pada momentum pergantian kepemimpinan nasional kali ini, kita berharap dapat tampil sosok pemimpin yang memiliki dua kriteria mendasar di atas. Dengan demikian, siapa pun pemimpin yang terpilih kelak, akan mampu membawa bangsa ini menuju perubahan yang lebih baik, bukan sebaliknya.




dimuat di kolom Hikmah Republika edisi Jumat, 24 April 2009

Rabu, 22 April 2009

The Golden Theacher

Republika
Rabu, 22 April 2009 pukul 00:21:00

Imam Nur Suharno, Kepala MTs Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat


Banyak siswa atau orang tua yang mengeluhkan model guru memberikan pembelajaran. Mereka menganggap, sebagian besar guru cenderung mengajar secara monoton dan otoriter. Alhasil, murid kerap merasa takut dan bosan.

Jika seorang guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dapat mengundang perhatian siswa dan dirasakan menyenangkan, hal ini justru bisa membuat apa yang disampaikan lebih efektif. Murid pun bisa dengan mudah menerima materi tersebut serta akan mengikutinya dengan sangat menyenangkan.

Kreatifitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran. Guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia kehidupan di sekitar kita. Kreatifitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu.

Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik. Dengan demikian, peserta didik akan menilainya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreatifitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.

Guru harus berpacu dalam pembelajaran. Dengan memberikan kemudahan belajar bagi peserta didik, secara tidak langsung ia juga dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru harus kreatif, profesional dan menyenangkan. Untuk itu, guru bisa mengambil posisi dan berperan sebagai : Pertama, orang tua. Dalam posisi ini, guru akan berperangpenuh kasih sayang pada peserta didiknya. Kedua, sebagai teman. Disini, guru akan menjadi tempat mengadu dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.

Ketiga, sebagai fasilitator. Disini, guru akan selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan dan bakatnya. Keempat, memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya. Kelima, memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.

Keenam, membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan dengan orang lain secara wajar. Ketujuh, mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya. Kedelapan, mengembangkan kreatifitas. Dan kesembilan, siap membantu ketika diperlukan.Di luar itu semua, ada hal lain yang tak kalah pentingnya bagi seorang guru agar mampu memikat hati peserta didik. Hal itu adalah seorang guru harus penuh perhatian, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Diceritakan, saat Rasulullah SAW sedang lewat rumah putrinya, beliau mendengar suara Husain menangis. Beliau lantas singgah sebentar di rumah putrinya untuk mengingatkan putrinya dengan berkata, ''Hai Fatimah, apa kamu tidak mengerti bahwa tangis anak itu sangat menyedihkan hatiku.''

Tak jarang anak didik merasa sedih dan bahkan menangis saat berada dalam kelas. Guru yang penuh perhatian akan dapat menanyakan perasaannya dan mencari tahu akar masalah yang dihadapi si murid. Dengan bertanya, mungkin murid itu akan menceritakan masalahnya sehingga guru berpeluang untuk membantu memecahkan masalahnya. Dengan begitu ia akan segera menghentikan kesedihannya.

Dengan posisi dan peran-peran tersebut, jika bisa dilaksanakan dengan baik, hasilnya, guru yang mampu memikat hati anak didik, mereka akan selalu dikenang dan dinanti kehadirannya dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Bahkan, guru akan menjadi The Golden Teacher di mata anak didik. Wallahu a’lam.

Selasa, 24 Maret 2009

Silih Bergantinya Kepemimpinan

Oleh : Imam Nur Suharno MPdI *)

DI ANTARA sunnatullah dalam kehidupan dunia adalah ketetapan silih bergantinya kesuksesan manusia. Ini merupakan salahsatu sunnatullah yang berkaitan dengan komunitas manusia.
Pada suatu masa, kepemimpinan berada di tangan orang yang dzalim dan pada waktu yang lain kepemimpinan tersebut berpindah ke tangan orang yang benar. Namun, pada akhirnya kepemimpinan tersebut akan selalu berada di tangan orang-orang yang benar.
Allah SWT berfirman, “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa, dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” (QS Ali Imran [3]: 140-141).
Silih bergantinya kepemimpinan di antara manusia sesuai dengan amal perbuatan dan niatnya. Jelas bahwa sesungguhnya kepemimpinan akan berada di tangan mereka yang mengetahui dan memelihara faktor-faktor kesuksesan dengan sebaik-baiknya.
Faktor-faktor tersebut adalah pertama, sikap konsisten. Sikap ini lahir dari sikap percaya diri (optimis) yang kuat, memiliki integritas serta mampu mengelola emosi secara efektif. Pemimpin yang konsisten adalah pemimpin yang seluruh hidupnya ditempuh untuk jalan yang lurus. Konsisten adalah prinsip, dan pelanggaran terhadap prinsip berarti pengkhianatan pada cita-cita dan karenanya menghancurkan struktur karakteristik dirinya.
Kedua, banyak berdoa. Doa merupakan kekuatan tersembunyi yang tidak dapat ditangkap oleh akal manusia dan dapat terjadi secara tiba-tiba. Doa juga menjadi salah satu faktor penyebab di balik setiap keberhasilan yang dicapai. Hal ini sudah menjadi bukti sejarah sepanjang masa. DR. Alexis Carrel pernah berkata, ”Doa merupakan bentuk energi yang paling ampuh yang dapat dihasilkan sendiri oleh setiap orang. Karenanya, tambahlah energi kehidupan dengan memperbanyak doa.
Ketiga, ketaatan terhadap pimpinan. Salah satu faktor kekalahan umat Islam dalam perang Uhud adalah karena melemahnya ketaatan terhadap pimpinan. Pada mulanya kaum Muslimin dapat memukul mundur pasukan musuh. Namun, karena tergiur dengan harta benda yang ditinggalkan musuh, pasukan kaum Muslimin kurang waspada dan tidak menghiraukan lagi gerakan musuh. Pasukan pemanah pun mulai meninggalkan pos-pos mereka. Melihat situasi seperti itu, panglima berkuda pasukan musuh memutar haluan dan balik menyerang pasukan kaum Muslimin. Pasukan pemanah kaum Muslimin berhasil dilumpuhkan dan pasukan infantri dapat dihancurkan musuh.
Keempat, soliditas dan persatuan. Soliditas dan persatuan ini merupakan salah satu faktor yang berkontribusi dalam kesuksesan. Kelima, memiliki kesabaran. Kemampuan mengendalikan diri untuk senantiasa sabar walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan. Sabar bukan berarti berhenti dari beraktifitas, justru sabar disini berarti usaha secara terus-menerus untuk mencari solusi yang terbaik guna meraih kesuksesan.
Berkaitan dengan pentingnya nilai sabar, ada kata-kata hikmah yang patut ditafakuri, ”Banyak orang yang sukses dengan sabar menghadapi penderitaan, namun gagal dalam menerima kesuksesan.” Artinya, kekalahan tidak selamanya disebabkan oleh adanya gangguan yang datang menimpa, namun bisa disebabkan oleh adanya ’euphoria’ kesuksesan yang dimilikinya sehingga lalai dalam menjalankan tugasnya secara efektif.
Dan keenam, memiliki integritas moral yang memadai. Seorang pemimpin harus teguh mempertahankan prinsip, tidak mau korupsi, dan nilai-nilai moral menjadi dasar yang melekat pada diri sendiri. Integritas bukan hanya sekedar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah tindakan. Integritas adalah satu kata dengan perbuatan, dia berkata jujur dan tentu saja tidak akan berbohong. Kejujuran berarti menyampaikan kebenaran, ucapannya sejalan dengan tindakannya. Jauh-jauh hari, pendiri pendidikan bangsa ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin haruslah mampu (di depan) memberi contoh, (di tengah) memberi inspirasi, dan (di belakang) memberikan dorongan.
Pemimpin baru akan tampil di panggung politik di negeri ini. Oleh sebab itu, siapa pun pemimpin yang terpilih kelak harus mampu membawa bangsa ini menuju perubahan yang lebih baik, bukan sebaliknya. Wallahu a’lam. (*)

*) Penulis : Pemerhati Sosial dan Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan.
radar cirebon 20 Maret 2009

Minggu, 01 Maret 2009

Budaya Kekerasan dalam Pendidikan

Oleh : Imam Nur Suharno MPdI *)

MEMORI kita tentang praktik kekerasan di dunia pendidikan tergugah kembali setelah kasus kematian Dwi Yanto Wisnu Nugraha, mahasiswa Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menjadi isu besar di media massa.
Dwi Yanto tewas saat mengikuti inaugurasi anggota baru yang diadakan Ikatan Mahasiswa Geodesi. Kasus ini langsung menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama dunia pendidikan tinggi yang beberapa tahun lalu sempat tercoreng oleh sejumlah kasus yang skalanya lebih besar dari peristiwa yang menimpa mahasiswa ITB itu.
Dalam melihat fenomena ini, ada beberapa analisa yang ditulis oleh Drs. Abd. Rachman Assegaf, M.Ag., dkk, Staf Pengajar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam sebuah penelitiannya: pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.
Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Dan, kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku
Menurut hemat penulis, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guna mengendalikan budaya kekerasan dalam pendidikan. Pertama, internalisasi nilai-nilai agama melalui pembelajaran. Penyadaran merupakan inti proses pembelajaran dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas, maka siswa mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata.
Seperti halnya pendekatan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan, pembiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama. Kemudian menggugah perasaan dan spiritual peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agama, memberikan peranan kepada akal dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, serta menyajikan ajaran agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.
Hal ini akan mewujudkan keshalihan sosial, dan keshalihan individual peserta didik dan merubah perilaku yang hanya menjadi simbol-simbol keagamaan ke nilai substantif yang diwujudkan dalam kehidupan obyektif empiris sehari-hari.
Kedua, memberikan keteladanan. Pendidik adalah prototipe dalam pandangan siswa. Oleh sebab itu, teladan yang baik dalam pandangan siswa pasti akan diikutinya dengan perilaku dan akhlak yang baik pula. Keteladanan ini akan terpatri dalam jiwanya. Karenanya yang disebut baik oleh siswa adalah apa yang dilakukan oleh pendidik, dan yang disebut buruk oleh siswa adalah apa yang ditinggalkan oleh pendidik. Dalam peribahasa dikatakan, guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari.
Dan ketiga, membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama. Institusi pendidikan merupakan sebuah ranah (domain) sosial yang diharapkan mampu berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya intelektualitas, moralitas, dan orde kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian. Maka, dengan sendirinya, sebuah institusi pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa dibandingkan dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau dibandingkan barak militer.
Ini karena, secara eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh serta belajar menerima keberadaan orang lain dengan prinsip tepa selira. Itulah mengapa, pembudayaan akal budi dalam dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani. Dalam dunia pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani.
Oleh karena itu sekolah harus mengusahakan terciptanya situasi yang tepat sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber dan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Wallahu a’lam bish shawab. (*)

*) Penulis : Pemerhati Pendidikan dan Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan.
radar cirebon

Perhiasan Dunia

Oleh Imam Nur Suharno

''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).'' (QS Ali Imran [3]: 14).

Allah SWT menjelaskan dalam ayat di atas tentang penghias kehidupan manusia. Pertama, annisa (wanita-wanita). Allah SWT menjadikan mereka sebagai penenang jiwa, raga, dan hati. Juga sebagai tempat yang menyenangkan dan penghibur nurani. (QS Arrum [30]: 21).

Dalam ayat yang lain, Allah SWT mengingatkan agar kita pun waspada terhadap wanita. Sebab, wanita bisa menjadi musuh dan penyebab yang melalaikan dari mengingat-Nya. (QS Attaghabun [64]: 14).

Wanita sebagai penghias kehidupan ditempatkan pada urutan pertama, karena wanita merupakan bentuk ujian terberat, di samping harta dan tahta. Kecintaan pada wanita terkadang mendorong seseorang berbuat tercela, menghalalkan berbagai macam cara dalam mendapatkan harta dan tahta.

Karenanya, Rasulullah SAW mengingatkan, ''Cobaan terbesar yang aku tinggalkan untuk umatku adalah wanita.'' (HR Ibnu Majah).

Kedua, albanun (anak-anak). Walaupun kata tersebut berbentuk mudzakkar, tapi artinya mencakup anak laki-laki dan perempuan. Penyebutan anak dengan kata albanun mengindikasikan bahwa anak laki-laki secara alami lebih diharapkan kehadirannya daripada wanita, sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyah yang membedakan perhatian antara anak laki-laki dan perempuan. (QS Annahl [16]: 58-59).

Ketiga, alqanathir almuqantharah (harta yang banyak). Ungkapan ini mengesankan bahwa harta merupakan ujian berat, dapat menyibukkan hati ketika menikmatinya, dan dapat pula membuat hati terlena dari mengingat Allah SWT. (QS Almunafiqun [63]: 9).

Keempat, alkhail almusawwamah (kuda pilihan). Kuda merupakan simbol kendaraan yang paling disenangi dan digemari, yang memiliki keindahan, kewibawaan, kecepatan, dan kekuatan.

Kelima, al-an'am (binatang ternak). Semua jenis binatang ternak seperti unta, sapi, kambing, dan domba merupakan harta kekayaan. Melalui binatang ternak manusia memperoleh kekayaan dan penghidupan. (QS Annahl [16]: 5-7).

Dan keenam, alharts (sawah ladang). Sawah ladang adalah tempat tumbuhnya tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang disukai, sebagai sarana kelangsungan hidup manusia.

Itu semua merupakan kesenangan hidup di dunia. Kenikmatan, kesenangan, dan segala sesuatu yang menyerupainya adalah perhiasan dunia. Bukan perhiasan kehidupan yang mulia, tapi perhiasan bumi yang dekat, dan bisa melalaikan manusia.

Selasa, 24 Februari 2009 pukul 06:47:00/republika

Senin, 09 Februari 2009

TANGISAN

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

Air mata yang mengalir dari bola mata menandakan gambaran perasaan hati seseorang. Ibnu Faris menyebutkan bahwa tangis merupakan jenis perbuatan yang tampak, yang di dalamnya terkandung ketundukan, kekhusyu’an dan kerendahan hati, yang disertai suara perlahan dan pandangan sendu.
Tangis yang sebenarnya muncul setelah ada ketundukan, sehingga seseorang yang menangis akan bertambah tunduk hatinya. Allah SAW berfirman, ”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadid [57] : 16).
Ibnu Katsir berkata tentang ayat di atas, apakah belum tiba saatnya bagi orang-orang mukmin untuk tunduk hati dengan mengingat Allah. Dengan kata lain, apakah hati mereka tidak melunak tatkala berdzikir dan membaca Al-Qur’an, sehingga mereka bisa memahami, mendengarkan dan taat kepada-Nya?
Ada beberapa sebab seseorang menangis sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim, yaitu menangis karena kasih sayang, menangis karena takut, menangis karena cinta, menangis karena gembira, menangis karena cemas, menangis karena sedih, menangis karena merasa hina, menangis kemunafikan, menangis karena pamrih, dan menangis karena ikut-ikutan.
Sedangkan tangis yang dibenarkan adalah tangis yang berasal dari suara hati karena dorongan iman, lalu diwujudkan dengan tindakan. Inilah air mata yang akan dapat memadamkan panasnya api neraka. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah mata seseorang meneteskan air mata kecuali Allah akan mengharamkan tubuhnya dari api neraka. Dan apabila air matanya mengalir di pipi maka wajahnya tidak akan terkotori oleh debu kehinaan. Apabila seseorang pada suatu kaum menangis, maka kaum itu akan dirahmati. Tidaklah ada sesuatupun yang tak mempunyai kadar dan batasan kecuali air mata, sesungguhnya air mata dapat memadamkan lautan api neraka.”
Sedangkan sesuatu yang dapat menyelamatkan diri dari perbuatan dosa adalah rasa takut kepada Allah akan kerasnya adzab api neraka. Sehingga rasa takut ini mampu mendorong seseorang untuk selalu menghindar dan berhati-hati terhadap amalan yang dibenci dan dimurkai Allah SWT. Rasa takut ini menyebabkan ketidakmampuan bola mata menahan laju air mata. Inilah bola mata yang tak akan tersentuh api neraka.
Rasulullah SAW bersabda, ”Ada dua bola mata (manusia) yang tak akan tersentuh api neraka, mata yang menangis di waktu malam hari karena takut kepada Allah dan bola mata yang menjaga pasukan fi sabilillah di malam hari.”
Rasulullah SAW juga menyebutkan tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah SWT, satu di antaranya adalah seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan yang sepi lalu kedua matanya mencucurkan air mata.
Kalau ada orang yang tak mampu menangis karena dosanya, justru menangislah karena ketidakmampuan itu. Jadi, bila kita punya haru, sesal dengan dosa-dosa, atau duka buat orang tercinta; silakan menangis!

BAHAYA GHIBAH

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu? Jawab sahabat, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Nabi bersabda, “Yaitu menyebut saudaramu dengan apa-apa yang ia tidak suka disebutnya.” Lalu Nabi ditanya, “Bagaimanakah kalau itu memang sebenarnya ada padanya? Jawab Nabi, “Kalau memang sebenarnya begitu, itulah yang bernama ghibah. Tetapi jikalau menyebut apa-apa yang tidak sebenarnya, berarti kamu telah menuduhnya dengan kebohongan (yang lebih besar dosanya)”. (HR. Muslim).
Ghibah berarti menggunjing, mengumpat dan membicarakan keburukan orang lain. Mempergunjingkan apa-apa yang terkait dengan seseorang, baik fisiknya, akhlak, anak, orang tua maupun hartanya, dan seterusnya karena ada unsur kebencian (tidak suka).
Diriwayatkan, ada seorang wanita pendek datang kepada Nabi SAW untuk menyampaikan maksudnya. Setelah wanita tersebut keluar, Aisyah berkata, “Alangkah pendeknya dia”. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Takutlah akan ghibah, sebab ada tiga bencana (bagi pelaku ghibah), yaitu tidak akan dikabulkan doanya, tidak diterima kebaikannya, dan kejahatan dalam dirinya akan bertumpuk-tumpuk.” Karenanya, jauh-jauh hari Rasulullah SAW melarang umatnya ber-ghibah-ria. “Jauhilah olehmu ghibah. Sesunguhnya ghibah itu lebih berbahaya dari zina.” (HR Ibnu Hibban, Ibnu Abi ad-Dunia, dan Ibnu Mardawaih).
Menurut Imam Al-Ghazali, jika seseorang berzina, kemudian ia bertaubat secara ikhlas, maka taubatnya diterima Allah SWT. Akan tetapi, pelaku ghibah tidak akan diampuni dosanya sebelum meminta maaf terlebih dahulu kepada orang yang dighibahinya.
Menyebarkan gosip dan bergunjing termasuk perilaku tercela. Mencari-cari kesalahan orang lain, dan menjadikan orang lain sasaran tertawaan adalah perilaku yang harus dihindari. Allah SWT memperingatkan bahwa kebiasaan menggunjing sama dengan orang yang suka memakan daging saudaranya yang telah mati. Sungguh sangat menjijikkan.
Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah satu dari kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat [49] : 12).
Mengapa berbuat ghibah dianalogkan dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati? Jawabannya adalah karena orang yang dicaci dari belakang, yang menjadi obyek ghibah sama halnya dengan mayat, tidak punya kesempatan untuk menjelaskan dan membela diri. Dalam ilmu sosial, tindakan semacam ini sering dinamakan pembunuhan karakter yang berupa fitnah.
Amat luas dan padat pengajaran untuk menjauhi ghibah. Namun amat sedikit yang meresapi. Amal yang kita lakukan bersusah payah bahkan dapat lenyap karena rutinitas ghibah. Dalam Al-Qur’an yang mulia, Allah SWT berfirman, ”Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18] : 104). Wallahu a’lam bish-shawab.

Kamis, 15 Januari 2009

MEMBANTU SESAMA MUSLIM

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI

Seorang Muslim membantu Muslim yang lain merupakan kewajiban syar’i. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (QS Al Anfal : 72-74).
Ayat di atas menegaskan agar sesama Muslim saling tolong-menolong, bekerja sama, dan bahu-membahu untuk memerangi segala bentuk kedzaliman yang terjadi di muka bumi ini. Sebab, perpecahan akan selalu membawa malapetaka dan kerusakan besar di tengah-tengah ummat.
Orang-orang di luar Islam, mereka saling bekerja sama untuk memusuhi kaum Muslimin, sebagaimana kita saksikan kebiadaban Israil terhadap bangsa Palestina. Benarlah kata Imam Ali dalam pesannya, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.”
Syaikh Abdul Khaliq as Syarif mengatakan, sepuluh kewajiban individu Muslim dalam membantu kaum Muslimin Palestina. Pertama, menegakkan agama Allah dalam diri kita dengan cara komitmen dengan hukum-hukum Allah, menegakkan kewajiban, dan syiar-syiar Islam dalam diri kita, rumah tangga, dan lingkungan sekitar.
Kedua, membaca doa qunut nazilah dalam setiap shalat, dan secara khusus pada shalat malam. Karena sepertiga malam merupakan waktu yang mustajab untuk dikabulkannya doa.
Ketiga, menumbuhkan ikatan emosional persaudaraan antar sesama Muslim. Ikatan inilah yang sengaja dijauhkan oleh musuh-musuh Islam. Ketauhilah bahwa, ” Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS Al Hujurat : 10).
Rasulullah SAW menegaskan, ”Perumpamaan orang-orang Mukmin di dalam persahabatan dan rasa kasih sayangnya seperti tubuh yang satu. Apabila salah satu anggota tubuh itu sakit, maka semua anggota tubuh yang lain merasakan sakit.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat, berjihad dengan harta. Berjihad dengan harta ini berlaku bagi kaum Muslim yang tidak mampu berjihad dengan jiwanya. Kelima, menyebarkan permasalahan Palestina di seluruh lapisan masyarakat supaya mereka sadar bahwa permasalahan Palestina merupakan permasalahan ummat Islam.
Keenam, mengenalkan permasalahan Palestina kepada para generasi muda bahwa agresi Israil terhadap Palestina merupakan bentuk penjajahan terhadap ummat Islam. Ketujuh, memboikot produk-produk Yahudi dan sekutunya.
Kedelapan, berpartisipasi positif dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina, seperti demonstrasi menentang agresi Israil, menyebarkan artikel tentang kejahatan Israil terhadap Palestina, dan lain sebagainya.
Kesembilan, menggunakan nama para syuhadak Palestina menjadi nama-nama jalan dan nama anak-anak. Dan kesepuluh, meningkatkan ruhul jihad dalam jiwa kita dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an dan hadits tentang jihad.
Untuk itu, marilah kita merapatkan barisan dan bergandengan tangan dalam menyelesaikan permasalahan ummat, seperti permasalahan yang terjadi di Gaza, Palestina. Wallahu a’lam.

Minggu, 11 Januari 2009

PERAN GURU MADRASAH DALAM MEMBANGUN ANAK BANGSA

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.
Pengurus Persatuan Guru Madrasah (PGM) dan
Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan

Wujud yang termulia di dunia ini adalah manusia; dan bagian manusia yang termulia adalah hatinya. Dan guru dalam hal ini adalah bekerja menyempurnakan, mengangkat derajat, membersihkan dan menggiringnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Ihya’ Ulumuddin – Al Ghazali)
Pembangunan pendidikan memiliki peran sangat penting dan strategis dalam pembangunan bangsa sehingga sejak awal para pendiri bangsa telah menggariskannya dalam salah satu tujuan bernegara di dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Bahkan, sebelum bangsa ini merdeka, Ki Hajar Dewantoro sebagai Bapak Pendidikan menyatakan bahwa, melalui pendidikanlah manusia Indonesia bisa jadi maju dan beradab sehingga bisa bergaul, sejajar dan dikenal di antara bangsa-bangsa di dunia.
Salah satu faktor terpenting dari pendidikan adalah guru atau pendidik. Guru adalah jembatan generasi selanjutnya dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia. Kini banyak di antara kita yang telah berhasil diantarkan oleh guru untuk menduduki posisi puncak dalam berbagai posisi, baik di dunia usaha, pemerintahan, militer, maupun di posisi lainnya, itu merupakan produk yang dihasilkan oleh guru.
Guru sebagai pendidik merupakan gerbang awal dalam pembentukan kepribadian siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi terwujudnya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Guru merupakan orang yang ditangannya terletak masa depan bangsa.
Sebenarnya sejak lama madrasah atau pondok pesantren telah mampu membangun kecerdasan bangsa dan menjadi garda moral bangsa. Para pejuang kemerdekaan, seperti Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Kahar Muzakir, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, dan banyak lagi adalah tokoh bangsa yang lahir dari proses pendidikan madrasah. Pasca kemerdekaan muncul tokoh bangsa seperti Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid, M. Maftuh Basyuni, Mahfud MD, Jimly Assiddiqie, dan lain-lain yang konsisten membangun kehidupan dan kepribadian bangsa.
Keberadaan organisasi Persatuan Guru Madrasah (PGM) dengan visi “Terwujudnya Guru Madrasah yang Berkualitas, Sejahtera, dan Bermartabat”, dan misi (1) Meningkatkan profesionalisme guru madrasah; (2) Membangun kerjasama yang baik dengan semua pihak; (3) Memperjuangkan kesejahteraan guru madrasah dengan landasan akhlaqul karimah; mungkin bisa menjadi awal yang baik dalam rangka membangun citra madrasah. Para guru madrasah, baik guru mengaji, RA, MI, MTs, maupun MA, sudah memiliki visi yang satu tentang madrasah, dan ini merupakan prestasi besar yang perlu mendapatkan apresiasi besar pula dari pemerintah, baik moral maupun material karena berperan besar dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam.
Harapan kita ke depan adalah, apabila kita menyebut guru, hendaknya tidak dibedakan apakah itu guru sekolah umum atau guru madrasah, yang berdasarkan undang-undang adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Dikotomi ini harus dihilangkan, karena guru-guru madrasah itu mendidik anak-anak bangsa juga, yang mempunyai hak yang sama dan akan menjadi kader-kader pembangunan seperti yang lain.
Masing terngiang di benak kita tentang sejarah hancurnya Jepang. Pasca pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang, Hirihito, mengumpulkan para pejabatnya, termasuk pemimpin pasukan perang, Jenderal Toyo, untuk menanyakan tentang satu hal yang penting: ”Berapa jumlah guru yang masih hidup?” Mengapa Kaisar Hirohito tidak menanyakan sisa jenderal yang masih hidup, atau menanyakan yang lainnya, selain guru? Karena, seorang guru akan dapat melahirkan ribuan jenderal, pengusaha, birokrasi, dan lain sebagainya. Maka dengan jumlah guru yang masih tersisa saat itu, Jepang berbenah diri.
Jepang, dengan memberikan perhatian terhadap pendidikan (guru), Jepang mampu bangkit dan menjadi negara maju seperti yang kita lihat saat ini. Bagaimana dengan kita?