Selasa, 24 Maret 2009

Silih Bergantinya Kepemimpinan

Oleh : Imam Nur Suharno MPdI *)

DI ANTARA sunnatullah dalam kehidupan dunia adalah ketetapan silih bergantinya kesuksesan manusia. Ini merupakan salahsatu sunnatullah yang berkaitan dengan komunitas manusia.
Pada suatu masa, kepemimpinan berada di tangan orang yang dzalim dan pada waktu yang lain kepemimpinan tersebut berpindah ke tangan orang yang benar. Namun, pada akhirnya kepemimpinan tersebut akan selalu berada di tangan orang-orang yang benar.
Allah SWT berfirman, “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa, dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” (QS Ali Imran [3]: 140-141).
Silih bergantinya kepemimpinan di antara manusia sesuai dengan amal perbuatan dan niatnya. Jelas bahwa sesungguhnya kepemimpinan akan berada di tangan mereka yang mengetahui dan memelihara faktor-faktor kesuksesan dengan sebaik-baiknya.
Faktor-faktor tersebut adalah pertama, sikap konsisten. Sikap ini lahir dari sikap percaya diri (optimis) yang kuat, memiliki integritas serta mampu mengelola emosi secara efektif. Pemimpin yang konsisten adalah pemimpin yang seluruh hidupnya ditempuh untuk jalan yang lurus. Konsisten adalah prinsip, dan pelanggaran terhadap prinsip berarti pengkhianatan pada cita-cita dan karenanya menghancurkan struktur karakteristik dirinya.
Kedua, banyak berdoa. Doa merupakan kekuatan tersembunyi yang tidak dapat ditangkap oleh akal manusia dan dapat terjadi secara tiba-tiba. Doa juga menjadi salah satu faktor penyebab di balik setiap keberhasilan yang dicapai. Hal ini sudah menjadi bukti sejarah sepanjang masa. DR. Alexis Carrel pernah berkata, ”Doa merupakan bentuk energi yang paling ampuh yang dapat dihasilkan sendiri oleh setiap orang. Karenanya, tambahlah energi kehidupan dengan memperbanyak doa.
Ketiga, ketaatan terhadap pimpinan. Salah satu faktor kekalahan umat Islam dalam perang Uhud adalah karena melemahnya ketaatan terhadap pimpinan. Pada mulanya kaum Muslimin dapat memukul mundur pasukan musuh. Namun, karena tergiur dengan harta benda yang ditinggalkan musuh, pasukan kaum Muslimin kurang waspada dan tidak menghiraukan lagi gerakan musuh. Pasukan pemanah pun mulai meninggalkan pos-pos mereka. Melihat situasi seperti itu, panglima berkuda pasukan musuh memutar haluan dan balik menyerang pasukan kaum Muslimin. Pasukan pemanah kaum Muslimin berhasil dilumpuhkan dan pasukan infantri dapat dihancurkan musuh.
Keempat, soliditas dan persatuan. Soliditas dan persatuan ini merupakan salah satu faktor yang berkontribusi dalam kesuksesan. Kelima, memiliki kesabaran. Kemampuan mengendalikan diri untuk senantiasa sabar walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan. Sabar bukan berarti berhenti dari beraktifitas, justru sabar disini berarti usaha secara terus-menerus untuk mencari solusi yang terbaik guna meraih kesuksesan.
Berkaitan dengan pentingnya nilai sabar, ada kata-kata hikmah yang patut ditafakuri, ”Banyak orang yang sukses dengan sabar menghadapi penderitaan, namun gagal dalam menerima kesuksesan.” Artinya, kekalahan tidak selamanya disebabkan oleh adanya gangguan yang datang menimpa, namun bisa disebabkan oleh adanya ’euphoria’ kesuksesan yang dimilikinya sehingga lalai dalam menjalankan tugasnya secara efektif.
Dan keenam, memiliki integritas moral yang memadai. Seorang pemimpin harus teguh mempertahankan prinsip, tidak mau korupsi, dan nilai-nilai moral menjadi dasar yang melekat pada diri sendiri. Integritas bukan hanya sekedar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah tindakan. Integritas adalah satu kata dengan perbuatan, dia berkata jujur dan tentu saja tidak akan berbohong. Kejujuran berarti menyampaikan kebenaran, ucapannya sejalan dengan tindakannya. Jauh-jauh hari, pendiri pendidikan bangsa ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin haruslah mampu (di depan) memberi contoh, (di tengah) memberi inspirasi, dan (di belakang) memberikan dorongan.
Pemimpin baru akan tampil di panggung politik di negeri ini. Oleh sebab itu, siapa pun pemimpin yang terpilih kelak harus mampu membawa bangsa ini menuju perubahan yang lebih baik, bukan sebaliknya. Wallahu a’lam. (*)

*) Penulis : Pemerhati Sosial dan Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan.
radar cirebon 20 Maret 2009

Minggu, 01 Maret 2009

Budaya Kekerasan dalam Pendidikan

Oleh : Imam Nur Suharno MPdI *)

MEMORI kita tentang praktik kekerasan di dunia pendidikan tergugah kembali setelah kasus kematian Dwi Yanto Wisnu Nugraha, mahasiswa Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menjadi isu besar di media massa.
Dwi Yanto tewas saat mengikuti inaugurasi anggota baru yang diadakan Ikatan Mahasiswa Geodesi. Kasus ini langsung menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama dunia pendidikan tinggi yang beberapa tahun lalu sempat tercoreng oleh sejumlah kasus yang skalanya lebih besar dari peristiwa yang menimpa mahasiswa ITB itu.
Dalam melihat fenomena ini, ada beberapa analisa yang ditulis oleh Drs. Abd. Rachman Assegaf, M.Ag., dkk, Staf Pengajar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam sebuah penelitiannya: pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.
Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Dan, kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku
Menurut hemat penulis, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guna mengendalikan budaya kekerasan dalam pendidikan. Pertama, internalisasi nilai-nilai agama melalui pembelajaran. Penyadaran merupakan inti proses pembelajaran dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas, maka siswa mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata.
Seperti halnya pendekatan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan, pembiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama. Kemudian menggugah perasaan dan spiritual peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agama, memberikan peranan kepada akal dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, serta menyajikan ajaran agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.
Hal ini akan mewujudkan keshalihan sosial, dan keshalihan individual peserta didik dan merubah perilaku yang hanya menjadi simbol-simbol keagamaan ke nilai substantif yang diwujudkan dalam kehidupan obyektif empiris sehari-hari.
Kedua, memberikan keteladanan. Pendidik adalah prototipe dalam pandangan siswa. Oleh sebab itu, teladan yang baik dalam pandangan siswa pasti akan diikutinya dengan perilaku dan akhlak yang baik pula. Keteladanan ini akan terpatri dalam jiwanya. Karenanya yang disebut baik oleh siswa adalah apa yang dilakukan oleh pendidik, dan yang disebut buruk oleh siswa adalah apa yang ditinggalkan oleh pendidik. Dalam peribahasa dikatakan, guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari.
Dan ketiga, membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama. Institusi pendidikan merupakan sebuah ranah (domain) sosial yang diharapkan mampu berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya intelektualitas, moralitas, dan orde kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian. Maka, dengan sendirinya, sebuah institusi pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa dibandingkan dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau dibandingkan barak militer.
Ini karena, secara eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh serta belajar menerima keberadaan orang lain dengan prinsip tepa selira. Itulah mengapa, pembudayaan akal budi dalam dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani. Dalam dunia pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani.
Oleh karena itu sekolah harus mengusahakan terciptanya situasi yang tepat sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber dan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Wallahu a’lam bish shawab. (*)

*) Penulis : Pemerhati Pendidikan dan Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan.
radar cirebon

Perhiasan Dunia

Oleh Imam Nur Suharno

''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).'' (QS Ali Imran [3]: 14).

Allah SWT menjelaskan dalam ayat di atas tentang penghias kehidupan manusia. Pertama, annisa (wanita-wanita). Allah SWT menjadikan mereka sebagai penenang jiwa, raga, dan hati. Juga sebagai tempat yang menyenangkan dan penghibur nurani. (QS Arrum [30]: 21).

Dalam ayat yang lain, Allah SWT mengingatkan agar kita pun waspada terhadap wanita. Sebab, wanita bisa menjadi musuh dan penyebab yang melalaikan dari mengingat-Nya. (QS Attaghabun [64]: 14).

Wanita sebagai penghias kehidupan ditempatkan pada urutan pertama, karena wanita merupakan bentuk ujian terberat, di samping harta dan tahta. Kecintaan pada wanita terkadang mendorong seseorang berbuat tercela, menghalalkan berbagai macam cara dalam mendapatkan harta dan tahta.

Karenanya, Rasulullah SAW mengingatkan, ''Cobaan terbesar yang aku tinggalkan untuk umatku adalah wanita.'' (HR Ibnu Majah).

Kedua, albanun (anak-anak). Walaupun kata tersebut berbentuk mudzakkar, tapi artinya mencakup anak laki-laki dan perempuan. Penyebutan anak dengan kata albanun mengindikasikan bahwa anak laki-laki secara alami lebih diharapkan kehadirannya daripada wanita, sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyah yang membedakan perhatian antara anak laki-laki dan perempuan. (QS Annahl [16]: 58-59).

Ketiga, alqanathir almuqantharah (harta yang banyak). Ungkapan ini mengesankan bahwa harta merupakan ujian berat, dapat menyibukkan hati ketika menikmatinya, dan dapat pula membuat hati terlena dari mengingat Allah SWT. (QS Almunafiqun [63]: 9).

Keempat, alkhail almusawwamah (kuda pilihan). Kuda merupakan simbol kendaraan yang paling disenangi dan digemari, yang memiliki keindahan, kewibawaan, kecepatan, dan kekuatan.

Kelima, al-an'am (binatang ternak). Semua jenis binatang ternak seperti unta, sapi, kambing, dan domba merupakan harta kekayaan. Melalui binatang ternak manusia memperoleh kekayaan dan penghidupan. (QS Annahl [16]: 5-7).

Dan keenam, alharts (sawah ladang). Sawah ladang adalah tempat tumbuhnya tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan yang disukai, sebagai sarana kelangsungan hidup manusia.

Itu semua merupakan kesenangan hidup di dunia. Kenikmatan, kesenangan, dan segala sesuatu yang menyerupainya adalah perhiasan dunia. Bukan perhiasan kehidupan yang mulia, tapi perhiasan bumi yang dekat, dan bisa melalaikan manusia.

Selasa, 24 Februari 2009 pukul 06:47:00/republika