Rabu, 07 Oktober 2009

OPTIMALISASI PENDIDIKAN RAMADHAN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Albaqarah [2]: 183).
Puasa merupakan salah satu latihan terbaik untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa. Karena itu, puasa tidak hanya diwajibkan atas umat Nabi Muhammad SAW, tetapi diwajibkan pula atas umat-umat sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan sarana yang efektif untuk membentuk pribadi-pribadi yang berkarakter, yaitu bertakwa (la’allakum tattaqun).
Bulan Ramadhan menjadi momen yang sangat tepat untuk kita, orang tua, dan pendidik untuk mengoptimalkan konsep pendidikan dengan melibatkan anak secara langsung. Tujuan terpenting dari pembelajaran bukanlah teori tetapi praktek (Herbert Spencer). Anak akan belajar dari apa yang mereka lakukan. Rata-rata 75 % anak belajar dari apa yang mereka lakukan, 5 % dari guru, dan 10 % dari yang mereka baca (Brunmer Jerome).
Konsep pembelajaran akan lebih efektif dan nyata ketika anak melakukannya secara langsung dibandingkan ketika anak membaca. Mereka akan selalu ingat pada masa-masa berikutnya. Sebab dalam proses pembelajaran ini melibatkan tiga ranah pendidikan secara langsung, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ada beberapa sisi pendidikan Ramadhan yang dapat dirasakan secara langsung oleh anak didik. Pertama, Ramadhan mendidik mematuhi perintah Allah SWT secara totalitas. Sebab orang yang berpuasa tidak ada yang mengontrol dan melihat kecuali Allah SWT. Dalam hal ini, anak akan terbiasa melakukan ibadah karena Allah SWT, bukan karena orang tua atau guru, misalnya.
Kedua, Ramadhan mendidik mengendalikan nafsu. Ketika Ramadhan dilarang melakukan hal-hal yang pada hakikatnya halal bila dilakukan pada siang hari di selain Ramadhan, seperti makan dan minum. Melalui pengendalian ini, anak akan mampu menahan diri dari makanan dan minuman yang tidak jelas asal-usulnya, dan ia hanya akan mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan bergizi.
Ketiga, Ramadhan mendidik menahan emosi. Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, bersuara tidak pantas, dan tidak mau tahu. Lantas jika ada seseorang yang menghinanya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, ’Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari Muslim).
Keempat, Ramadhan mendidik persatuan dan persaudaraan. Segenap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia akan berpuasa pada tanggal yang sama. Mereka akan mulai puasa pada saat yang sama, ketika fajar, dan berbuka di saat yang sama pula, yaitu ketika maghrib. Ramadhan tidak membedakan antara yang kaya dan miskin, penguasa dan rakyat biasa. Dengan demikian, ada jiwa kebersamaan yang memasuki hati anak didik pada bulan Ramadhan.
Kelima, Ramadhan mendidik berempati. Saat berpuasa, anak akan merasakan penderitaan lapar dan dahaga untuk waktu tertentu pada siang Ramadhan. Ia merasa lapar dan menderita seperti yang sering dirasakan fakir miskin. Sehingga, di saat anak melihat orang lain kekurangan, maka tersentuhlah hatinya untuk berbagi kepada mereka.
Keenam, Ramadhan mendidik ketakwaan. Dengan ketakwaan, anak akan mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah). Dengan muraqabatullah, anak akan terhindar dari perbuatan tercela, seperti menyontek ketika ujian.
Melalui optimalisasi pendidikan Ramadhan ini diharapkan terbentuk karakter anak yang shalih secara individu dan sosial. Sehingga keluar Ramadhan seperti bayi yang baru dilahirkan, sebagaimana sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi baru lahir.” Wallahu a’lam.

* Majalah PGRI Kuningan, Aktualita, Edisi No 38/September 2009

MENUJU PERUBAHAN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan

Ramadhan, bulan yang selalu ditunggu oleh umat Islam. Bulan yang sebagian orang menyebutnya sebagai bulan panen raya. Sebab, pada bulan ini, segala amal kebajikan pahalanya dilipatgandakan, sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat.
”Semua amalan anak Adam akan dilipatgandakan (balasannya): satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat.” Allah berfirman, ”Kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, dan Aku yang langsung membalasnya. Hamba-Ku telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.” (HR Muslim).
Puasa merupakan salah satu latihan terbaik untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa. Karena itu, puasa tidak hanya diwajibkan atas umat Nabi Muhammad SAW, tetapi diwajibkan pula atas umat-umat sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan sarana yang efektif untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Albaqarah [2]: 183).
Dengan ketakwaan, seseorang mampu menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah). Melalui muraqabatullah ini, orang akan terbimbing dari perilaku tercela, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena itu, orang yang bertakwa mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. (QS Alhujurat [49]: 13).
Keberhasilan orang yang berpuasa bukan dilihat dari aktifitasnya selama Ramadhan, tetapi sejauhmana ia dapat mengimplementasikan nilai-nilai Ramadhan pada sebelas bulan berikutnya. Karena itu Ramadhan merupakan start menuju perubahan dalam berbagai sisi kehidupan, baik dalam skala individu, keluarga maupun masyarakat. Perubahan secara vertikal maupun horizontal. Perubahan menuju perbaikan dalam pelbagai dimensi kehidupan adalah keniscayaan.
Saat berpuasa, misalnya, kita dilarang melakukan hal-hal yang hakikatnya halal bila dilakukan pada siang hari selain Ramadhan, seperti makan dan minum, maka usai Ramadhan kita harus komitmen untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang jelas asal usulnya.
Saat berpuasa dianjurkan untuk menghindari setiap perkataan kotor, maka usai Ramadhan kita harus komitmen dengan ucapan yang baik dan berusaha menjauhi segala bentuk permusuhan dan menyakiti orang lain. Saat berpuasa dilatih untuk berinfak, maka usai Ramadhan kita harus komitmen untuk peduli terhadap mereka yang membutuhkan pertolongan.
Saat berpuasa dilatih untuk disiplin dengan sahur dan berbuka pada waktu yang telah ditentukan, maka usai Ramadhan kita harus komitmen untuk senantiasa disiplin waktu, dan begitu seterusnya.
Dengan demikian, Ramadhan berpotensi untuk memberikan warna perubahan ke arah yang lebih baik. Dari rahim Ramadhan ini lahirlah manusia-manusia baru sebagaimana disabdakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW, ” ”Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan ramadhan sebagaimana bayi baru lahir.”
Oleh sebab itu, harapan terbesar setiap Muslim adalah diterimanya amal ibadah selama Ramadhan, baik ibadah yang bersifat individu, maupun ibadah yang bersifat sosial.

* Radar Cirebon, Tausiyah, Selasa, 15 September 2009.

MENJADI PENDIDIK BERKUALITAS

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI

Kepala MTs Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat



Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sistem pendidikan, tetapi juga pendidiknya. Melalui pendidiklah aktivitas paedagogis dapat diarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Ia juga bertanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, kehadirannya akan banyak mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri.

Doni Koesoema dalam bukunya, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, membedakan istilah pengajar (teacher) dengan pendidik (educator). Menurutnya, mengajar seringkali dikaitkan dengan kegiatan menyampaikan dan memberikan sesuatu berupa bahan dan materi tertentu yang mesti dipelajari oleh siswa. Oleh karena itu, ketika guru mengajar, ia mengajar sesuai dengan garis besar program pengajaran sebagaimana terdapat dalam kurikulum. Dalam tindak mengajar terdapat proses transfer dari guru ke siswa. Jadi, tindakan mengajar lebih berurusan dengan penyampaian materi pelajaran sehingga siswa dapat memahami isi kurikulum yang mesti mereka pelajari. Hasil ajaran ini lantas diuji melalui proses evaluasi untuk melihat apakah siswa itu dapat menguasai materi yang diajarkan atau belum.

Sedangkan mendidik memiliki konotasi yang lebih luas, tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran. Oleh karena itu, mendidik juga tidak sekedar berurusan dengan menyampaikan materi pelajaran. Guru mendidik dengan cara menghadirkan diri mereka secara utuh di hadapan siswa dan dengan itu siswa merasakan kehadiran guru sebagai sosok yang istimewa, sebagai pribadi yang memberikan inspirasi dan rasa hormat. Guru menjadi teman, sahabat, pengajar, rekan kerja, pendamping, orang tua, dan semua kemampuan individu yang memungkinkan proses belajar di sekolah berjalan dengan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Kegiatan mendidik berkaitan dengan eksistensi keseluruhan individu dalam relasinya dengan orang lain dan lingkungannya. Untuk itu, kegiatan mendidik tidak dapat dibatasi oleh kegiatan di dalam kelas.

Beragam sifat-sifat pendidik berkualitas telah diidentifikasi dan dikaji oleh para ahli pendidikan, seperti Muhammad Atiyah al-Abrasyi, Abdurrahman an-Nahlawi, dan Imam al-Ghazali.

Sifat-sifat tersebut adalah (1) Zuhud. Zuhud tidak berarti menolak materi, tetapi juga tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Kekayaan materi hanya merupakan sarana bagi pendidik untuk mencapai tujuan hidup. Mendidik manusia lain (anak didik) bukan karena keinginan mengumpulkan materi, melainkan karena keterpanggilan untuk menyampaikan risalah.

(2) Kebersihan diri. Seorang pendidik harus bersih, baik fisik maupun psikisnya. (3) Ikhlas. Seorang pendidik dalam melaksanakan tugas mengajar bukan karena keterpaksaan. Sifat ikhlas akan melahirkan pendidik yang penuh idealisme untuk membina pribadi dan masyarakat dengan benar. Ia mendidik dan mengajar manusia, semata-mata untuk mencari rida Allah SWT.

(4) Pemaaf. Sifat pemaaf bagi seorang pendidik merupakan kendali dalam melaksanakan tugas kependidikan. Berhadapan dengan anak didik yang kurang disiplin, ia tidak cepat naik pitam, bahkan memaafkannya, dan terus membimbingnya. Justru dengan sifat pemaaf itulah ia akan dihormati dan disenangi oleh anak didiknya.

(5) Kebapak-bapakan. Artinya, seorang pendidik harus mencintai anak didiknya seperti mencintai anaknya sendiri, menyayanginya seperti ia menyayangi anak kandungnya sendiri

(6) Mengetahui tabiat anak didik. Pendidik harus mengetahui perbedaan masing-masing anak didiknya, agar tidak tersesat dalam menjalankan tugasnya. (7) Menguasai mata pelajaran. Pendidik harus menguasai mata pelajaran yang diajarkannya dan senantiasa mendalami serta memperluas pengetahuannya.

(8) Bersifat rabbani. Dalam hal ini, seorang pendidik harus menjadikan Allah SWT sebagai tujuan dari segala aktivitasnya. (9) Sabar. Seorang pendidik harus bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada anak didiknya.

(10) Jujur. Pendidik harus jujur dalam menyampaikan apa yang diajarkannya. Tidak menyembunyikan ketidaktahuannya, jika memang tidak tahu. Sifat jujur akan meningkatkan wibawa bagi pendidik, sebab dengan kejujuran itu, ia mengajar dan mendidik orang lain dengan apa adanya.

(11) Senantiasa membekali diri dengan ilmu. Ia harus senantiasa memperdalam pengetahuannya, agar senantiasa dapat dengan mudah dan leluasa menyampaikan ilmunya.

(12) Mampu menggunakan berbagai metode mengajar. Dengan menguasai metode yang tepat seorang pendidik akan dapat dengan mudah menyampaikan ilmu, nilai, norma, dan kecakapan kepada anak didiknya.

(13) Mampu mengelola anak didik. Seorang pendidik harus mampu memperlakukan anak didiknya secara tepat dan proporsional. Dengan demikian ia tidak akan bersikap keras dalam kondisi yang semestinya bersifat lunak, begitu pula sebaliknya.

(14) Mengetahui keadaan psikis anak didik. Pengetahuan seorang pendidik terhadap kejiwaan anak didiknya akan memudahkan kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian ia akan dapat dengan mudah memperlakukan anak didiknya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.

(15) Memiliki kepekaan dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi. Seorang pendidik harus mengantisipasi setiap perkembangan, gejolak yang terjadi, baik pada anak didik maupun lingkungannya.

(16) Bersifat adil. Keadilan pendidik harus tercermin dan dimanifestasikan dalam sikap dan tindakannya, baik berupa pujian, hukuman, penilaian, perintah maupun larangan terhadap anak didiknya. Memperlakukan anak didiknya dengan tidak pilih kasih. Siapa yang bersalah harus dihukum dan yang benar harus dipuji. Sifat adil dimaksudkan memperlakukan anak didiknya secara bijak sesuai dengan proporsinya masing-masing.

(17) Tidak meninggalkan nasihat. Ia harus membimbing anak didiknya dengan penuh ketulusan. (18) Tidak berlaku kasar. Seorang pendidik harus memperlakukan anak didiknya dengan lunak, tidak membentak, menyindirnya dengan halus bila berbuat salah.

(19) Tidak menjelek-jelekkan ilmu yang lain di depan anak didik. Seorang pendidik tidak merendahkan ilmu yang bukan bidangnya. (20) Tidak mengajarkan sesuatu di luar kemampuan anak didik. Dalam hal ini, seorang pendidik tidak memaksakan suatu ilmu kepada anak didiknya di luar kemampuannya.

(21) Mengajarkan pelajaran secara jelas. Seorang pendidik hendaknya dapat menerangkan suatu pembahasan secara jelas, sehingga anak didik akan semakin berminat untuk memperdalam pelajaran yang telah dipelajari.

(22) Hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya. Oleh karena itu, ia harus menyesuaikan antara ilmu dengan tindakannya. Mengamalkan apa yang diketahuinya, karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal perbuatan dilihat dengan mata kepala.

Melalui sifat-sifat di atas, diharapkan pendidik dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi, pendidik yang berkualitas akan melahirkan anak didik yang berkualitas pula. Wallahu a’lam.



* Media Pembelajaran, Kajian Utama, Edisi No. 07/XXXVI Oktober 2009