Kamis, 18 Maret 2010

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Oleh Imam Nur Suharno

Sistem pendidikan yang kita bangun ternyata belum mencerminkan nilai. Hal ini terlihat dari minimnya upaya menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti kepada para peserta didik pada setiap mata pelajaran yang diajarkan. Padahal, dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ditegaskan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Akibat kurang mantapnya pendidikan budi pekerti, tidak sedikit dari pelajar bangsa ini hanyut dibuai kesenangan sesaat. Mereka mulai dengan sikap tidak mau mendengarkan ocehan orang-orang yang menginginkan perilaku mereka lebih baik. Mereka lebih senang mengadopsi dan mengakses nilai-nilai negatif. Bolos sekolah, tawuran, melakukan hal-hal anarkistis di jalanan, bahkan mengonsumsi napza, sepertinya sudah menjadi budaya bagi mereka. Masyarakat hanya melihat dengan sikap apatis tanpa mau tahu problematika yang sedang menyelimuti agen pembaru bangsa ini secara positif.

Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan pendidikan budi pekerti diperlukan optimalisasi peran dan tanggung jawab berbagai pihak.

Pertama, peran sekolah. Hal ini bisa diwujudkan melalui (1) keteladanan guru. Guru merupakan panutan dalam segala hal, termasuk pembinaan akhlak. Keteladanan merupakan strategi dan metode efektif untuk pembelajaran dan pendidikan. Guru yang menjadi pendidik harus memenuhi kriteria, (a) bertakwa kepada Allah SWT; (b) ikhlas berkorban karena merindukan rida-Nya; (c) berilmu pengetahuan luas mengenai kekuasaan Allah; (d) santun, lemah lembut, sabar, dan pemaaf; serta (e) memiliki rasa tanggung jawab tinggi dan berlaku adil.

(2) Pengintegrasian pendidikan budi pekerti dengan mata pelajaran lainnya. Sebab, pendidikan budi pekerti tidak hanya tugas bagi guru pendidikan agama Islam (PAI), tetapi tugas semua guru. Guru harus mampu mengaitkan pendidikan budi pekerti dengan mata pelajarannya.

Guru geografi, geologi, dan astronomi, misalnya, menjelaskan kepada peserta didik bahwa alam yang kita tempati ini, dengan langit dan buminya, teratur dengan sangat rapi. Ini menunjukkan alam ini diciptakan Pencipta Yang Mahabijaksana dan Mahatahu. Guru matematika menjelaskan perhitungan dengan contoh-contoh perhitungan zakat harta atau perhitungan warisan. Guru bahasa dan sastra berusaha agar tema-tema yang diajarkan, baik pada bagian mengarang, cerita, maupun puisi, mengandung ide-ide Islami.

(3) Membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama. Misalnya, salat fardu berjamaah, salat Dhuha saat istirahat, tadarus Alquran di awal kegiatan belajar-mengajar, membiasakan puasa sunah senin dan kamis, mengucapkan salam, serta menggelar kantin kejujuran.

Kedua, peran keluarga. Melalui keluarga, pendidikan prasekolah bisa didapatkan. Selain itu, pengembangan kecerdasan afektif dan psikomotorik pun membutuhkan peran keluarga dalam pengembangannya. Keluarga juga berperan dalam pemberian gizi yang cukup dalam menjamin tumbuh kembang anak. Dan yang paling utama adalah pembentukan sikap dan mental anak.

Ketiga, peran masyarakat. Hal ini bisa diwujudkan melalui kontrol sosial masyarakat. Kontrol sosial ini haruslah membangun nilai-nilai religius, serta menciptakan mental yang sehat. Diharapkan masyarakat turut memberikan teguran pada pelajar saat menjumpai mereka berkeliaran setelah pulang sekolah atau pada saat jam-jam sekolah.

Keempat, peran pemerintah. Bisa dibilang pemerintah kurang serius dalam pembangunan pendidikan. Mulai dari kebijakannya sampai pengawasannya. Sebagai contoh, masih ada sekolah kekurangan guru, belum lagi tidak meratanya penyebaran guru. Pemerintah juga masih sangat minim perhatiannya dalam pemenuhan sarana dan fasilitas pembelajaran.

Penyelenggaraan pendidikan adalah amanah negara bagi pemerintah. Hal ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan juga termaktub dalam UUD itu sendiri. Demikian pula UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 49 ayat (1) yang menegaskan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD.

Tentu anggaran 20 persen tersebut menyimpan harapan besar terhadap kemajuan pendidikan di negeri ini. Hal ini mengingat salah satu fungsi negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Terakhir, kita perlu merenungi ucapan guru Harfan –tokoh pendidik dalam film ”Laskar Pelangi” - bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya didasari oleh deretan angka dan fasilitas, tetapi oleh cerminan hati dan kebaikan budi pekerti anak didik sebagai buah dari proses pendidikan yang dilakukan secara tulus, kontinu, dan penuh pengabdian. Tentu saja hal ini dapat terwujud manakala semua pihak berupaya memainkan peran dan tanggung jawabnya secara optimal. Semoga.***

Penulis, Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat.


PR Edisi 18 Maret 2010

Buah dari Musibah

Oleh Imam Nur Suharno MPdI

Allah SWT akan senantiasa menguji hamba-Nya dengan dua bentuk ujian, yaitu berupa nikmat (kesenangan) dan bencana (keburukan). Sayyid Quthb mengatakan, banyak orang yang bisa tabah saat menghadapi ujian berupa kesulitan. Tetapi, banyak orang yang terlena dan lalai saat diuji berupa kesenangan.

Karena itu, bersabar dan bersyukur adalah kunci keberhasilan bagi seorang Mukmin dalam menghadapi kedua ujian itu. Rasulullah SAW bersabda, ''Orang Mukmin memiliki keunikan sehingga seluruh urusannya itu baik untuknya, dan keunikan ini tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu: apabila ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur, hal ini baik baginya, dan apabila ia mendapatkan musibah, ia bersabar, hal ini juga baik baginya.'' (HR Muslim).

Untuk mencapai pemahaman yang baik tentang hakikat ujian yang datang, seseorang harus mengetahui rahasia di balik setiap ujian. Rahasia tersebut adalah:

Pertama, kemuliaan Allah dan kekuatan kehendak-Nya. Ibnu al-Qayyim berkata tentang rahasia Perang Uhud, ''Di antara buah (dari kesusahan yang dialami dalam Perang Uhud) adalah memunculkan status kehambaan para wali-Nya dan para pengikut agama-Nya dalam kondisi senang ataupun susah, terhadap hal yang mereka sukai dan yang mereka benci, atau pada saat mereka harus kalah dan musuhnya yang menang. Jika pada semua kondisi tersebut mereka mampu tetap teguh di atas ketaatan dan beribadah kepada Allah maka mereka adalah hamba-hamba Allah sejati.''

Kedua, ujian menghapus dosa. Sabda Rasulullah, ''Tidaklah sesuatu yang menimpa seorang Muslim, baik itu penyakit biasa maupun penyakit menahun, kegundahan dan kesedihan, atau hanya duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapus semua kesalahannya dengan semua penderitaan yang telah ia alami.'' (HR Bukhari).

Ketiga, mengangkat derajat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah bersabda, ''Jika Allah menginginkan atas diri hamba-Nya suatu kebaikan maka Allah akan mempercepat baginya cobaan di dunia. Dan, jika Allah menginginkan atas diri hamba-Nya keburukan, maka Dia akan menahan cobaan tersebut dengan semua dosanya hingga dia menebusnya pada hari kiamat.''

Sungguh Allah telah menjanjikan sesuatu yang agung bagi mereka yang mampu bersabar atas ujian yang menimpanya. ''Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, 'Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun'. Mereka itulah orang yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.'' (QS Albaqarah [2]: 155-157).


Harian Republika, Kamis 18 Maret 2010

Senin, 15 Maret 2010

MENGENDALIKAN STRES JELANG UJIAN NASIONAL

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

"Kita, orang tua yang cemas. Saya lihat anak saya malah tenang-tenang saja," kata seorang ibu di salah satu sekolah menengah pertama negeri (SMPN) di Kota Bandung. Beberapa orang tua lainnya mengangguk, tanda menyetujui pernyataan itu

perkiraan itu tidak sepenuhnya benar. Dalam kesempatan lain, ketika ditanyakan langsung pada anaknya tentang apa yang dirasakan menjelang ujian. "Iih... deg-degan sekali... kepikiran gimana kalau enggak lulus? Kebayang pasti malu sama teman-teman, belum lagi kalau dimarahin papa mama, stres gitu," kata seorang anak. ("PR" 28/2).

Begitulah, pemandangan menjelang Ujian Nasional (UN). Kecemasan menjelang UN tidak hanya dirasakan oleh para orang tua dan anak, tetapi dirasakan pula oleh para kepala sekolah dan guru, terutama guru mata pelajaran yang di-UN-kan. Oleh karena itu, jika hal ini dibiarkan maka akan melahirkan stres. Dan, stres pada tingkatan tertentu dapat mengakibatkan kegilaan dan ketidakwarasan.

Pertanyaannya, apakah stres dapat dikendalikan? Nabi Muhammad saw. sebagai sosok manusia yang berjiwa besar, dalam rangka pengendalian stres sampai berjuang keras melalui doa sekaligus evaluasi harian setiap pagi dan sore yang berlindung kepada Allah SWT dan selalu mawas dari delapan pangkal penyakit mental yang menjadi sumber stres, yaitu: (1) obsesi/pikiran yang mengganggu (hamm); (2) kesedihan (huzn); (3) ketidakberdayaan (`ajz), (4) kemalasan/kurang motivasi (kasal); (5) kekikiran (bukhl); (6) ketakutan (jubn); (7) problem keuangan (ghalabat dain); dan (8) tekanan orang lain (qohrir rijal).

Dari Abu Said Al-Khudri RA, berkata, "Suatu hari Rasulullah saw. masuk masjid, tiba-tiba beliau bertanya, mengapa kamu duduk-duduk di masjid di luar waktu salat?" Abu Umamah menjawab, "Karena kecemasan yang melanda hatiku dan utang-utangku, wahai Rasulullah." Rasulullah bersabda, "Bukankah aku telah mengajarimu beberapa bacaan, bila kau baca niscaya Allah akan menghilangkan rasa cemas dari dirimu dan melunasi utang-utangmu." Abu Umamah berkata, "Betul wahai Rasulullah." Rasulullah bersabda, "Ketika pagi dan sore ucapkanlah: Allahumma Inni A`udzubika Minal Hammi Wal Hazan, Wa A`udzubika Minal Ajzi Wal Kasal, Wa A`udzubika Minal Jubni Wal Bukhl, Wa A`udzubika Min Ghalabatid Daini Wa Qahrir Rijal" Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan kesedihan, dan aku berlindung pada-Mu dari ketidakberdayaan dan kemalasan, dan aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari problem keuangan dan tekanan orang lain. Lalu aku melakukan perintah tadi, maka Allah menghilangkan rasa cemas dari diriku." (HR Abu Dawud).

Dr. Setiawan Budi Utomo Lc. M.A., dalam artikelnya yang berjudul "Manajemen Stres Membangun Karakter Tangguh", memberikan beberapa panduan ruhiyah sebagai terapi efektif untuk pengendalian stres, di antaranya: perbanyak salat sunat dengan khusyuk; menghayati dan mengambil wisdom asmaul husna (nama-nama mulia Allah); merawat kondisi bersuci; tadabbur Alquran; membaca kisah-kisah teladan dan success stories yang pernah terjadi setelah mengalami kegagalan; relaksasi jiwa dan kontemplasi dengan zikir bebas dan tafakur yang dapat dilakukan pula dengan pengolahan pernafasan; rekreasi; olah raga; manajemen istirahat yang baik; canda dan humor yang sehat; dan membaca buku dan mengobrol yang bermanfaat.

Tentu, untuk mencapai keberhasilan dalam upaya pengendalian stres menjelang UN ini perlu didukung dengan kekhusyukan, keikhlasan, dan kepasrahan total dalam menjalani rangkaian proses di atas agar secara perlahan dapat memperbaiki cara berpikir menjadi lebih positif atau positive thinking. Wallahualam.***

Penulis, Kepala MTs. Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat.


dimuat di PR edisi 15 Maret 2010