Senin, 09 Februari 2009

TANGISAN

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

Air mata yang mengalir dari bola mata menandakan gambaran perasaan hati seseorang. Ibnu Faris menyebutkan bahwa tangis merupakan jenis perbuatan yang tampak, yang di dalamnya terkandung ketundukan, kekhusyu’an dan kerendahan hati, yang disertai suara perlahan dan pandangan sendu.
Tangis yang sebenarnya muncul setelah ada ketundukan, sehingga seseorang yang menangis akan bertambah tunduk hatinya. Allah SAW berfirman, ”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadid [57] : 16).
Ibnu Katsir berkata tentang ayat di atas, apakah belum tiba saatnya bagi orang-orang mukmin untuk tunduk hati dengan mengingat Allah. Dengan kata lain, apakah hati mereka tidak melunak tatkala berdzikir dan membaca Al-Qur’an, sehingga mereka bisa memahami, mendengarkan dan taat kepada-Nya?
Ada beberapa sebab seseorang menangis sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim, yaitu menangis karena kasih sayang, menangis karena takut, menangis karena cinta, menangis karena gembira, menangis karena cemas, menangis karena sedih, menangis karena merasa hina, menangis kemunafikan, menangis karena pamrih, dan menangis karena ikut-ikutan.
Sedangkan tangis yang dibenarkan adalah tangis yang berasal dari suara hati karena dorongan iman, lalu diwujudkan dengan tindakan. Inilah air mata yang akan dapat memadamkan panasnya api neraka. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah mata seseorang meneteskan air mata kecuali Allah akan mengharamkan tubuhnya dari api neraka. Dan apabila air matanya mengalir di pipi maka wajahnya tidak akan terkotori oleh debu kehinaan. Apabila seseorang pada suatu kaum menangis, maka kaum itu akan dirahmati. Tidaklah ada sesuatupun yang tak mempunyai kadar dan batasan kecuali air mata, sesungguhnya air mata dapat memadamkan lautan api neraka.”
Sedangkan sesuatu yang dapat menyelamatkan diri dari perbuatan dosa adalah rasa takut kepada Allah akan kerasnya adzab api neraka. Sehingga rasa takut ini mampu mendorong seseorang untuk selalu menghindar dan berhati-hati terhadap amalan yang dibenci dan dimurkai Allah SWT. Rasa takut ini menyebabkan ketidakmampuan bola mata menahan laju air mata. Inilah bola mata yang tak akan tersentuh api neraka.
Rasulullah SAW bersabda, ”Ada dua bola mata (manusia) yang tak akan tersentuh api neraka, mata yang menangis di waktu malam hari karena takut kepada Allah dan bola mata yang menjaga pasukan fi sabilillah di malam hari.”
Rasulullah SAW juga menyebutkan tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah SWT, satu di antaranya adalah seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan yang sepi lalu kedua matanya mencucurkan air mata.
Kalau ada orang yang tak mampu menangis karena dosanya, justru menangislah karena ketidakmampuan itu. Jadi, bila kita punya haru, sesal dengan dosa-dosa, atau duka buat orang tercinta; silakan menangis!

BAHAYA GHIBAH

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu? Jawab sahabat, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Nabi bersabda, “Yaitu menyebut saudaramu dengan apa-apa yang ia tidak suka disebutnya.” Lalu Nabi ditanya, “Bagaimanakah kalau itu memang sebenarnya ada padanya? Jawab Nabi, “Kalau memang sebenarnya begitu, itulah yang bernama ghibah. Tetapi jikalau menyebut apa-apa yang tidak sebenarnya, berarti kamu telah menuduhnya dengan kebohongan (yang lebih besar dosanya)”. (HR. Muslim).
Ghibah berarti menggunjing, mengumpat dan membicarakan keburukan orang lain. Mempergunjingkan apa-apa yang terkait dengan seseorang, baik fisiknya, akhlak, anak, orang tua maupun hartanya, dan seterusnya karena ada unsur kebencian (tidak suka).
Diriwayatkan, ada seorang wanita pendek datang kepada Nabi SAW untuk menyampaikan maksudnya. Setelah wanita tersebut keluar, Aisyah berkata, “Alangkah pendeknya dia”. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Takutlah akan ghibah, sebab ada tiga bencana (bagi pelaku ghibah), yaitu tidak akan dikabulkan doanya, tidak diterima kebaikannya, dan kejahatan dalam dirinya akan bertumpuk-tumpuk.” Karenanya, jauh-jauh hari Rasulullah SAW melarang umatnya ber-ghibah-ria. “Jauhilah olehmu ghibah. Sesunguhnya ghibah itu lebih berbahaya dari zina.” (HR Ibnu Hibban, Ibnu Abi ad-Dunia, dan Ibnu Mardawaih).
Menurut Imam Al-Ghazali, jika seseorang berzina, kemudian ia bertaubat secara ikhlas, maka taubatnya diterima Allah SWT. Akan tetapi, pelaku ghibah tidak akan diampuni dosanya sebelum meminta maaf terlebih dahulu kepada orang yang dighibahinya.
Menyebarkan gosip dan bergunjing termasuk perilaku tercela. Mencari-cari kesalahan orang lain, dan menjadikan orang lain sasaran tertawaan adalah perilaku yang harus dihindari. Allah SWT memperingatkan bahwa kebiasaan menggunjing sama dengan orang yang suka memakan daging saudaranya yang telah mati. Sungguh sangat menjijikkan.
Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah satu dari kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat [49] : 12).
Mengapa berbuat ghibah dianalogkan dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati? Jawabannya adalah karena orang yang dicaci dari belakang, yang menjadi obyek ghibah sama halnya dengan mayat, tidak punya kesempatan untuk menjelaskan dan membela diri. Dalam ilmu sosial, tindakan semacam ini sering dinamakan pembunuhan karakter yang berupa fitnah.
Amat luas dan padat pengajaran untuk menjauhi ghibah. Namun amat sedikit yang meresapi. Amal yang kita lakukan bersusah payah bahkan dapat lenyap karena rutinitas ghibah. Dalam Al-Qur’an yang mulia, Allah SWT berfirman, ”Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18] : 104). Wallahu a’lam bish-shawab.