Kamis, 15 Januari 2009

MEMBANTU SESAMA MUSLIM

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI

Seorang Muslim membantu Muslim yang lain merupakan kewajiban syar’i. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (QS Al Anfal : 72-74).
Ayat di atas menegaskan agar sesama Muslim saling tolong-menolong, bekerja sama, dan bahu-membahu untuk memerangi segala bentuk kedzaliman yang terjadi di muka bumi ini. Sebab, perpecahan akan selalu membawa malapetaka dan kerusakan besar di tengah-tengah ummat.
Orang-orang di luar Islam, mereka saling bekerja sama untuk memusuhi kaum Muslimin, sebagaimana kita saksikan kebiadaban Israil terhadap bangsa Palestina. Benarlah kata Imam Ali dalam pesannya, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.”
Syaikh Abdul Khaliq as Syarif mengatakan, sepuluh kewajiban individu Muslim dalam membantu kaum Muslimin Palestina. Pertama, menegakkan agama Allah dalam diri kita dengan cara komitmen dengan hukum-hukum Allah, menegakkan kewajiban, dan syiar-syiar Islam dalam diri kita, rumah tangga, dan lingkungan sekitar.
Kedua, membaca doa qunut nazilah dalam setiap shalat, dan secara khusus pada shalat malam. Karena sepertiga malam merupakan waktu yang mustajab untuk dikabulkannya doa.
Ketiga, menumbuhkan ikatan emosional persaudaraan antar sesama Muslim. Ikatan inilah yang sengaja dijauhkan oleh musuh-musuh Islam. Ketauhilah bahwa, ” Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS Al Hujurat : 10).
Rasulullah SAW menegaskan, ”Perumpamaan orang-orang Mukmin di dalam persahabatan dan rasa kasih sayangnya seperti tubuh yang satu. Apabila salah satu anggota tubuh itu sakit, maka semua anggota tubuh yang lain merasakan sakit.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat, berjihad dengan harta. Berjihad dengan harta ini berlaku bagi kaum Muslim yang tidak mampu berjihad dengan jiwanya. Kelima, menyebarkan permasalahan Palestina di seluruh lapisan masyarakat supaya mereka sadar bahwa permasalahan Palestina merupakan permasalahan ummat Islam.
Keenam, mengenalkan permasalahan Palestina kepada para generasi muda bahwa agresi Israil terhadap Palestina merupakan bentuk penjajahan terhadap ummat Islam. Ketujuh, memboikot produk-produk Yahudi dan sekutunya.
Kedelapan, berpartisipasi positif dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina, seperti demonstrasi menentang agresi Israil, menyebarkan artikel tentang kejahatan Israil terhadap Palestina, dan lain sebagainya.
Kesembilan, menggunakan nama para syuhadak Palestina menjadi nama-nama jalan dan nama anak-anak. Dan kesepuluh, meningkatkan ruhul jihad dalam jiwa kita dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an dan hadits tentang jihad.
Untuk itu, marilah kita merapatkan barisan dan bergandengan tangan dalam menyelesaikan permasalahan ummat, seperti permasalahan yang terjadi di Gaza, Palestina. Wallahu a’lam.

Minggu, 11 Januari 2009

PERAN GURU MADRASAH DALAM MEMBANGUN ANAK BANGSA

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.
Pengurus Persatuan Guru Madrasah (PGM) dan
Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan

Wujud yang termulia di dunia ini adalah manusia; dan bagian manusia yang termulia adalah hatinya. Dan guru dalam hal ini adalah bekerja menyempurnakan, mengangkat derajat, membersihkan dan menggiringnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Ihya’ Ulumuddin – Al Ghazali)
Pembangunan pendidikan memiliki peran sangat penting dan strategis dalam pembangunan bangsa sehingga sejak awal para pendiri bangsa telah menggariskannya dalam salah satu tujuan bernegara di dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Bahkan, sebelum bangsa ini merdeka, Ki Hajar Dewantoro sebagai Bapak Pendidikan menyatakan bahwa, melalui pendidikanlah manusia Indonesia bisa jadi maju dan beradab sehingga bisa bergaul, sejajar dan dikenal di antara bangsa-bangsa di dunia.
Salah satu faktor terpenting dari pendidikan adalah guru atau pendidik. Guru adalah jembatan generasi selanjutnya dalam mengembangkan Sumber Daya Manusia. Kini banyak di antara kita yang telah berhasil diantarkan oleh guru untuk menduduki posisi puncak dalam berbagai posisi, baik di dunia usaha, pemerintahan, militer, maupun di posisi lainnya, itu merupakan produk yang dihasilkan oleh guru.
Guru sebagai pendidik merupakan gerbang awal dalam pembentukan kepribadian siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi terwujudnya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Guru merupakan orang yang ditangannya terletak masa depan bangsa.
Sebenarnya sejak lama madrasah atau pondok pesantren telah mampu membangun kecerdasan bangsa dan menjadi garda moral bangsa. Para pejuang kemerdekaan, seperti Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Kahar Muzakir, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, dan banyak lagi adalah tokoh bangsa yang lahir dari proses pendidikan madrasah. Pasca kemerdekaan muncul tokoh bangsa seperti Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid, M. Maftuh Basyuni, Mahfud MD, Jimly Assiddiqie, dan lain-lain yang konsisten membangun kehidupan dan kepribadian bangsa.
Keberadaan organisasi Persatuan Guru Madrasah (PGM) dengan visi “Terwujudnya Guru Madrasah yang Berkualitas, Sejahtera, dan Bermartabat”, dan misi (1) Meningkatkan profesionalisme guru madrasah; (2) Membangun kerjasama yang baik dengan semua pihak; (3) Memperjuangkan kesejahteraan guru madrasah dengan landasan akhlaqul karimah; mungkin bisa menjadi awal yang baik dalam rangka membangun citra madrasah. Para guru madrasah, baik guru mengaji, RA, MI, MTs, maupun MA, sudah memiliki visi yang satu tentang madrasah, dan ini merupakan prestasi besar yang perlu mendapatkan apresiasi besar pula dari pemerintah, baik moral maupun material karena berperan besar dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam.
Harapan kita ke depan adalah, apabila kita menyebut guru, hendaknya tidak dibedakan apakah itu guru sekolah umum atau guru madrasah, yang berdasarkan undang-undang adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Dikotomi ini harus dihilangkan, karena guru-guru madrasah itu mendidik anak-anak bangsa juga, yang mempunyai hak yang sama dan akan menjadi kader-kader pembangunan seperti yang lain.
Masing terngiang di benak kita tentang sejarah hancurnya Jepang. Pasca pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang, Hirihito, mengumpulkan para pejabatnya, termasuk pemimpin pasukan perang, Jenderal Toyo, untuk menanyakan tentang satu hal yang penting: ”Berapa jumlah guru yang masih hidup?” Mengapa Kaisar Hirohito tidak menanyakan sisa jenderal yang masih hidup, atau menanyakan yang lainnya, selain guru? Karena, seorang guru akan dapat melahirkan ribuan jenderal, pengusaha, birokrasi, dan lain sebagainya. Maka dengan jumlah guru yang masih tersisa saat itu, Jepang berbenah diri.
Jepang, dengan memberikan perhatian terhadap pendidikan (guru), Jepang mampu bangkit dan menjadi negara maju seperti yang kita lihat saat ini. Bagaimana dengan kita?

GAYA KAMPANYE PASCA PUTUSAN MK

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Pemerhati Sosial dan Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan

Nomor urut tak akan berperan lagi dalam menentukan calon anggota legislatif (caleg) terpilih pada pemilu 2009. Caleg terpilih akan ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Sistem yang semula proporsional terbatas bergeser menjadi proporsional murni. Perubahan tersebut terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil (judicial review) Pasal 214 Undang-Undang No 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.
Tahap penghitungan suara pada pemilu 2009 nanti adalah: (1) Menentukan jumlah kursi yang diraih partai politik peserta pemilu. Seluruh suara sah, baik suara yang mencoblos tanda gambar partai dan nama caleg sekaligus, dari seluruh partai di sebuah daerah pemilihan (dapil) dikumpulkan. Seluruh suara itu kemudian dibagi dengan alokasi kursi untuk dapil itu, untuk menentukan bilangan pembagi pemilih (BPP). Jumlah kursi yang diraih masing-masing partai ditentukan berdasarkan BPP.
(2) Menetapkan kepada siapa kursi didistribusikan. Pascaturunnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kursi distribusi kepada caleg yang meraih suara sah terbanyak, yaitu yang mencoblos tanda gambar partai dan nama caleg sekaligus yang dihitung. Suara yang mencoblos tanda gambar saja tidak digunakan menentukan caleg peraih kursi.
Putusan MK tersebut ditanggapi beragam oleh para petinggi partai. Mahfudz Siddiq, Ketua Fraksi PKS DPR, mengatakan bahwa para caleg PKS akan lebih bergairah. Anas Urbaningrum, Ketua Partai Demokrat, suara terbanyak jelas lebih adil. Wiranto, Ketua Umum Partai Hanura, MK telah menghormati hak rakyat. Irgan Chairul Mahfidz, Sekjen PPP, putusan MK akan membuat partai yang tidak menerapkan suara terbanyak akan kelabakan. Dan Pramono Anung, Sekjen PDIP, mengatakan bahwa putusan MK melebihi kewenangannya.
Pasca turunnya putusan MK tersebut tentu akan berpengaruh terhadap gaya kampanye partai dan caleg. Sebelum turunnya putusan MK, masing-masing partai memasang kader-kader terbaiknya ditempatkan pada nomor urut jadi, sementara nomor urut sepatu diisi oleh para tokoh masyarakat yang sekiranya dapat mendulang perolehan suara partai (vote getter).
Para caleg nomor urut jadi ini dalam aktifitas kampanyenya banyak mengandalkan subsidi peroleh suara dari nomor urut di bawahnya karena memang sangat diuntungkan. Sementara caleg nomor urut buncit merasa keberadaannya dalam pencalegan hanya sebagai pelengkap. Jadi dirasa kurangnya greget dari para caleg dalam berkampanye.
Dengan putusan MK tersebut membuat para caleg semakin bergairah, terutama caleg nomor urut bawah, karena perolehan kursi tidak ditentukan dengan nomor urut, tetapi ditentukan sepenuhnya dengan suara terbanyak. Hal ini membuat partai dan caleg harus merubah gaya kampanyenya. Disinilah rasa demokrasinya akan lebih terasa. Dan disini pula akan teruji siapa yang sebenarnya tokoh atau yang dipaksa menjadi tokoh.
Ada beberapa gaya kampanye yang penulis tawarkan. Pertama, individualitas. Gaya kampanye ini lebih mengedepankan pada pola silaturrahim, door to door, dari pintu ke pintu. Masyarakat bisa bertemu secara langsung dengan caleg yang akan dipilihnya, yang selama ini mereka disuguhi kampanye dengan model penyebaran stiker, spanduk, iklan, maupun bendera. Melalui gaya ini pemilih memiliki alasan kuat dan rasional untuk memilih calon. Karenanya para caleg harus mampu mengkomunikasikan visi, misi dan programnya dengan menggunakan bahasa masyarakat sesuai tingkat kecerdasannya.
Kedua, kolektif. Gaya kampanye kolektif ini lebih mengedepankan pola jaringan struktur dan kebersamaan untuk memenangkan dan mengamankan suara partai. Karena penentuan jumlah kursi yang diraih partai politik peserta pemilu merupakan akumulasi suara sah, baik suara yang mencoblos tanda gambar partai dan nama caleg sekaligus, dari seluruh partai di sebuah daerah pemilihan (dapil) dikumpulkan. Seluruh suara itu kemudian dibagi dengan alokasi kursi untuk dapil itu, untuk menentukan bilangan pembagi pemilih (BPP). Jumlah kursi yang diraih masing-masing partai ditentukan berdasarkan BPP.
Kedua gaya kampanye di atas tentu ada kelebihan dan kekurangan. Di antara kekurangan gaya kampanye individualitas adalah kurangnya soliditas partai (para caleg). Ini rawan gesekan antar caleg dalam satu partai. Karena caleg-caleg ini melakukan kampanye untuk meraih kepentingan pribadi dengan mengesampingkan soliditas partai. Sedangkan di antara kekurangan dari gaya kampanye kolektif adalah kurangnya pengetahuan atau pengenalan masyarakat tentang caleg-caleg yang ditawarkan.
Untuk menutupi kekurangan kedua gaya kampanye di atas, maka ada alternatif gaya kampanye ketiga yaitu kombinasi gaya kampanye individualitas dengan gaya kolektif. Semoga dengan perubahan sistem penghitungan suara, yang semula proporsional terbatas menjadi proporsional murni dapat membawa arah demokrasi yang lebih baik. Wallahu a’lam.