Jumat, 17 Juli 2009

Pendidikan Ala Pesantren

Oleh Imam Nur Suharno

"Saya saat ini masih teringat akan makanan halal dan haram, hukum nun mati dan tanwin, larangan-larangan ketika jinabah, dan sebagainya. Namun, saya sudah tidak ingat fungsi trigonometri dalam matematika. Apalagi tentang teori-teori ilmu ekonomi dan sejarah."

Begitulah komentar beberapa orang yang mencoba membedakan keadaan (ilmu) saat ini dari hasil pendidikan pesantren dengan pendidikan formal pada umumnya. Sederhana tetapi mengena. Cukup banyak komentar yang sejenis dengan pernyataan di atas. Hal ini sebenarnya menjadi evaluasi bahwa proses pendidikan ala pesantren lebih berkesan di benak para pembelajar (santri) dibandingkan dengan hasil dari pendidikan formal umumnya. (Tabloid Pondok, edisi keempat, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI, 2008).

Salah satu keistimewaan pendidikan pondok pesantren adalah sistem boarding school atau sistem asrama. Dengan sistem boarding school, santri sepanjang hari dan malam berada dalam lingkungan belajar. Mereka bergaul bersama siswa yang lain dan para ustaz mereka. Para guru/ustaz dapat memantau dan mengarahkan setiap perilaku santri sepanjang waktu. Di samping itu, dengan bergaul sepanjang waktu, memungkinkan bagi santri untuk mencontoh perilaku dan cara hidup ustaz. Sebab, mencontoh merupakan salah satu cara belajar yang paling efektif daripada sekadar belajar secara kognitif. (Wakhudin, Pikiran Rakyat, 2007).

Dengan model pendidikan ala pondok pesantren, tiga aspek ranah pendidikan, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik akan sangat mudah diimplementasikan. Lain halnya dengan di lembaga pendidikan pada umumnya, bahwa format tiga ranah pendidikan tersebut masih dicari untuk bisa diimplementasikan. Dengan pendidikan ala pondok pesantren ini, tujuan pendidikan nasional dapat pula diejawantahkan.

Keberhasilan pola pendidikan ala pondok pesantren (terlepas dari kekurangannya di berbagai sisi) menjadikan para pengelola pendidikan tertarik untuk mengadopsinya. Sejak pertengahan 1990-an, ada fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan model pondok pesantren ramai-ramai diadopsi untuk mengembangkan sekolah plus yang menawarkan kelebihan bagi peserta didik.

Di sekolah yang kemudian disebut boarding school ini, peserta didik mengikuti kegiatan pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai di sore dan malam hari. Selama 24 jam, peserta didik berada di bawah pendidikan dan pengawasan para ustaz/guru dan pembimbing.

Di lingkungan sekolah, mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Sementara di asrama, mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama yang dipelajari di sekolah, juga untuk mengekspresikan rasa seni dan keterampilan hidup di hari-hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para ustaz/guru. Dari segi sosial, boarding school mengisolasi peserta didik dari lingkungan sosial yang heterogen. Dari segi semangat religiusitas, menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, intelektual, emosional, dan spiritual.

Dalam kehidupan asrama, peserta didik mendapatkan pembelajaran dan pengalaman hidup yang sangat baik. Ustaz/guru dan pembimbing hidup berdampingan dengan peserta didik di dalam kampus untuk sebanyak-banyaknya memberikan pengaruh yang baik agar budaya hidup dan kehidupan kampus normatif seiring dengan kematangan peserta didik secara fisik ataupun mental. Pola pendidikan pondok pesantren (boarding school) ini, memungkinkan untuk terbentuknya karakter peserta didik.

Memilih sekolah di pondok pesantren, bukanlah keputusan yang mudah bagi orang tua ataupun anak. Sedikitnya ada empat hal yang perlu dipersiapkan selain biaya pendidikan.

Pertama, perlu adaptasi dengan lingkungan. Sebab, yang biasanya anak bergaul hanya dengan teman sebaya dalam satu wilayah tertentu, kemudian harus bergaul dengan teman secara lebih luas dan kompleks. Sebab, komunitas pesantren berasal dari berbagai daerah dan berbagai karakter.

Kedua, perlu kesiapan mental baik dari anak maupun orang tua. Sebab, secara fisik mereka akan berpisah dalam waktu tertentu.

Ketiga, perlu kesabaran. Dengan kesabaran yang matang, anak akan mampu menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapinya.

Keempat, yang tidak kalah pentingnya, iringan doa dari orang tua, terutama doa di sepertiga malam. Rasulullah saw. pernah bersabda, "Ada tiga macam doa yang tidak diragukan lagi, pasti diterima, yaitu doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua kepada anaknya." (H.R. Tirmidzi).

Dengan empat hal di atas, diharapkan anak menjadi betah dan siap untuk belajar di lingkungan pondok pesantren (boarding school). Betah merupakan kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu di pondok pesantren. Sebab, anak yang cerdas tetapi tidak betah tidak akan mampu konsentrasi dalam belajar. Sebaliknya, anak yang biasa-biasa saja dari sisi kecerdasan bila betah akan mampu berprestasi. Wallahualam. ***



Penulis, Praktisi Pesantren di Kuningan, Jawa Barat.


PR edisi 17 Juli 2009

Selasa, 14 Juli 2009

PENDIDIKAN KARAKTER DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah Kab. Kuningan

”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asysyams [91]: 8-10).
Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan, pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan tersebut, penyelenggaraan pendidikan di sekolah mestinya bukan sekadar to transfer knowledge atau to change mental attitude. Orientasi pendidikan ke depan harus diarahkan untuk membentuk watak (karakter) peserta didik.
Bambang Q-Anees dan Adang Hambali dalam bukunya, menyebutkan bahwa pendidikan karakter berdiri di atas dua pijakan. Pertama, keyakinan bahwa pada diri manusia telah terdapat benih-benih karakter dan alat pertimbangan untuk menentukan tindakan kebaikan. Namun seperti sebuah benih, ia belum menjadi apa-apa, ia harus dibantu untuk ditumbuh-kembangkan. Kedua, pendidikan berlangsung sebagai upaya pengenalan kembali sekaligus mengafirmasi apa yang sudah dikenal dalam aktualisasi tertentu.
Lebih lanjut, mengutip Thomas Lickona dalam Pendidikan Karakter Berbasis Alquran, Bambang Q-Anees dan Adang Hambali menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan guna merealisasikan pendidikan karakter ini. Pertama, menanamkan sikap mental peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Dengan demikian, peserta didik memiliki kemampuan menjaga agamanya dengan selalu menjaga hubungan dengan Allah SWT (hablum minallah). Peserta didik juga akan mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah).
Melalui hablum minallah dan muraqabatullah ini, peserta didik tidak akan menjatuhkan dirinya ke dalam perilaku negatif, seperti penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran antarpelajar, kekerasan di kalangan pelajar, dan perilaku negatif lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Kedua, menumbuhkan kecerdasan sosial peserta didik yang diarahkan pada pembentukan dan penanaman sikap yang harmonis, selaras, seimbang dengan masyarakat atau dunia di sekitarnya (hamblum minannas).
Ketiga, mengembangkan kreativitas dan keterampilan peserta didik, dalam arti melatih kemampuan untuk menggali, mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia (ahsanu amala).
Dalam hal ini, kurikulum yang diterapkan mesti dikembangkan ke arah peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; penekanan di bidang agama; memperhatikan dinamika perkembangan global; dan menguatkan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pendidikan diharapkan mampu menjadi pilar utama dalam mempertahankan identitas dan kepribadian peserta didik di tengah terpaan arus globalisasi yang tidak bisa dihindari. Wallahu a’lam.


Pikiran-Rakyat, Pendidikan, Forum Guru, Rabu 1 Juli 2009, hal 21

OPTIMALISASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah, Kuningan




Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diajarkan di sekolah belum optimal. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya kualitas moral para siswa. Terbukti, masih maraknya kasus kriminalitas yang melibatkan pelajar, seperti penggunaan narkoba, seks bebas yang menyebabkan pelajar hamil di usia dini, dan kekerasan di kalangan pelajar. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI), saat memantau pelaksanaan Ujian Sekolah Standar Nasional Pendidikan Agama Islam (USSN-PAI) di Kabupaten Gresik, Jumat, 1 Mei 2009 lalu.
Memori kita pun kembali tergugah dengan adanya praktik bunuh diri yang dilakukan seorang bocah yang masih berumur 11 tahun, Ani Mulyani, siswa kelas 5 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sukakarya, Kampung Babakan Raweny, Kelurahan Sukakarya, Kota Sukabumi, beberapa waktu yang lalu.
Sebagai bangsa yang beragama, kita sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat dalam hal moralitas dan etika. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara khusus menekankan pentingnya pendidikan bagi peningkatan keimanan dan akhlak. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia ...”.
Menurut penulis, ada dua cara mendasar yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan PAI di sekolah. Pertama, internalisasi PAI melalui pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan fungsi pokok dan usaha yang paling strategis guna mewujudkan tujuan institusional. Tujuan setelah proses pembelajaran adalah sistem nilai yang harus tampak dalam perilaku dan merupakan karakteristik kepribadian siswa.
Pembelajaran sebagai sebuah metode menghendaki adanya perekayasaan situasi terencana yang memberikan perlakuan tertentu, untuk mengetahui akibat-akibatnya terhadap peserta didik. Menggunakan metode secara terencana, sistematik, dan terkontrol, baik dalam bentuk desain fungsional maupun faktoral melalui pengenalan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, melalui bentuk penggambaran konsep-konsep yang bersifat penghayatan dan pengamalan.
Pembelajaran dan internalisasi PAI di sekolah menghadapi berbagai persoalan mendasar. Di antaranya terkait dengan relevansi materi pembelajaran, strategi pembelajaran, dan keterbatasan bahan bacaan yang dapat mendukung perkembangan keagamaan peserta didik.
Sejauh ini penanaman nilai-nilai PAI di sekolah masih menitikberatkan kepada domain kognisi yang cenderung menampilkan agama sebagai seperangkat rumusan kepercayaan dan ajaran yang cenderung indoktrinatif-normatif. Akibatnya, bahan-bahan bacaan untuk mendukung domain tersebut terbatas pada buku-buku teks.
Padahal, upaya penanaman nilai-nilai PAI tidak sekedar menyangkut dimensi kepercayaan, tetapi lebih dari itu adalah dimensi pembudayaan. Dalam hal ini dibutuhkan agama dalam bentuknya yang efektif dan praktis. Artinya, agama mesti ditampilkan dalam performa historik, kontekstual dan aktual yang disajikan melalui pengalaman dan kisah hidup yang mengekspresikan perilaku keagamaan dan menjawab berbagai problem keseharian dalam suatu dimensi ruang, waktu dan konteks tertentu. Tentu saja melalui pola pembelajaran yang diarahkan pada upaya menciptakan model pembelajaran bagi peserta didik dan mampu memberi warna baru bagi pembelajaran nilai keagamaan.
Kedua, membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai PAI. Institusi pendidikan merupakan sebuah ranah (domain) sosial yang diharapkan mampu berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya intelektualitas, moralitas, dan orde kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian. Maka, dengan sendirinya, sebuah institusi pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa dibandingkan dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau dibandingkan barak militer.
Ini karena secara eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh serta belajar menerima keberadaan orang lain dengan prinsip tepa selira. Itulah sebabnya mengapa pembudayaan akal budi dalam dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani. Dalam dunia pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani.
Melalui internalisasi dan pembentukan lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai PAI, diharapkan mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya giat dalam menjalankan ibadah ritual, tetapi ia pula komitmen melakukan aktivitas-aktivitas yang terbingkai dengan nilai-nilai agama. Wallahu a’lam.



Republika, Akademia, Guru Menulis, Rabu, 17 Juni 2009, hal 22.