Rabu, 18 November 2009

Integrasi Ujian Nasional dan SNMPTN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Pemaksaan Ujian Nasional (UN) sebagai satu-satunya penentu kelulusan peserta didik membuat pendidikan mengarah hanya pada pengembangan kemampuan kognitif. Bahkan, UN telah banyak mengubah metode belajar yang cukup berefek pada kemampuan peserta didik memahami masalah.

Para guru biasanya menggenjot kemampuan siswa dengan metode drilling , yaitu melatih siswa untuk mengerjakan sosl-soal yang mungkin akan keluar dalam UN. Siswa tidak lagi diajari untuk memahami pelajaran secara utuh, namun bagaimana mereka terbiasa dengan soal-soal yang diprediksi akan muncul dalam UN. Melalui metode ini, kadang sampai mengorbankan mata pelajaran yang tidak di-UN-kan.

Ironisnya lagi, peserta didik diajari cara mengerjakan soal UN secara instan. Mulai dari upaya membocorkan soal, memberikan kunci jawaban UN, hingga me- mark up hasil ujian siswa. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan persentase kelulusan, mengingat hal tersebut terkait erat dengan gengsi sekolah dan daerah.

Selain itu, persentase angka kelulusan tersebut juga menjadi dasar pertimbangan alokasi bantuan pemerintah pusat terhadap daerah dan sekolah.Memang, membahas polemik seputar UN tidak akan ada selesainya. Karena itu, yang harus dilakukan adalah memperbaiki sistem. Jika UN kredibel, hasilnya bisa dipakai untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dan, Alhamdulillah akhirnya kabar gembira tentang integrasi UN dengan SNMPTN itu akan direalisasikan pada tahun 2011. Ini merupakan kado istimewa dari Mendiknas untuk para pengelola pendidikan di negeri ini.

Pemerintah melalui Depdiknas akhirnya memutuskan pada 2011 pelaksanaan dan hasil UN bisa diintegrasikan dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Hal itu disampaikan Mendiknas Mohammad Nuh didampingi seluruh jajaran eselon I di lingkungan Depdiknas, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya yang juga Ketua Panitia SNMPTN, Haris Supratno, di Depdiknas, akhir pekan lalu.

Dalam kesempatan itu, Ketua SNMPTN Haris Supratno mengatakan, pembuatan soal, pengawasan, dan hal-hal lain sudah dilibatkan dalam pengawasan tes masuk, pembuatan soal, juga hal-hal yang kecil lainnya. Dan mulai tahun inipun Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah dilibatkan dalam proses UN.

Dari mulai pembuatan soal, distribusi, pelaksanaan, dan evaluasi. ''Dengan pelibatan PTN, diharapkan pada 2010 UN sudah kredibel dan tidak usah tunggu 2012 untuk mengintegrasikan UN dengan SNMPTN.'' ujarnya.

PTN sudah dilibatkan dalam UN mulai dari penyusunan soal ujian, cetak naskah, distribusi ke sekolah-sekolah, pengawasan ujian hingga scanning lembar jawaban ujian. ''Tahun ini UN belum bisa dijadikan syarat masuk PTN.'' cetus Haris. ( Republika Online , Senin, 09/11/2009).

Pengintegrasian UN ini sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI bahwa UN dijadikan sebagai seleksi masuk pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam Peraturan Menteri tersebut dinyatakan bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk; a) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; d) akreditasi satuan pendidikan; dan e) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Semoga melalui integrasi UN dengan SNMPTN ini, polemik seputar UN bisa terselesaikan. Dan diharapkan sekolah dapat melaksanakan amanah pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Wallahu a'lam bishshawab .
Rabu, 18 November 2009 pukul 12:27:00/Republika

Selasa, 17 November 2009

Pemuda dalam Lintasan Sejarah

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Karena maju mundurnya sebuah bangsa tergantung pada kondisi pemudanya saat ini. Jika pemudanya baik dan memiliki jiwa yang maju, maka bangsa itu akan menjadi baik dan maju. Sebaliknya, jika pemudanya rusak otomatis masa depan bangsa itu pun akan terpuruk.
Dalam sejarah kebangkitan bangsa-bangsa, pemuda selalu memiliki peranan yang besar dan strategis, karena untuk menuju kebangkitan bangsa diperlukan daya kekuatan berupa keyakinan yang kuat, ketulusan, semangat kejujuran, kesungguhan dalam bekerja, dan pengorbanan. Memang, selalu ada harapan baru pada figur pemuda. Harapan akan kesegaran gagasan, kekuatan pikiran, ketangguhan stamina, dan keberanian dalam memberantas penyimpangan.
Pemuda adalah generasi yang turut menentukan. Dalam Alquran Allah SWT selalu menegaskan pentingnya masa muda. Misalnya, pemuda Ashhabul kahfi digambarkan sebagai sekelompok anak muda yang memiliki kekuatan integritas moral (iman). Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. (QS Alkahfi [18]: 13).
Dalam hadits disebutkan, Syabaabaka qabla haramika. Masa mudamu sebelum masa tuamu. Dari ayat dan hadits tersebut tampak bahwa masalah kepemudaan oleh Islam sangat ditekankan. Ditekankan karena tidak saja masa muda adalah masa berbekal untuk hari tua, melainkan juga di masa muda itulah segala kekuatan dahsyat terlihat.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan dan memuliakan para pemuda. Alquran telah menyebutkan karakteristik pemuda. Pertama, pemuda selalu menyeru kepada alhaq (kebenaran). Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan. (QS Al Araf [7]: 181).
Kedua, mereka mencintai Allah, dan Allah pun mencintai mereka. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (QS Almaidah [5]: 54).
Ketiga, mereka saling melindungi dan saling mengingatkan. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Attaubah [9]: 71).
Keempat, mereka adalah pemuda yang memenuhi janjinya kepada Allah SWT. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (QS Arrad [13]: 20).
Kelima, mereka tidak ragu-ragu dalam berkorban dengan jiwa dan harta mereka untuk kepentingan Islam. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS Alhujurat [49]: 15).
Berkaitan sosok pemuda, para Nabi dan Rasul yang diutus untuk menyampaikan wahyu dan syariat Allah SWT kepada umat manusia, semuanya adalah orang-orang terpilih dari kalangan pemuda yang berusia sekitar empat puluh tahunan. Bahkan ada di antaranya yang diberi kemampuan untuk berdebat dan berdialog sebelum genap delapan belas tahun. Ibnu Abbas berkata, Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus, melainkan ia (dipilih) dari kalangan pemuda (yakni antara 30- 40 tahun). Begitu pula tidak seorang alim pun yang diberi ilmu melainkan ia (hanya) dari kalangan pemuda.
Rasulullah Muhammad SAW tatkala diangkat menjadi rasul, beliau juga baru berusia empat puluh tahun. Setelah itu, beliau dan pengikutnya yang merupakan generasi pertama, kebanyakan dari kalangan pemuda bahkan ada yang masih anak-anak, mereka berjibaku mempertahankan dan menyebarkan Islam, hingga akhirnya Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Generasi pertama (assaabiquunal awwaluun) itu di antaranya adalah Abu Bakar As Shiddiq, masuk Islam pada usia 32 tahun; Umar bin Khattab, 35 tahun; Utsman bin Affan, 30 tahun, Ali bin Abi Thalib, 9 tahun; dan seterusnya.
Pada generasi berikutnya, kita mengenal nama Umar bin Abdul Aziz. Dia dilantik menjadi khalifah pada usia yang masih sangat muda, yaitu 35 tahun. Adil, jujur, sederhana dan bijaksana, itulah ciri khas kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Tak salah bila sejarah Islam menempatkannya sebagai khalifah kelima yang bergelar Amirul Mukminin, setelah Khulafa Ar-Rasyidin. Khalifah pilihan itu begitu mencintai dan memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya. Dia beserta keluarganya rela hidup sederhana dan menyerahkan harta kekayaannya ke baitulmal (kas negara) begitu diangkat menjadi khalifah. Khalifah Umar pun dengan gagah berani serta tanpa pandang bulu memberantas segala bentu praktik korupsi sehingga pada era kepemimpinannya, Dinasti Umayyah mampu menorehkan tinta emas kejayaan yang mengharumkan nama Islam.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda menempati peranan yang sangat strategis dalam setiap peristiwa penting yang terjadi. Bahkan, pemuda menjadi ujung tombak perjuangan melawan penjajahan ketika itu. Selain sebagai pengontrol independen terhadap kebijakan pemerintah dan penguasa, pemuda juga aktif melakukan kritik tajam hingga menurunkan pemerintahan yang tidak lagi berpihak kepada rakyat.
Ir. Soekarno, misalnya, menjabat presiden Republik Indonesia pertama pada usia 44 tahun, dan Mohammad Hatta menjadi wakil presiden RI pada usia 42 tahun. Kedua pemuda ini melakukan langkah besar dan berani dipenghujung masa penjajahan Jepang kala itu, yaitu memproklamirkan negara baru yang bernama Indonesia. Sehingga sejarah mencatat keduanya sebagai bapak proklamator.
Soeharto belum genap 45 tahun saat dilantik menjadi pemimpin di negeri ini. Saat itu, perwira muda yang dikenal sebagai ahli strategi tersebut mencoba untuk menyelesaikan satu persatu persoalan bangsa, yang muncul akibat terjadinya peristiwa 30 September 1965. Keberaniannya mengatasi berbagai persoalan inilah kemudian mengantarkan karier militer dan politiknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Kemudian, Muhammad Hidayat Nur Wahid dilantik menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) pada usia 44 tahun. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini adalah anugerah zaman yang harus disyukuri, didukung dan diteladani. Bagaimana tidak, ketika orang-orang dan pemerintah pada khususnya, baru berteriak-teriak tentang pemberantasan korupsi, dia sudah menerapkan hidup dengan konsep sederhana. Fasilitas mobil mewah adalah hal pertama yang dia tolak saat memangku jabatan sebagai ketua MPR RI. Dia juga menolak dan menyeru agar anggota dewan dan wakil rakyat yang terhormat tidak perlu menginap di suite room hotel berbintang lima yang cukup mahal harganya. Sebagai gantinya, dia lebih memilih menginap di ruang kerja.
Semangat memunculkan tokoh muda dalam kepemimpinan nasional menjadi sangat relevan dan beralasan. Oleh karena itu, melalui peringatan sumpah pemuda kali ini, satu pertanyaan yang perlu direnungkan, siapkah kaum muda menyambut estafet kepemimpinan itu?

Penulis adalah Kepala Devisi Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat
dimuat di kolom opini HU Pelita

Makna Lailatul Qadar

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Aam Amiruddin dalam bukunya, Tafsir Al-Quran Kontemporer, menyebutkan empat pengertian alqadar. Pertama, menurut Al-Qurtubi, alqadar artinya penetapan. Lailatul qadar berarti malam penetapan Allah SWT atas perjalanan makhluk selama setahun, seperti penetapan rizki, jodoh, dan umur.
Allah SWT berfirman, Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS Addukhan [44]: 3-4).
Dalam Al-Quran dan terjemahnya, Departemen Agama RI, disebutkan, yang dimaksud dengan urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rizki, baik, buruk dan sebagainya.
Kedua, Al-Qasimy menyebutkan, alqadar artinya pengaturan. Lailatul qadar berarti malam pengaturan, karena pada malam itu Allah SWT mengatur strategi bagi Nabi-Nya untuk mengajak manusia kepada agama yang benar, demi menyelamatkan mereka dari kesesatan.
Ketiga, makna lain dari alqadar adalah kemuliaan. Jadi, Lailatul qadar berarti malam kemuliaan. Malam tersebut menjadi lebih mulia karena kemuliaan Alquran. Ada juga yang memahami kemuliaan tersebut dalam kaitannya dengan ibadah, dalam arti bahwa ibadah pada malam itu mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan ganjaran tersendiri, berbeda dengan malam-malam yang lain.
Keempat, alqadar juga berarti sempit. Lailataul qadar berarti malam yang sempit, karena pada malam itu diturunkannya Al-Quran, begitu banyak Malaikat yang turun ke bumi, sehingga bumi serasa sempit karena penuh sesak oleh rombongan Malaikat.
Lailatul qadar merupakan peristiwa besar, dahsyat dan bahkan spektakuler karena diawali dengan kalimat maa adraaka. Kalimat tersebut biasanya digunakan Alquran untuk menggambarkan sesuatu yang dahsyat dan spektakuler, misalnya, Wama adraaka mal qariah (tahukah kamu apakah hari kiamat itu?), Wama adraaka maahiyah (tahukah kamu, apakah neraka hawiyah itu?).
Kalimat khairun min alfi syahr (lebih baik dari seribu bulan), mengandung dua pengertian. Pertama, diartikan secara harfiah, apa adanya, angka 1000, bahwa malam tersebut nilainya lebih baik dari seribu bulan.
Kedua, menunjukkan sesuatu yang sangat banyak, bahkan tak terhingga. Hal ini diungkapkan dalam ayat yang lain (QS Albaqarah [2]: 96). Jadi menurut pendapat ini, bahwa tingkatan keutamaan lailatul qadar tidak bisa dihitung dengan angka. Atas dasar ini, maka lailatul qadar adalah lebih utama dari sepanjang masa.
Lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, pada suatu malam yang tak seorangpun mengetahui, karena Nabi SAW hanya mengisyaratkan bahwa kemungkinan besar lailatul qadar terjadi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir pada setiap bulan Ramadhan. (HR Muslim).
Adapun hikmah tidak dipastikannya kapan turunnya lailatul qadar adalah, pertama, agar kita terus giat dan sungguh-sungguh beribadah, tidak hanya beribadah pada hari-hari tertentu dan meninggalkan ibadah di hari-hari yang lain. Kedua, untuk melatih kita agar senantiasa istiqamah dalam beramal.
Bagaimana agar kita bisa menggapai lailatul qadar? Pertama, menghidupkan malamnya dengan imanan dan ihtisaban, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Barangsiapa yang shalat pada malam lailatul qadar berdasarkan iman dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-sosanya yang telah lalu. (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua, berdoa ketika bertemu lailatul qadar. Rasulullah SAW mengajarkan membaca doa berikut, Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengampun, maka ampunilah aku. Terkait pengaruh yang bisa dirasakan bagi orang yang mendapatkan lailatul qadar, seorang ahli tafsir berpendapat, jika seseorang mendapatkan lailatul qadar, maka orang tersebut akan merasakan semakin kuatnya dorongan dalam jiwa untuk melakukan kebajikan pada sisa hidupnya, sehingga ia merasakan kedamaian dalam hidup. Semoga Allah SWT memberi kesempatan kepada kita untuk bisa meraih lailatul qadar, amin. Wallahu alam bish-shawab.

Penulis adalah Pengurus Korps Muballigh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat
dimuat di HU Pelita

Jumat, 13 November 2009

BELAJAR DARI IBADAH HAJI

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI dan Hj Siti Mahmudah SPdI
Kepala dan Guru MTs Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Kini, musim haji telah tiba. Berbondong-bondong kaum Muslim dari segala penjuru dunia menuju Tanah Suci. Mereka membelanjakan rezeki yang dianugerahkan Allah SWT untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Untuk sementara waktu mereka meninggalkan kesibukan dunia, keluarga, dan sanak saudara. Semua itu merupakan wujud kecintaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Allah telah mengabadikan seruan untuk menunaikan haji kepada seluruh manusia melalui Nabi Ibrahim AS.
Allah SWT berfirman, ”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Alhajj [22] : 27).
Melaksanakan ibadah haji adalah dambaan setiap umat Islam. Apalagi, bila ibadah yang dilaksanakan itu diterima oleh Allah SWT sehingga hajinya menjadi mabrur. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada balasan bagi haji mabrur (yang diterima) kecuali surga.” (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Syariat atau perintah melaksanakan ibadah haji ini tidak hanya berlaku pada umat Nabi Muhammad SAW. Tetapi jauh sebelum itu, haji telah diperintahkan kepada Nabi dan Rasul-Rasul Allah terdahulu. Karenanya semua rangkaian pelaksanaan ibadah haji mengandung pelajaran (ibrah) yang sangat berharga bagi umat manusia.
Di antara rangkaian pelaksanaan ibadah haji itu adalah, pertama, pakaian ihram. Pakaian ihram terdiri dari dua lembar kain yang tidak berjahit. Hal ini dimaksudkan pemakaiannya agar melepaskan diri dari sifat-sifat buruk yang melekat pada dirinya. Sebab kemewahan pakaian dapat membangkitkan sikap hidup sombong bagi pemakainya, yang pada akhirnya akan menjauhkan diri dari orang lain, tidak mau bergaul dengan orang lain, tidak mau mendengarkan apa kata orang lain dan yang lebih celaka lagi kalau tidak mau mendengar firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW. Dan pada dasarnya mengenakan pakaian ihram adalah menanggalkan perhiasan dunia yang penuh dengan gemerlap dan cobaan.
Kedua, berihram. Berihram adalah niat, yaitu niat memasuki ibadah haji atau umrah sebagai pemenuhan atas panggilan Allah SWT, memenuhi panggilan dengan penuh keyakinan, ditinggalkannya kampung halaman dengan berbagai hal yang melekat padanya. Ditinggalkan jabatan yang membuat sibuk sepanjang waktu, dilepaskan atribut, titel, gelar dan sebagainya, menuju rumah Allah yang berupa tumpukan batu persegi empat, tidak ada keistimewaan apa-apa di rumah itu. Tetapi itulah rumah dambaan bagi setiap Muslim, belum puas rasanya sebelum mengunjungi baitullah itu.
Ketiga, talbiyah. Talbiyah merupakan panggilan Allah SWT kepada seseorang untuk senantiasa dengan ikhlas memenuhi panggilan tersebut, bukan karena keterpaksaan. ”Labbaikallahumma, labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, innalhamda wanni’mata laka walmulka la syarikalak”.
Keempat, thawaf (mengelilingi Ka’bah). Thawaf artinya keliling. Maksudnya mengelilingi Ka’bah baik berkaitan dengan umrah atau haji. Mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 putaran yang dimulai dan diakhiri di hajar aswad. Perputaran 7 keliling bisa diartikan sama dengan jumlah hari yang beredar mengelilingi kita dalam setiap minggu. Lingkaran pelataran Ka’bah merupakan arena pertemuan dan bertamu dengan Allah yang dikemukakan dengan doa dan zikir dan selalu dikumandangkan selama mengelilingi Ka’bah. Agar manusia memahami hubungan manusia dengan sang Pencipta dan ketergantungan manusia akan Tuhannya.
Gerakan mengelilingi Ka'bah ini juga mengacu kepada gerakan perputaran benda-benda langit. Bulan, bintang, matahari, dan semua planet berputar pada porosnya masing-masing. Ini merupakan sebuah bentuk kepatuhan benda-benda langit tersebut kepada hukum-hukum Allah yang mengatur seluruh alam jagat raya ini. Dengan melakukan thawaf, manusia diharapkan menyadari bahwa mereka pun seharusnya hanya tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah, sebagaimana tunduk dan patuhnya seluruh benda-benda di jagat raya ini.
Allah SWT berfirman, ”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan.” (QS Ali Imran [3]: 83).
Kelima, sai (berlari-lari). Sai adalah berlari-lari kecil di antara bukit Shafa dan Marwah. Gerakan ini dilakukan bolak-balik sebanyak 7 kali. Ritual pelaksanaan ibadah sai ini mengacu pada gerakan Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail AS, yang berlari bolak-balik 7 kali antara bukit Shafa dan Marwah dalam upayanya mencari air untuk Ismail yang sedang kehausan.
Apa yang telah dilakukan Siti Hajar ini memberikan pelajaran bagi umat manusia, yakni setiap orang harus senantiasa berusaha dan bekerja dengan mengharap ridha Allah SWT. Apa pun yang didapat, berhasil atau tidak upaya itu, hendaknya senantiasa memanjatkan syukur kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Shafa dan Marwah ialah bagian dari syiar (agama) Allah. Barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sai antara keduanya.” (QS Albaqarah [2]: 158).
Keenam, bercukur. Mencukur rambut adalah penegasan dan realisasi akan selesainya masa ihram. Sedangkan perintah untuk mencukur rambut adalah agar kotoran yang melekat para rambut menjadi hilang karena rambut kepala berfungsi menjaga otak dari berbagai penyakit dan otak yang sehat akan membuahkan pemikiran yang positif.
Ketujuh, wukuf di Arafah. Makna wukuf adalah berhenti, diam tanpa bergerak. Jika dikaitkan dengan thawaf, maka setelah kehidupan diwarnai dengan gerakan, maka suatu saat gerakan itu akan berhenti. Manusia suatu saat jantungnya akan berhenti berdetak, matanya akan berhenti berkedip, kaki dan tangannya akan berhenti melangkah dan berkeliat.
Ali Syariati dalam bukunya, Al-Hajj, menjelaskan, wukuf di padang Arafah adalah sebuah upaya merenungi hakikat penciptaan alam semesta, perbuatan yang telah dilakukan, dan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat penghisaban.
Ia menambahkan, Arafah bermakna mengenal, mengetahui, atau menyadari. Dari makna ini, kata Ali Syariati, Arafah merupakan gambaran dari padang mahsyar di akhirat kelak sebagai tempat penghisaban segala amal perbuatan manusia selama di dunia. Karena itulah, di lokasi ini, setiap jamaah haji dianjurkan untuk memperbanyak doa, istighfar (mohon ampunan), serta melakukan penghisaban (perhitungan) diri atas segala perbuatan yang pernah dilakukan.
Kedelapan, melempar jumrah. Melempar jumrah adalah batu-batu kecil pada sebuah tiang yang dianggap sebagai perumpamaan setan (iblis) dan hawa nafsu, yang senantiasa menggoda hati manusia untuk berbuat dosa dan maksiat. Melempar batu (jamarat) ini sebagai simbol kemenangan anak manusia terhadap godaan setan (iblis).
Ritual melempar batu-batu kecil pada tiang jamarat ini, meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim AS. Saat Nabi Ibrahim AS diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS, tiba-tiba datanglah iblis yang meminta Ibrahim AS agar mengurungkan niatnya.
Dan begitu seterusnya, karena masih banyak rangkaian ibadah haji yang belum disebutkan di sini. Oleh karena itu, hanya dengan keimanan, niat, tekad, dan kemauan serta kemampuannyalah yang akan memberangkatkan seseorang untuk berhaji. Semoga kita termasuk orang-orang yang akan mendapatkan undangan dari Allah SWT untuk menunaikannya. Amin.

*Radar Cirebon, Opini, Sabtu, 31 Oktober 2009