Senin, 12 Desember 2011

MENUJU PALESTINA MERDEKA

Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI
Pemerhati Masalah Sosial dan Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

MASIH terngiang di benak kita aksi kebrutalan tentara marinir Israel terhadap kapal pembawa bantuan kemanusiaan, Mavi Marmara, di perairan Internasional, sekitar 128 kilometer dari pantai Gaza, Palestina, Senin 31 Mei 2011 lalu.
Aksi-aksi kebrutalan dan kebiadaban Israel terhadap warga Palestina seakan tidak pernah berhenti, dari dulu, sekarang, dan yang akan datang. Sepanjang sejarah berdirinya negara penjajah Zionis Israel semenjak tahun 1948, tidak pernah menunjukkan niat baik bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Tidak pernah mengindahkan resolusi-resolusi dunia Internasional. (Konferensi Perdamaian Madrid (1991), Oslo (1993), Sharm Al-Shekh (1999), serta Peta Jalan Perdamaian (Road Map for Peace 2003) gagasan Quartet (AS, Rusia, PBB, dan UE). Resolusi dan kesepakatan itu semua tidak ada satupun yang dilaksanakan penjajah Zionis Israel. Israel seakan berdiri di atas hukum (dakwatuna.com).
"Le historie se repete", kata orang Prancis. Sejarah akan kembali berulang, termasuk sejarah kebencian kaum Yahudi terhadap umat Islam. Mereka tak akan pernah senang dengan kedamaian yang didapatkan kaum muslimin, terutama Palestina. Dalam hal ini, Allah SWT menegaskan, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 120).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menerangkan bahwa kaum Yahudi memiliki sikap yang paling keras permusuhannya terhadap umat Islam. ”Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ”Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS Almaidah [5]: 82).
Dalam Alquran, Allah SWT telah mengurai karakter utama kaum Yahudi atau Israel tersebut. Yaitu, karakter yang selalu melekat dalam sepanjang sejarah kehidupan mereka, hingga akhir zaman. Pertama, kaum Yahudi suka menyembunyikan kebenaran (alhaq). Allah SWT menegaskan, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS Albaqarah [2]: 42).
Kedua, kaum Yahudi suka ngeyel dan keras kepala. Allah SWT berfirman, “Mereka menjawab: “mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
“Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.”
“Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).”
“Musa berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata: ”Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.” Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (QS Albaqarah [2]: 68-71).

Ingkar Janji
Ketiga, kaum Yahudi suka ingkar janji. Allah SWT menegaskan, ”Dan mereka berkata: ”Hai ahli sihir, berdoalah kepada Tuhanmu untuk (melepaskan) kami sesuai dengan apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu; sesungguhnya kami (jika doamu dikabulkan) benar-benar akan menjadi orang yang mendapat petunjuk. Maka tatkala Kami hilangkan azab itu dari mereka, dengan serta merta mereka memungkiri (janjinya).” (QS Az-Zukhruf [43]: 49-50).
Keempat, kaum Yahudi memiliki sifat bakhil dan tamak. Firman Allah SWT, ”Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia.” (QS Annisa [4]: 53).
Kelima, kaum Yahudi suka berbuat dosa, menyebarkan permusuhan, dan memakan yang haram. Allah SWT berfirman, ”Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS Almaidah [5]: 62-63).
Keenam, kaum Yahudi suka mempermainkan ayat-ayat Allah SWT dan mengubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya sesuai keinginannya. Allah SWT berfirman, ”(Yaitu) di antara orang Yahudi, yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Dan mereka berkata, ”Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.” Dan (mereka mengatakan pula), ”Dengarlah,” sedang (engkau Muhammad sebenarnya) tidak mendengar apa pun. Dan (mereka mengatakan), ”Raa'ina” dengan memutarbalikkan lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, ”Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami,” tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah melaknat mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali.” (QS Annisa [4]: 46).
Ketujuh, kaum Yahudi suka membunuh para nabi hanya karena ajarannya tidak sesuai tradisi dan kebiasaan hidupnya. Allah SWT berfirman, ”Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi, tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS Ali Imran [3]: 112).
Kedelapan, kaum Yahudi suka membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat keadilan dan kebajikan. Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar) dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, sampaikanlah kepada mereka kabar gembira yaitu azab yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong.” (QS Ali Imran [3]: 21-22).
Dan masih banyak lagi karakter buruk yang melekat pada diri kaum Yahudi yang diterangkan dalam Alquran. Pantaslah bila Allah SWT menggambarkan mereka sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat. ”Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.” (QS Al-Furqan [25]: 44).
Oleh karena itu, tiada kata lain kecuali dengan merapatkan barisan (shaf), bergandengan-tangan, dan bersatu-padu dalam menyelesaikan permasalahan Palestina, termasuk mendukung sepenuhnya menuju Palestina merdeka. Wallahu a’lam.

•Kabar Cirebon, Opini, 19/11-2011.

Jumat, 09 Desember 2011

BALASAN AMAL SHALEH

Oleh: H Imam Nur Suharno MPdI

Nilai kebaikan diukur melalui amal shaleh. Amal shaleh merupakan implikasi dari keimanan seseorang. Amal shaleh memiliki tempat yang mulia dalam ajaran Islam. Karena itu, Islam memberikan balasan kebajikan untuk orang-orang yang istikamah dalam beramal shaleh.

Di antara balasan yang dijanjikan Allah SWT itu adalah, pertama, diberi pahala yang besar. ”Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal shaleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS al-Maidah [5]: 9).
Kedua, diberi kehidupan yang layak.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS an-Nahl [16]: 97).

Ketiga, diberi tambahan petunjuk. “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shaleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.” (QS Maryam [19]: 76).

Keempat, dihapuskan dosa-dosanya. “Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS al-Ankabut [29]: 7).

Kelima, dimuliakan hidupnya. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Isra’ [17]: 70).

Keenam, dijauhkan dari kegagalan. ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-Ashr [103]: 1-3).

Untuk itu, hanya amal shaleh yang berasal dari keimanan kepada Allah SWT, keyakinan akan keadilan-Nya, dan hanya berharap akan rahmat-Nya yang akan membawa manfaat dalam kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Republika Online, Hikmah, (10/12)

Kamis, 08 Desember 2011

BEBERAPA TUNTUNAN FIQIH PERJALANAN

Oleh Imam Nur Suharno
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan


KINI musim haji telah tiba. Jutaan kaum muslimin dari segala penjuru dunia berbondong-bondong menuju Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima, yaitu melaksanakan ibadah haji.
Di antara seremonial sebelum melakukan perjalanan jauh (syafar) para jemaah calon haji biasanya menyelenggarakan acara walimatussyafar, sebagai sarana untuk halal bihalal dengan para keluarga, tetangga, teman sejawat, dan masyarakat. Acara waliimatussyafar ini merupakan bagian dari rangkaian adab-adab Syafar, bukan bagian dari rangkaian ibadah haji.
Islam memberikan perhatian besar terhadap etika dalam melakukan syafar ini. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam adab-adab ber-syafar oleh orang-orang yang hendak melakukan perjalanan jauh, termasuk bagi para jemaah calon haji.
Pertama, sebelum berangkat meninggalkan rumah dianjurkan untuk salat dua rakaat yang dilanjutkan dengan berdoa agar urusannya dimudahkan. Kedua, orang yang akan melakukan Syafar hendaknya mengucapkan wada' (pamitan) kepada keluarga, tetangga dan para teman dekatnya. Tujuannya untuk meminta maaf dan minta agar didoakan. Ketiga, ketika tiba di rumah (pulang) dianjurkan agar menuju masjid terdekat untuk salat dua rakaat, dan demikian juga apabila masuk ke rumah dianjurkan pula salat dua rakat, lalu berdoa dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT.
Keempat, hendaknya orang yang akan melakukan Syafar mengembalikan barang-barang titipan dan tanggungan yang ada padanya kepada pemiliknya, karena Syafar merupakan pekerjaan yang berpotensi terjadinya musibah (kematian). Kelima, hendaknya menyiapkan perbekalan yang bersumber dari yang halal, dan meninggalkan nafkah kepada semua orang yang wajib dinafkahinya seperti istri, anak, dan orang tua. Keenam, hendaknya berpamitan dengan keluarga, saudara-saudara, dan teman-temannya dengan mendoakan mereka dengan doa yang diajarkan Rasulullah SAW, "Astaudi'ullaaha diinaka wa amaanataka wakhawaatiima 'amalika", aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amal perbuatanmu (HR Abu Dawud). Sedangkan orang yang akan ditinggalkan mengucapkan doa, "Zawwadakallaahu attaqwaa waghafaraka dzanbaka wawajjahaka ilalkhairi haitsu tawajjahta, semoga Allah membekali ketakwaan untukmu, mengampuni dosamu, dan memalingkanmu kepada kebaikan di mana saja kamu berada (HR Nasa'i).
Ketujuh, hendaklah orang-orang yang bersafar mengangkat salah seorang di antara mereka untuk menjadi amir dalam Syafar. Rasulullah SAW bersabda, "Jika tiga orang keluar untuk bersyafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpin rombongan" (HR Bukhari).
Kedelapan, hendaklah orang yang akan bersafar ketika meninggalkan rumahnya ia berdoa yang artinya, "Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (setan atau orang yang berwatak setan), atau tergelincir dan digelincirkan (orang lain), atau dari berbuat bodoh atau dibodohi" (HR Abu Daud).

Bertakbir

Kesembilan, hendaklah orang yang bersyafar bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) ketika melewati tempat yang tinggi. Kesepuluh, apabila takut terhadap gangguan manusia, maka hendaklah ia berdoa seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang artinya, "Ya Allah, sesungguhnya kami menjadikan Engkau sebagai penolong dalam menghadapi mereka, dan sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan-kejahatan mereka" (HR Abu Dawud).
Kesepuluh, hendaklah ia memperbanyak doa di dalam syafarnya dan memohon kepada Allah SWT kebaikan dunia dan akhirat. Karena safar merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah SAW bersabda, "Terdapat tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi padanya: doa orang yang didzalimi, doa orang yang bersafar, dan doa orang tua kepada anaknya" (HR Tirmidzi).
Kesebelas, apabila singgah di suatu tempat, hendaklah ia mengucapkan, yang artinya, "Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang Dia ciptakan" (HR Muslim). Kedua belas, apabila ia mendapatkan hari telah malam di dalam syafarnya, maka hendaknya ia mengucapkan, yang artinya, "Wahai bumi, Rabbku dan Rabbmu adalah Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu dan kejahatan apa yang ada di dalammu. Begitu pula dari kejahatan makhluk yang diciptakan di dalammu dan dari kejahatan sesuatu yang merayap di atasmu. Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan setiap singa, ular hitam besar, ular, dan kalajengking, serta dari kejahatan penduduk negeri ini, dan dari kejahatan orang tua dan anaknya" (HR Ahlu Sunan dan Muslim).
Ketiga belas, apabila takut atau gelisah karena kesepian, hendaklah mengucapkan, yang artinya, "Maha Suci Raja Yang Maha Suci, Rabb para malaikat dan ruh, telah diagungkan langit-langit dan bumi dengan kemuliaan dan kekuasaan" (HR Thabrani). Keempat belas, apabila tidur di awal malam hendaklah tidur berbantalkan lengan tangannya, dan jika tidur di akhir malam, hendaklah menegakkan lengan tangannya dan kepala di atas telapak tangannya, sehingga ia tidak ketiduran dan tertinggal salat subuh pada waktunya.
Kelima belas, hendaklah segera pulang kepada keluarga dan pulang ke keluarganya. Keenam belas, apabila hendak pulang atau kembali ke kampung halamanan, maka hendaklah dia bertakbir sebanyak tiga kali, dan mengucapkan doa berikut serta mengulang-ulanginya beberapa kali, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yang artinya, "(Kami) kembali, bertaubat, beribadah dan memuji kepada Tuhan kami" (HR Bukhari dan Muslim).
Ketujuh belas, hendaklah ia tidak kembali ke keluarganya di malam hari (HR Bukhari dan Muslim), dan hendaklah dia mengutus kepada mereka (keluarga) seorang yang memberitakan (kabar gembira) akan kedatangannya, sehingga tidak mengejutkan mereka.
Itulah beberapa tuntunan dalam fiqih perjalanan. Dengan memperhatikan fiqih safar tersebut diharapkan seseorang yang melakukan perjalanan jauh (safar) akan mendapatkan keberkahan dalam perjalanan dan ridha-Nya, termasuk dimudahkan dalam meraih predikat haji mabrur bagi jemaah calon haji. Semoga.***

*) Kabar Cirebon, Opini, 14 Oktober 2011

Rabu, 07 Desember 2011

KEUTAMAAN SHALAT DHUHA

Oleh Imam Nur Suharno

Shalat dhuha memiliki rahasia yang menakjubkan dengan bertaburkan keutamaan. Seandainya orang-orang yang melupakannya itu mengetahui keutamaannya, pastilah mereka tidak akan pernah melewatkan untuk shalat dhuha.
Di antara keutamaan itu adalah, pertama, sebagai pengganti sedekah anggota badan. Manusia memiliki 360 sendi, yang setiap sendinya hendaknya dikeluarkan sedekah pada setiap harinya. Tentu, hal ini merupakan pekerjaan yang sangat sulit untuk dilaksanakan. Akan tetapi, Rasulullah SAW menawarkan solusi praktis untuk mengatasi itu semua, yaitu dengan menggantinya dua rakaat shalat dhuha.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap sendi tubuh setiap orang di antara kamu harus disedekahi pada setiap harinya. Mengucapkan satu kali tasbih (Subhanallah) sama dengan satu sedekah, satu kali tahmid (Alhamdulillah) sama dengan satu sedekah, satu kali tahlil (La ilaha illallah) sama dengan satu sedekah, satu kali takbir (Allahu Akbar) sama dengan satu sedekah, satu kali menyuruh kebaikan sama dengan satu sedekah, dan satu kali mencegah kemungkaran sama dengan satu sedekah. Semua itu dapat dicukupi dengan melaksanakan dua rakaat shalat dhuha.” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Kedua, dibangunkan istana dari emas. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa shalat dhuha 12 rakaat, maka Allah SWT akan membangunkan baginya istana dari emas di surga.” (HR Ibnu Majah).
Ketiga, diampuni dosa-dosanya. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menjaga shalat dhuha, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun sebanyak buih di lautan.” (HR Ibnu Majah). Dalam hadis yang lain, “Barang siapa yang menunaikan shalat Subuh kemudian ia duduk dan tidak mengucapkan perkataan yang sia-sia, melainkan berdzikir pada Allah SWT hingga menunaikan shalat dhuha empat rakaat, maka dosa-dosanya akan terhapus bersih seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya, ia tidak punya dosa.” (HR Abu Ya’la).
Keempat, dicukupi kebutuhan hidupnya. Dalam hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, rukuklah (shalatlah) karena Aku pada awal siang (shalat dhuha) empat rakaat, maka Aku akan mencukupi (kebutuhan)-mu sampai sore hari.” (HR Tirmidzi).
Kelima, mendapat pahala setara ibadah haji dan umrah. Rasulullah SAW bersabda, ” Barang siapa yang shalat Subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir untuk Allah sampai matahari terbit kemudian (dilanjutkan dengan) mengerjakan shalat dhuha dua rakaat, maka baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya.” (HR Tirmidzi).
Keenam, masuk surga melalui pintu dhuha. Sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya di surga kelak terdapat pintu yang bernama adh-Dhuha, dan pada hari kiamat nanti akan terdengar panggilan, di manakah orang-orang yang melanggengkan shalat dhuha, ini adalah pintu kalian masuklah dengan rahmat Allah SWT.” (HR Thabrani).
Saudaraku, begitu banyak keutamaan yang Allah janjikan kepada orang-orang yang membiasakan shalat dhuha. Masihkah kita tidak tergiur untuk mengerjakannya? Janji Allah mana lagi yang akan kita ragukan? Wallahu a’lam.

•Republika, Hikmah, 7/12-2011

Rabu, 12 Oktober 2011

PENDIDIKAN PEMBIASAAN

Oleh Imam Nur Suharno MPdI
Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Dengan pendidikan, peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Untuk pengembangan potensi diri, peserta didik tersebut di atas, diperlukan pendidikan pembiasaan. Dalam syair dikatakan, “Anak akan tumbuh pada apa yang dibiasakan ayahnya kepadanya. Ia tidak dapat tunduk oleh akal, tapi kebiasaanlah yang dapat menundukkannya.” Dalam pepatah Arab dikatakan, ”Man Syabba ’Ala Syai’in, Syaaba ’Alaihi”, barangsiapa yang membiasakan sesuatu (di waktu mudanya), maka akan terbiasa melakukannya (di masa tuanya).
Karena itu, upaya untuk mengejawantahkan pendidikan karakter selain dengan keteladanan (qudwah hasanah) adalah melalui metode pembiasaan. Dalam proses pembiasaan, peserta didik perlu dihindarkan cara-cara kekerasan dalam pendidikan. Nabi SAW -Sang Pendidik Sejati- telah menegaskan dalam sabdanya, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika umurnya telah mencapai tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak mau shalat) jika telah berumur sepuluh tahun. Dan, pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR Abu Dawud).
Islam mengalokasikan waktu selama tiga tahun secara berturut-turut untuk mengajarkan shalat pada anak didik. Hal ini merupakan rentang waktu yang leluasa untuk membiasakan shalat. Jika masih belum terbiasa melakukannya selama rentang waktu pembiasaan tersebut, maka langkah tegas (bukan keras) harus diambil untuk menjamin mapannya kebiasaan itu.
Jika dihitung, perintah shalat berdasarkan hadits di atas, maka setiap orang tua menyuruh anaknya untuk mengerjakan shalat selama tiga tahun dan pada setiap waktu shalat akan menghasilkan jumlah hitungan yang sangat banyak. Hitungan itu adalah 5 waktu x 365 hari x 3 tahun = 5475. Sekiranya angka tersebut memiliki arti, maka itu menunjukkan pentingnya pengulangan dalam mendidik anak.
Islam tidak mengenal pola pendidikan dengan kekerasan. Sebaliknya, Islam sangat menekankan pola pendidikan kasih sayang. Alquran menegaskan, ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran [3]: 159).
Memberi hukuman (punishment) kepada anak didik memang dibenarkan dalam Islam. Meski demikian, sebaiknya kebolehan itu tidak dipahami secara mutlak. Namun, harus diiringi dengan batasan kuat dan jaminan yang mendapatkan hukuman tersebut memainkan perannya dalam memperbaiki anak didik tersebut.
Selain itu, sarana dari hukuman itu sendiri tidak dimaksudkan untuk melampiaskan kemarahan atau balas dendam kepada anak didik. Melainkan harus berada dalam koridor perbaikan. (Ahmad Ali Badawi dalam bukunya ”Ats-Tsawab wa Al-’Iqab fi At-Tarbiyyah”).
Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya ”Dua Puluh Kesalahan dalam Mendidik Anak”, memberikan beberapa syarat yang harus dipegang ketika hendak menerapkan hukuman fisik. Di antaranya, hendaknya hukuman fisik itu menjadi pilihan terakhir bagi pendidik, pendidik menghindari saat-saat marah dan emosi, bertahap dalam memberikan hukuman, dari yang ringan menuju yang lebih berat, tidak memukul kepala dan wajah dan lainnya.
Oleh karena itu, sebagai pendidik, ia perlu mengetahui karakteristik peserta didik sebagaimana diuraikan Suwarno, dalam bukunya ”Pengantar Ilmu Pendidikan”, yang menyebutkan bahwa: peserta didik bukan miniatur orang dewasa.
Ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa; peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin; peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, dan minat.
Selain itu, peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia (cipta, rasa, dan karsa); peserta didik merupakan subyek dan obyek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif; dan peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.
Pesan Imam Al-Ghazali, ”Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan menjaga akhlak yang baik.” Wallahu a’lam.


•Republika, Lenyepaneun, 12/10/2011

Jumat, 16 September 2011

Peran Guru dalam Pendidikan

DALAM UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 dikatakan, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dalam proses pembelajaran, guru dituntut untuk dapat membentuk kompetensi dan kualitas pribadi anak didiknya. Karenanya, dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan nasional diarahkan untuk menjadikan anak didik menjadi manusia-manusia yang sempurna, bertakwa, dan beriman kepada Tuhan yang Maha Esa, serta bertanggung jawab. Artinya, pendidikan kita diarahkan pada peningkatan keteladanan, ketakwaan, dan beriman. Tentu saja, arahnya pada pendidikan akhlak mulia.
Untuk mencapai hal itu muncul pertanyaan, sebenarnya peran apa saja yang harus dimiliki oleh seorang guru sehingga anak didik bisa berkembang optimal? Sejumlah pengamat dan ahli pendidikan telah meneliti peran-peran apa saja yang harus dimiliki seorang guru supaya tergolong kompeten dalam pembelajaran.
Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988), Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut adalah, pertama, guru sebagai pendidik. Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.
Kedua, guru sebagai pengajar. Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi.
Ketiga, guru sebagai pembimbing. Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreativitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.
Keempat, guru sebagai pelatih. Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih.
Kelima, guru sebagai penasehat. Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik, juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.
Keenam, guru sebagai pembaharu (inovator). Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita.

Teladan

Ketujuh, guru sebagai model dan teladan. Guru merupakan model atau teladan bagi peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitarnya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru.
Kedelapan, guru sebagai pribadi. Guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Guru bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani.
Kesembilan, guru sebagai peneliti. Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang di dalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti.
Kesepuluh, guru sebagai pendorong kreativitas. Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut. Kreativitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia kehidupan di sekitar kita.
Kesebelas, guru sebagai pembangkit pandangan. Dunia ini panggung sandiwara, yang penuh dengan berbagai kisah dan peristiwa, mulai dari kisah nyata sampai yang direkayasa. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada pesarta didiknya. Mengembangkan fungsi ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang fungsi ini.
Kedua belas, guru sebagai pekerja rutin. Guru bekerja dengan keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya.
Ketiga belas, guru sebagai pemindah kemah. Hidup ini selalu berubah dan guru adalah seorang pemindah kemah, yang suka memindah-mindahkan dan membantu peserta didik dalam meninggalkan hal lama menuju sesuatu yang baru yang bisa mereka alami. Guru berusaha keras untuk mengetahui masalah peserta didik, kepercayaan dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan serta membantu menjauhi dan meninggalkannya untuk mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai.
Keempat belas, guru sebagai pembawa cerita. Sudah menjadi sifat manusia untuk mengenal diri dan menanyakan keberadaannya serta bagaimana berhubungan dengan keberadaannya itu. Tidak mungkin bagi manusia hanya muncul dalam lingkungannya dan berhubungan dengan lingkungan, tanpa mengetahui asal usulnya. Semua itu diperoleh melalui cerita.
Kelima belas, guru sebagai aktor. Sebagai seorang aktor, guru melakukan penelitian tidak terbatas pada materi yang harus ditransferkan, melainkan juga tentang kepribadian manusia sehingga mampu memahami respon-respon pendengarnya, dan merencanakan kembali pekerjaannya sehingga dapat dikontrol.
Keenam belas, guru sebagai emansipator. Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan dan menyadari bahwa kebanyakan insan merupakan "budak" stagnasi kebudayaan. Guru mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari "self image" yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak dan rendah diri.
Ketujuh belas, guru sebagai evaluator. Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian.
Kedelapan belas, guru sebagai pengawet. Salah satu tugas guru adalah mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya, karena hasil karya manusia terdahulu masih banyak yang bermakna bagi kehidupan manusia sekarang maupun di masa depan.
Kesembilan belas, guru sebagai kulminator. Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi).***

*) Oleh Imam Nur Suharno, Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, dan Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat


Kabar Cirebon (Pikiran Rakyat Group) Selasa, 23 Agustus 2011

Senin, 12 September 2011

BERBURU LAILATULKADAR

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI*

Penulis Buku Panduan Lengkap Shalat Tahajud, dan Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Pada bulan Ramadan umat Islam berduyun-duyun memenuhi masjid maupun musala untuk menghidupkan Ramadan yang sarat dengan keutamaan. Salah satu keutamaan di bulan Ramadan adalah malam kemuliaan (lailatulkadar).
Sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya bulan ini (Ramadan) telah datang. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang menjauhinya maka akan dijauhkan oleh kebaikan seluruhnya dan tidak diharamkan baginya kecuali ‘mahrum’ (orang yang diharamkan kebaikan atasnya).” (Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a.).
Aam Amiruddin dalam bukunya Tafsir Alquran Kontemporer, menyebutkan empat pengertian alqadar. Pertama, menurut Al-Qurtubi, alqadar artinya penetapan. Pada malam itu ditetapkan ajal, rezeki, dan lainnya selama satu tahun (Q.S. Ad-Dukhan [44]: 3-4). Kedua, Al-Qasimy menyebutkan, alqadar artinya pengaturan. Pada malam itu Allah SWT mengatur strategi bagi Nabi-Nya untuk mengajak manusia kepada agama yang benar, demi menyelamatkan mereka dari kesesatan. Ketiga, makna lain dari alqadar adalah kemuliaan. Malam tersebut menjadi lebih mulia karena kemuliaan Alquran. Keempat, alqadar juga berarti sempit. Pada malam itu diturunkannya Alquran, begitu banyak malaikat yang turun ke bumi sehingga bumi serasa sempit karena penuh sesak oleh rombongan malaikat.
Lailatulkadar terjadi pada bulan Ramadan, pada suatu malam yang tak seorang pun mengetahui. Lailatulkadar merupakan rahasia Allah SWT, hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui. Namun, Rasulullah saw memberikan isyarat turunnya lailatulkadar itu pada malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, 29) di sepuluh hari terakhir pada setiap bulan Ramadan.
Abu Hurairah ra meriwayatkan, ”Rasulullah saw memberitahukan kami tentang lailatulkadar. Beliau berkata, ”Ia ada pada bulan Ramadan, di malam sepuluh terakhir, malam kedua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dua puluh sembilan, atau di malam terakhir bulan Ramadan. Barangsiapa yang melaksanakan qiyam pada malamnya dengan keimanan dan selalu bermuhasabah, Allah SWT akan mengampuni dosanya yang terdahulu dan yang akan datang.”
Dalam hadis lain, Rasulullah saw bersabda, ”Carilah lailatulkadar pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.” Lalu, beliau mendekatkan perkiraan itu dengan sabdanya, ”Carilah lailatulkadar pada witir (hari ganjil) pada sepuluh terakhir di bulan Ramadan.” Kemudian beliau lebih mendekatkan gambaran itu, ”Barangsiapa yang ingin mencarinya maka hendaklah ia mencarinya pada malam kedua puluh tujuh di bulan Ramadan.”
Samih Kariyyam dalam bukunya Ma’a Nabi fi Ramadhan, menjelaskan bahwa kata dalam surat Al-Qadar berjumlah tiga puluh kata, seperti jumlah hari di bulan Ramadan dan kata ’Hiya’ yang menyatakan lailatulkadar dalam firman Allah ’Salamun Hiya’ berada pada nomor ke dua puluh tujuh dari jumlah kata yang ada pada surat tersebut. Samiyah Kariyyam menambahkan, jumlah huruf pada kata lailatulkadar dalam bahasa Arab berjumlah sembilan huruf, sedangkan lailatulkadar disebutkan tiga kali dalam surat Al-Qadar. Berarti jika dikalikan (9 x 3) hasilnya adalah dua puluh tujuh.
Yang pasti, ada hikmah dibalik tidak dipastikannya kapan turunnya lailatulkadar tersebut.
Pertama, agar kita terus giat dan sungguh-sungguh beribadah, tidak hanya beribadah pada hari-hari tertentu dan meninggalkan ibadah di hari-hari yang lain.
Kedua, ketidakpastian tersebut memotivasi kita untuk tetap semangat beribadah (istikamah) sepanjang malam bahkan sepanjang bulan Ramadan.
Ketiga, dengan diisyaratkannya pada malam-malam ganjil, hal ini akan mendorong kita untuk lebih memaksimalkan pada sepuluh hari terakhir (al-asyrul awakhir).
Untuk itu, Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqh Shiyam, menjelaskan, jika penentuan Ramadan berbeda-beda antara satu negeri dengan negeri yang lain, malam ganjil pada suatu negeri terjadi pada malam genap pada negeri yang lain maka tindakan yang paling ihtiyath (hati-hati) adalah mencari lailatulkadar-nya pada setiap malam al-asyrul awakhir.
Di antara hadis yang menerangkan tanda-tanda tersebut, pertama: sabda Rasulullah saw, ”Lailatulkadar adalah malam yang cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari pada hari itu bersinar kemerahan pucat.” (H.R. Ibnu Khuzaimah).
Kedua, sabda Rasulullah saw, ”Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatulkadar lalu aku dilupakan, ia ada di sepuluh malam terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin bagaikan bulan menyingkap bintang-bintang. Tidaklah keluar setannya hingga terbit fajarnya.” (H.R. Ibnu Hibban).
Ketiga, Rasulullah saw bersabda, ”Sesunguhnya para malaikat pada malam itu lebih banyak turun ke bumi daripada jumlah pepasiran.” (H.R. Ibnu Khuzaimah). Keempat, Rasulullah saw bersabda, ”Tandanya adalah matahari terbit pada pagi harinya cerah tanpa sinar.” (H.R. Muslim).

Menjemput Lailatulkadar
Aktifitas apa saja yang hendaknya kita kerjakan untuk menjemput lailatulkadar tersebut? Pertama, menghidupkan malamnya dengan imanan dan ihtisaban, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang salat pada malam lailatulkadar berdasarkan iman dan ihtisab maka Allah akan mengampuni dosa-sosanya yang telah lalu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dengan dilandasi rasa keimanan dan mengharapkan ridha-Nya itulah seseorang akan merasakan ketenangan, kelapangan dada, dan kelezatan dalam ibadahnya.
Kedua, memperbanyak doa. Rasulullah saw mengajarkan doa, ”Allaahumma Innaka ’Afuwwun Tuhibbul Afwa Fa’fu ’Annii” Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Pemaaf, oleh karena itu maafkanlah aku. (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Ketiga, memperbanyak tadarus Alquran sebab malam lailatulkadar adalah malam turunnya Alquran. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam lailatulkadar. Dan tahukah kamu (Muhammad) apa itu lailatulkadar. lailatulkadar adalah malam yang lebih baik daripada seribu bulan.” (Q.S. Al-Qadar [97]: 1-3).
Keempat, beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aisyah ra meriwayatkan, “Ketika Rasulullah saw memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, beliau mengemas sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.”
Terkait pengaruh yang bisa dirasakan bagi orang yang mendapatkan lailatulkadar, seorang ahli tafsir berpendapat, jika seseorang mendapatkan lailatulkadar, orang tersebut akan merasakan semakin kuatnya dorongan dalam jiwa untuk melakukan kebajikan pada sisa hidupnya, sehingga ia merasakan ketenangan hati, kelapangan dada, dan kedamaian dalam hidup.
Oleh karena itu, bagi setiap yang menginginkan lailatulkadar agar menghidupkan malam itu dengan berbagai ibadah, seperti salat malam, tadarus Alquran, zikir, doa, dan amalan saleh lainnya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk bisa meraih lailatulkadar itu. Amin. Wallahu a’lam.



•Pikiran Rakyat, Renungan Jumat, 19/8/2011

Rabu, 20 Juli 2011

Muhammad, Inspirasi Pendidikan Karakter

TAK kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Kecintaan yang dilandasi keimanan akan melahirkan motivasi untuk meneladaninya. Salah satu aspek yang perlu terus digali dan diteladani dari kehidupan Muhammad SAW adalah yang berkaitan dengan pembangunan akhlak dan moral bangsa melalui pendidikan.
Hal ini tidak terlepas dari peran beliau sebagai "guru manusia". Beliau telah banyak melahirkan murid-muridnya (sahabat-sahabat) dalam berbagai disiplin ilmu, di samping juga berkarakter (akhlakul karimah). Misalnya, Umar bin Khattab sebagai ahli hukum dan pemerintahan, Abu Hurairah sebagai ahli hadits, Salman Al-Farisi sebagai ahli perbandingan agama (Majusi, Yahudi, Nasrani, dan Islam), dan Ali bin Abi Thalib sebagai ahli hukum dan tafsir Alquran.
Thomas Lickona dalam Pendidikan Karakter Berbasis Alquran karya Bambang Q-Anees dan Adang Hambali menjelaskan, pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Hal itu bisa diwujudkan bilamana pelaku perubahan (baca: guru) itu sendiri berkarakter.
Karena itu, menjadi pendidik karakter di zaman sekarang akan kehilangan kredibilitasnya ketika guru tidak mampu menunjukkan bahwa hidupnya sendiri adalah cerminan dari apa yang dikatakannya. Kalau Anda ingin mengajak siswa Anda berubah, Anda mesti juga percaya bahwa perubahan itu terjadi dalam diri Anda dulu. Sebab pada hakikatnya, pendidikan karakter adalah sebuah proses terus-menerus berdasarkan sebuah nilai yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan (Doni Koesoema A. dalam bukunya Pendidik Karakter di Zaman Keblinger).
Islam telah menegaskan, "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (QS ash-Shaf/61: 2-3).
Dalam ayat yang lain, "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (QS al-Baqarah/2: 44).
Lebih lanjut, Doni Koesoema A menyebutkan, beberapa prinsip dasar yang menjadi fondasi pengembangan diri guru sebagai pendidik karakter. Pertama, menghidupi visi dan inspirasi pribadi. Salah satu tantangan guru sebagai pendidik karakter dalam sebuah masyarakat yang ditandai dengan jungkir balik tatanan nilai adalah menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja profesionalnya. Sebab, dinamika masyarakat berkembang semakin pesat dan berlari dengan kecepatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, membuat guru bisa mengalami kekaburan visi dan kekeringan inspirasi. Ini terjadi karena nilai-nilai yang tampil dalam masyarakat tidak selamanya selaras dengan dinamika kinerja dalam dunia pendidikan.
Kedua, Nemo dat quod non habet. Tidak seorang pun memberikan dari apa yang tidak dimilikinya. Inilah prinsip kedua bagi perkembangan profesional guru sebagai pendidik karakter. Hakikat pekerjaan guru yang lebih banyak memberi ini lama kelamaan membuat guru kehabisan materi, energi dan kreativitas. Pengajaran bisa menjadi menjemukan, guru masuk dalam jebakan rutinitas dan kegiatan mengajar menjadi tidak menggairahkan. Jika guru tidak dapat lagi menemukan kegairahan dalam mengajar, bagaimana mungkin guru dapat menanamkan semangat belajar dalam diri siswanya? Oleh karena itu, guru sebagai pendidik karakter harus mau berubah dengan melakukan pengembangan diri.

Pembawa nilai

Ketiga, Verba movent exempla trahunt. Kata-kata itu menggerakkan, namun keteladanan lebih memikat. Guru menjadi agen pembawa nilai bukan terutama melalui kata-kata, melainkan melalui keteladanan. Inilah prinsip dasar pendidikan karakter. Nilai itu diajarkan karena dapat dipraktikkan dan ditemukan contohnya di dalam praksis. Karena itu, guru harus menjadi orang pertama yang mesti memberikan keteladanan.
Keempat, kritis menera nilai. Melalui perilaku dan tindakannya guru menegaskan dan merefleksikan nilai-nilai yang menjadi bagian hidupnya. Cermat mengkritisi perubahan tatanan nilai, menyaring dan menerapkan nilai-nilai baru dengan cara mengintegrasikannya pada dunia pendidikan merupakan Conditio sine qua non keberadaan guru sebagai pendidik karakter.
Kelima, relasi interpersonal-kontekstual. Pendidikan karakter berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai moral itu menjadi jiwa yang menghidupi sebuah komunitas. Oleh karena itu, relasi pendidikan dalam proses pendidikan karakter bersifat relasional-kontekstual yang terbentuk dalam komunitas. Dalam artian, setiap individu yang terlibat dalam dunia pendidikan adalah pendidik karakter bagi yang lain.
Keenam, integritas moral pendidik. Sebagai seorang profesional, guru semestinya mengedepankan kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Integritas moral seorang profesional pertama-tama ditentukan oleh pembelaannya dan pelayanannya terutama demi kepentingan publik. Para guru profesional semestinya mengutamakan kepentingan orang-orang yang dilayani dahulu, dibandingkan dengan kepentingan pribadi mereka sendiri. Karena itu, pengembangan integritas moral biasanya disertai dengan kesediaan untuk mengelola pengalaman pribadinya, mengatasi konflik personal yang dihadapinya, sehingga ia mampu menjadi sosok individu yang berintegritas ketika menampilkan diri di hadapan siswa.
Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang diutus kepada seluruh umat manusia untuk membangun akhlak dan moral bangsa. Dalam sabdanya, "Bu'itstu liutammima makarima al-akhlaqi, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia (HR. Baihaki).
Toto Suharto dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menjelaskan, dalam konsep Islam, Muhammad SAW adalah al-Muallim al-Awwal (pendidik pertama dan utama), yang telah dididik oleh Allah Rabb al-Alamin. Pendidik teladan dan percontohan ada dalam pribadi Rasulullah yang telah mencapai tingkatan pengetahuan yang tinggi, akhlak yang luhur, dan menggunakan metode dan alat yang tepat, karena beliau telah dididik melalui ajaran-ajaran yang sesuai Alquran.
Allah SWT menampilkan kepribadian Muhammad SAW sebagai gambaran utuh dalam sistem kehidupan, sebuah gambaran yang hidup dan abadi sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Ketika Aisyah RA ditanya tentang karakter Rasulullah SAW, ia menjawab, "Karakter (akhlak) Rasulullah adalah Alquran". (HR Baihaki).
Oleh karena itu, tidak salah jika Said Hawwa dalam bukunya Tazkiyatun Nafs, mengungkapkan, tidak mungkin kita dapat mengikuti karakter (akhlak) Muhammad SAW, kecuali dengan mempelajari Alquran. Dengan demikian, membangun pendidikan karakter sebagai upaya pembangunan akhlak dan moral bangsa baru bisa berhasil bila menjadikan Alquran sebagai pedoman operasionalnya dan perilaku Muhammad SAW sebagai landasan etikanya. Wallahu a'lam.***

* Imam Nur Suharno, Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat



Kabar Cirebon, Jumat, 01 Juli 2011

Selasa, 12 Juli 2011

MENANGKAL RADIKALISME

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, dan Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Istilah radikalisme kembali mencuat di kalangan masyarakat pasca-ledakan bom bunuh diri yang dilakukan M Syarif (MS), di masjid Adz-Dzikra, kompleks markas kepolisian Cirebon Jawa Barat beberapa waktu yang lalu. Tentu, perbuatan MS tersebut, apapun dalihnya, tidak dibenarkan dalam ajaran agama manapun.
Sikap nekad yang dilakukan MS itu telah melahirkan ketakutan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak disangka, tempat yang dirasa paling aman sekalipun, seperti masjid, tidak luput dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jika ketakutan ini terus menghantui, tidak menutup kemungkinan akan dapat melumpuhkan tatanan kehidupan masyarakat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembukaan musyawarah perencanaan pembangunan nasional di Wisma Bidakara, Jakarta, mengatakan gangguan keamanan yang disebabkan oleh terorisme, konflik horizontal, dan gerakan radikalisme bermotifkan agama telah menjadi ancaman serius. Untuk itu, masyarakat diajak bertanggung jawab untuk menyelamatkan karakter bangsa terutama generasi muda.
Radikalisme atau at-tatharruf, menurut Yusuf Al-Qardhawi, dalam bukunya Al-Shawah Al-Islamiyah Bainal Juhud Wal Tatharruf, secara bahasa adalah berada di pinggir, jauh dari tempat yang berada di tengah. Jadi, at-tatharruf pada asalnya untuk membahasakan materi seperti berdiri, duduk atau berjalan di pinggir. Kemudian dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat maknawi seperti radikalisme dalam agama, pemikiran dan tingkah laku.
Radikalisme adalah sikap yang jauh dari pemikiran jalan tengah dan moderat, dan selalu bersikap tekstual atas dalil-dalil yang ada tanpa berusaha memahaminya secara mendalam. Sedangkan, Islam adalah manhaj yang mengajarkan jalan tengah dalam segala hal; baik akidah, ibadah, maupun akhlak. Termasuk dalam menentukan peraturan hukum. Karenanya Islam senantiasa sesuai dengan waktu dan tempat hingga bumi ini kembali kepada Pencipta Allah.
Dengan demikian, radikalisme tidak sejalan dengan karakteristik Islam dan ajaran tengah yang menjadi ciri khasnya. Juga tidak sejalan dengan pemahaman benar Alquran dan hadits dari salafus shaleh. Intelektualitas radikalisme hanya akan menghasilkan kekerasan, kekacauan, kehancuran dan bencana yang merupakan fitnah paling berbahaya (Dr Musthafa Lutfi MA dalam bukunya Melenyapkan Hantu Terorisme dari Dakwah Kontemporer).
Muncul pertanyaan, apa faktor penyebab munculnya paham radikalisme tersebut? Dr Musthafa Lutfi MA dalam studi ilmiahnya memaparkan secara singkat sebab-sebab utama munculnya kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama.
Pertama, kejahilan terhadap hakikat ajaran Islam. Kejahilan yang dimaksud di sini adalah mengetahui sesuatu secara setengah-setengah, pada saat yang sama yang bersangkutan merasa telah menguasai ilmu secara menyeluruh padahal masih sangat banyak yang belum diketahuinya. Ia hanya mengetahui permukaan saja dan tidak memperhatikan apa yang ada di kedalamannya.
Kedua, melampui batas (al-ghulu) dalam pemikiran dan beragama. Ghulu dalam beragama ini maksudnya adalah bersikap keras dan berlebihan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran agama sehingga melampui batas. Bentuk ghulu dalam pemikiran dan beragama ini di antaranya adalah terlalu banyak mengharamkan sesuatu, mudah mengkafirkan kaum muslimin. Seperti, mudah mengkafirkan pemerintah dengan alasan tidak menjalankan hukum Allah, mengkafirkan bangsa-bangsa muslim dengan dalih mengikuti penguasa, mengkafirkan kaum muslimin karena ‘muwalaat zhahirah’ dukungan lahiriyah terhadap orang kafir, dan pengkafiran pegawai pemerintah.
Menurut hemat penulis, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guna menangkal gerakan radikalisme yang mengancam kehidupan dalam masyarakat. Pertama, menanamkan pendidikan agama Islam (PAI) sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.
Di keluarga, perlu diupayakan terus implementasi program Kemenag, yaitu mengaji bakda Maghrib sampai Isya’. Untuk di sekolah perlu ditinjau kembali jumlah jam mata pelajaran (matpel) PAI yang hanya dua jam per-pekan. Matpel PAI di sekolah yang di antaranya mencakup materi akidah, fiqih, akhlak, alquran, hadits, dan SKI, jelas tidak akan cukup waktu hanya dengan dua jam per-pekan. Untuk itu, selain dengan upaya penambahan jumlah jam mata pelajaran PAI, juga dengan mengintegrasikan mata pelajaran umum dengan PAI.
Sedangkan, untuk penanaman PAI di tengah masyarakat dapat diupayakan dengan merevitalisasi kurikulum materi majelis taklim yang ada di masyarakat. Sebab, disinyalir materi majelis taklim terkesan asal jalan tanpa kurikulum yang mamadai. Tentu hal ini menjadi “PR” tersendiri bagi para kyai, ajengan, ataupun ustadz sebagai tokoh masyarakat.
Kedua, menghidupkan kembali organisasi kepemudaan sebagai upaya untuk memberikan wadah kreatifitas para pemuda agar mereka terpantau dengan baik dan agar bakat mereka pun dapat tersalurkan. Ketiga, menghidupkan budaya ilmiah di kalangan mahasiswa. Karena salah satu obyek pencucian otak adalah kalangan mahasiswa, maka upaya untuk membentengi berkembangnya paham radikalisme di tengah-tengah perguruan tinggi (PT), hendaknya pihak PT memfasilitasi mahasiswa dengan mengadakan seminar-seminar yang bertemakan bahaya radikalisme, terorisme, dan sejenisnya.
Tentu, upaya menangkal paham radikalisme di atas tidak akan dapat terwujud dengan baik tanpa ada peran (kerja sama) dari semua pihak, terutama dari pemerintah. Wallahu a’lam.

• Republika, Lenyepaneun, 22/6/2011

Senin, 23 Mei 2011

ALTERNATIF KEGIATAN PASCA-UN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

”Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S. Asy-Syarh [94]: 7-8).
Hiruk pikut Ujian Nasional (UN) bagi siswa sekolah menengah atas (SMA)/ madrasah aliyah (MA)/ sekolah menengah kejuruan (SMK) dan sekolah menengah pertama (SMP)/ madrasah tsanawiyah (MTs) usai dilaksanakan. Kecemasan pun mulai mereda. Kini, tinggal menunggu hasilnya, lulus (L) atau tidak lulus (TL) karena UN 2011 tidak ada ujian ulangan. Tentu, dalam masa penantian inilah perasaan cemas akan tetap menghantui para siswa, orang tua, guru, bahkan kepala sekolah.
Secara fitrah, kecemasan dapat menimpa siapa saja. Namun, hanya orang-orang yang memiliki pemahaman tentang hakikat hasil atas usaha yang telah dilakukannya yang akan mampu mengelola kecemasan menjadi sebuah peluang kesuksesan berikutnya. Sebab, UN bukan akhir dari pendidikan, tetapi sebagai pintu pembuka untuk menggapai cita-cita. Tanpa UN, tidak akan bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pasca UN, kadang pihak sekolah, terutama orang tua mengalami kecemasan baru. Kecamasan itu biasanya berkaitan dengan model kegiatan yang harus diberikan kepada anak, apalagi masa jeda antara pelaksanaan UN dan pengumuman hasil UN 2011 ini cukup panjang. Muncul pertanyaan, kegiatan apa yang seharusnya diberikan kepada anak (siswa) pasca-UN?
Menurut hemat penulis, ada beberapa kegiatan alternatif sebagai upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah dan orang tua guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan terjadi pada siswa pasca-UN.
Pertama, membaca doa Al-ma’tsurat pagi dan sore. Dalam Al-ma’tsurat terdapat doa penghilang kecemasan. Dari Abu Said Al-Khudri RA, berkata, ”Suatu hari Rasulullah melihat Abu Umamah sedang duduk-duduk sendirian di masjid, lalu beliau bertanya, ’Mengapa kamu duduk-duduk di masjid di luar waktu salat?’ Abu Umamah menjawab, ’Karena kecemasan yang melanda hatiku dan utang-utangku, wahai Rasulullah’.” Rasulullah bersabda, ”Bukankah aku telah mengajarimu beberapa bacaan, bila kau baca niscaya Allah akan menghilangkan rasa cemas dari dirimu dan melunasi utang-utangmu.” Abu Umamah berkata, ”Betul wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”Ketika pagi dan sore ucapkanlah, ”Allahumma Inni A’udzubika Minal Hammi Wal Hazan, Wa A’udzubika Minal Ajzi Wal Kasal, Wa A’udzubika Minal Jubni Wal Bukhl, Wa A’udzubika Min Ghalabatid Daini Wa Qahrir Rijal.” (Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan kesedihan, dan aku berlindung pada-Mu dari ketidakberdayaan dan kemalasan, dan aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari problem keuangan dan tekanan orang lain. Lalu aku melakukan perintah tadi, maka Allah menghilangkan rasa cemas dari diriku).” (H.R. Abu Dawud).
Kedua, mengadakan pemantapan keimanan pasca-UN. Pemantapan lebih difokuskan pada kesiapan mental para siswa dalam menghadapi hasil akhir, lulus atau tidak lulus. Setelah usaha secara akademik dilakukan, disertai meditasi doa, hendaknya disempurnakan dengan meditasi tawakal sebagai upaya menyiapkan para siswa dalam menghadapi pengumuman UN. Takdir Ilahi-lah yang pada akhirnya menentukan, bukan karena kecerdasan serta kehebatan siswa dan para guru. Dia-lah yang Mahatahu yang terbaik untuk kita. Jika upaya ini dilakukan dengan baik, insya-Allah tidak akan terjadi kesalahan dalam mengekspresikan kelulusan, seperti ekspresi coret-coret baju, kebut-kebutan di jalan, dan mabuk-mabukan. Atau kesalahan dalam melampiaskan ketidaklulusan, seperti frustasi, stres, mengurung diri, dan bunuh diri.
Selain itu, yang perlu disiapkan siswa dalam menghadapi pengumuman UN adalah ekspresi syukur manakala hasilnya sesuai harapan (L), di antaranya dengan melakukan sujud syukur dan doa bersama. Dengan bersyukur ini akan mengantarkan siswa untuk meraih kesuksesan berikutnya, seperti kesuksesan dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bersyukur menjadi kunci pembuka meraih kesuksesan selanjutnya (Q.S. Ibrahim [14]: 7).
Sebaliknya, siswa pun dibekali dengan motivasi sabar. Artinya, siswa memiliki tahan uji dalam menghadapi hasil yang tidak sesuai dengan harapan (TL). Sabar akan menjadi obat penawarnya. Sabar bukan berhenti berusaha dan meratapi kegagalan, tetapi instrospeksi dan berusaha lebih baik agar kegagalan tidak terulang kembali (Q.S. Ali Imran [3]: 200). Walaupun tidak ada ujian ulangan, bagi siswa yang TL bisa mengkuti ujian paket B/C.
Ketiga, mengikuti bimbingan belajar (bimbel). Hal ini sebagai upaya persiapan siswa untuk masuk pendidikan ke jenjang berikutnya. Selain bimbel, siswa dapat mengikuti kursus bahasa Inggris, bahasa Arab, dan mata pelajaran lainnya. Hal itu dilakukan, selain sebagai upaya pembekalan siswa menghadapi seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) bagi siswa SMA/MA/SMK dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) bagi siswa SMP/MTs, juga untuk mengendalikan siswa dari hal-hal yang tidak diharapkan selama masa menunggu hasil UN.
Keempat, memasukkan anak (siswa) ke lembaga pendidikan pesantren. Hal itu dilakukan sebagai alternatif untuk membekali siswa mendalami ilmu-ilmu agama, pembinaan akhlakul karimah, memperbaiki bacaan, menjaga, dan menambah hafalan Alquran, serta aktivitas lainnya. Dengan memasukkan anak ke pesantren, diharapan keluar dari pesantren, walaupun hanya beberapa pekan, akan membawa pengaruh terhadap pembentukan karakter anak.
Kelima, melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah sebagai upaya untuk mencari sekolah yang terbaik bagi anak. Sebab, memilih sekolah yang tepat bukanlah keputusan yang mudah bagi orang tua ataupun anak. Sedikitnya ada enam hal yang perlu dicermati, selain kecermatan dalam melihat biaya pendidikan, yaitu mengetahui visi dan misi sekolah, kurikulum pembelajaran yang digunakan, kualitas guru sebagai arsitek peradaban, sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, lingkungan sekolah yang nyaman, dan prestasi (output) sekolah.
Tentu, kegiatan alternatif tersebut dapat terlaksana dengan baik jika ada kemauan dari semua pihak terutama anak (siswa) dan orang tua siswa. Semoga.

* Pikiran Rakyat, Opini, Jumat, 29 April 2011

Jumat, 29 April 2011

MENGAWAL KEJUJURAN DALAM UN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Ujian Nasional (UN) sudah berjalan. Pelaksanaan UN tingkat SMA/MA/SMK digelar pada 18-21 April 2011, tingkat SMP/MTs pada 25-28 April 2011, sedangkan untuk ujian sekolah (US) dilaksanakan sebelum UN. Dan penyelenggaraan UN 2011 hanya akan dilaksanakan sekali, artinya bahwa UN ulangan ditiadakan.
UN kali ini dilaksanakan dengan formula baru. Hal ini terkait dengan upaya perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan serta keningkatan kualitas UN. Kelulusan siswa dari sekolah atau madrasah ditentukan dari nilai gabungan rata-rata minimal 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Nilai gabungan merupakan perpaduan nilai UN dan nilai sekolah untuk setiap mata pelajaran UN.
Sedangkan nilai akhir diperoleh dari nilai gabungan antara nilai sekolah/madrasah (S/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN, dengan pembobotan 40 persen untuk nilai sekolah/madrasah dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60 persen untuk nilai UN.

Lulus Ujian
Peserta didik dinyatakan lulus ujian apabila telah memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan perolehan nilai sekolah/madrasah. Nilai sekolah/madrasah diperoleh dari gabungan antara nilai ujian sekolah/madrasah dan nilai rata-rata rapor semester I, II, III, IV, dan V untuk SMP/MTs/SMPLB dengan pembobotan 60 persen untuk nilai ujian sekolah/madrasah dan 40 persen untuk nilai rata-rata rapor.
Sementara itu, SMA/MA/SMALB/SMK, nilai sekolah/madrasah diperoleh dari gabungan antara nilai ujian sekolah/madrasah dan nilai rata-rata rapor semester III, IV, dan V dengan pembobotan 60 persen untuk nilai ujian sekolah/madrasah dan 40 persen untuk nilai rata-rata rapor (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 45 Tahun 2010).
Selain itu, pada UN 2011 ini diterapkan pola lima paket soal berbeda dalam satu kelas, ditambah satu paket yang juga berbeda untuk soal cadangan. Harapannya, dengan memperbanyak paket soal, tindakan peserta didik untuk saling mencontek atau adanya jual beli jalaban dari soal yang bocor, dapat diperkecil. Melalui cara inilah pemerintah mengawal kejujuran dalam pelaksanaan UN.
Intinya, lulus tidaknya siswa ditentukan empat hal, siswa sudah menyelesaikan seluruh program pendidikan; dinyatakan lupus dalam aspek moral; lulus ujian sekolah, dan lulus ujian nasional. Dari keempat penentu kelulusan itulah dapat dikatakan, bahwa sesungguhnya peserta didik dituntut untuk bekerja keras dan meningkatkan kejujuran, bukan hanya di dalam menyiapkan UN, tapi menyiapkan tiga syarat kelulusan lainnya. Tanpa kerja keras, mustahil peserta didik dapat lulus dari jenjang terakhir pendidikan yang dilalui.

Soal Kejujuran
Apakah dengan upaya pemerintah di atas, ketidakjujuran tidak akan terulang kembali? Tentu kita semua berharap dengan upaya tersebut tindak ketidakjujuran dapat diperkecil. Sebab, sungguh miris jika mengamati penyelenggaraan UN pada tahun-tahun yang lalu. Ketidakjujuran secara sistematis dalam UN terus berulang. Hal ini bisa dilihat, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kejujuran dalam pelaksanaan UN belumlah memuaskan. Di jenjang SMA/MA/SMK sebagai contoh, dari jumlah peserta 1.516.891 siswa, capaian tingkat kejujuran pelaksanaan UN tahun 2009 baru mencapai 17,19 persen kategori putih, 42,87 persen abu-abu, dan 39,95 persen hitam.
Sedikit lebih baik di jenjang SMP/MTs, di jenjang SMP/MTs dengan jumlah peserta 3.441.802 siswa, tingkat kejujuran pelaksanaan UN tahun 2009 mencapai 49,38 persen putih, 42,53 persen abu-abu, dan 8,10 persen berkategori hitam. (Republika, 25 Februari 2010).

Langkah Antisipasi
Untuk mengawal kejujuran dalam penyelenggaraan UN kali ini, ada beberapa upaya tambahan yang penulis ajukan. Pertama, pemberian sanksi tegas, dan tidak ada kompromi bagi pelaku pembocoran kunci jawaban UN, karena tindakan tersebut dalam kategori pembocoran dokumen negara. Jika pelaku kecurangan tersebut adalah siswa, maka sanksinya adalah dengan tidak meluluskannya dalam UN. Jika pelakunya adalah guru, maka sanksinya dengan pemberhentian dari jabatan keguruannya. Dan jika pelakunya atas nama lembaga sekolah, maka sanksinya adalah dengan mencabut kembali surat izin operasional pendidikannya.
Disinyalir, dalam setiap penyelenggaraan UN masih akan terus terjadi tindak ketidakjujuran tersebut. Jika sebelumnya sebagian sekolah membentuk ”tim sukses” yang bergerilya melakukan serangan fajar agar seluruh siswanya lulus, kini dimungkinkan sebagian sekolah yang memanipulasi nilai sekolah atau madrasah yang porsinya 40 persen, seperti yang dikhawatirkan oleh Komisi IV DPRD Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dimuat di Republika Online pada 18 Januari 2011. “Kami khawatir, kalau nilai-nilai semester siswa yang tidak memenuhi standar diubah menjadi rapor-rapor karbitan yang dibuat sekolah dan wali kelas menjadi nilai rapor yang normatif dan dapat lulus.”
Dengan sistem penyelenggaran UN seperti sekarang dimungkinkan akan terjadi dua sistem kecurangan sekaligus, yaitu membentuk ”tim sukses” sebagai upaya untuk mengamankan nilai setiap mata pelajaran UN dari nilai menimal 4,0; dan mengkarbit nilai rapor agar memiliki nilai akhir tinggi sebagai upaya untuk mendapatkan sekolah bergengsi pada jenjang pendidikan berikutnya.
Kedua, pembatalan kelulusan bagi siswa yang melakukan tindakan tercela (tidak bermoral) setelah dinyatakan lulus, seperti mencoret-coret baju, kebut-kebutan motor di jalan raya, pesta miras, dan berbagai tindakan tercela lainnya. Oleh karena itu, untuk mengendalikan tindak tercela tersebut pihak sekolah bekerja sama dengan orang tua siswa untuk melakukan langkah-langkah antisipatif, seperti pendampingan anak oleh orang tua masing-masing pada saat pengumuman UN; arahan tentang akhlak dari tokoh agama (bisa juga oleh guru agama di sekolah masing-masing) menjelang diumumkan hasil UN; pengumpulan seragam sekolah yang masih layak pakai untuk dibagikan kepada anak-anak sekolah yang kurang mampu; dan kegiatan-kegiatan antisipatif lainnya, termasuk pihak kepolisian agar melakukan penjagaan di jalan raya guna mengamankan tindakan kebut-kebutan motor pasca pengumuan kelulusan UN.
Ketiga, pengambilan sumpah kejujuran kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UN, mulai dari penyelenggara UN tingkat pusat sampai penyelenggara di tingkat sekolah, termasuk unsur guru, dan peserta UN itu sendiri.
Untuk itu, dengan ketegasan ini diharapkan dalam penyelenggaraan UN kali ini dapat terlaksana dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab. Ingat, ungkapan Guru Harfan –tokoh pendidik dalam film Laskar Pelangi- bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya didasari oleh deretan angka-angka dan fasilitas, tetapi oleh cerminan hati dan kebaikan budi pekerti anak didik sebagai buah dari proses pendidikan yang dilakukan secara tulus, kontinyu dan penuh pengabdian. Wallahu a’lam.

* Kabar Cirebon, Opini, Selasa, 19 April 2011

MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Pengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Sesungguhnya mahligai rumah tangga adalah refleksi kerja sama suami istri. Oleh karena itu, ia membutuhkan saling pengertian dan saling membantu di antara keduanya untuk dapat mewujudkan kebahagiaan yang didambakan.
Keluarga merupakan miniatur dari sebuah masyarakat. Jika baik keluarga, maka akan baik masyarakatnya. Sebaliknya, jika tidak baik keluarga, maka tidak baik pula masyarakatnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang strategis untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah, dan sekaligus daiyah, yang kemudian disingkat menjadi Samara.

Pembinaan Keluarga
“Bayti jannati”, rumahku adalah surgaku. Demikian sabda Rasulullah SAW, yang menggambarkan betapa strategisnya posisi rumah dan keluarga dalam kehidupan manusia. Ibaratnya, rumah dan keluarga yang Islami bagaikan surga kecil di dunia, dalam membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang).
Untuk membentuk keluarga yang penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang perlu dibuat prinsip keluarga, sehingga dengan prinsip tersebut dapat memacu terbentuknya keluarga yang kita dambakan, misalnya: rumahku adalah surgaku.
Membentuk keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah diawali dari pembentukan pribadi-pribadi yang Islami. Sehingga tidaklah terlalu repot mendirikan bangunan rumah tangga yang utuh (Islami). Berangkat dari sini, diharapkan lahirnya anak-anak yang kemudian hari mempunyai kepribadian seutuhnya. Pasangan ini sebelumnya bermodal tujuan dan tanggungjawab satu. Mereka beranjak dari visi dan misi yang sama. Dengan kata lain, mereka berangkat dari start Ilahi dan berakhir pada finish yang diridhai.


Pembinaan Anak
Anak merupakan batu pertama bagi pembentukan sebuah masyarakat, ia terlahir dalam keadaan fitrah, bagaikan lembaran kertas putih yang masih bersih. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu dan bapaknya-lah (yang akan berperan) mengubah anak itu menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR Bukhari).
Islam memerintahkan orang tua untuk mendidik anak dan memikulkan tanggungjawab itu di pundak mereka. Firman Allah SWT, ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66] : 6).
Ibnu Qayyim menegaskan tanggungjawab itu dengan mengutip perkataan ulama, ”Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap anak tentang orang tuanya. Maka barangsiapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Sesungguhnya, kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh para orang tua yang mengabaikan anak-anaknya dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan sunnah.”
Prof. Sartini (dalam buku ”Pembodohan Siswa Tersistematis” yang ditulis oleh M. Joko Susilo) memberikan bahan renungan bagi orang tua dalam mendidik anak supaya bisa tumbuh kembang dengan baik, yaitu: Jika anak banyak dicela, maka ia akan terbiasa menyalahkan. Jika anak banyak dimusuhi, maka ia akan terbiasa menentang. Jika anak dihantui ketakutan, maka ia akan terbiasa merasa cemas. Jika anak banyak dikasihani, maka ia akan terbiasa meratapi nasib. Jika anak sering diolok-olok, maka ia akan terbiasa menjadi pemalu. Jika anak dikitari rasa iri, maka ia akan terbiasa merasa bersalah. Jika anak serba dimengerti, maka ia akan terbiasa menjadi penyabar. Jika anak banyak diberi dorongan, maka ia akan terbiasa percaya diri. Jika anak banyak dipuji, maka ia akan terbiasa menghargai. Jika anak diterima dilingkungannya, maka ia akan terbiasa menyayang. Jika anak sering disalahkan, maka ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri. Jika anak mendapat pengakuan dari kiri kanan, maka ia akan terbiasa menetapkan arah langkahnya. Jika anak diperlakukan dengan jujur, maka ia akan terbiasa melihat kebenaran. Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, maka ia akan terbiasa melihat keadilan. Jika anak mengenyam rasa aman, maka ia akan terbiasa mengandalkan diri dan mempercayai orang sekitar. Jika anak dikerumuni keramahan, maka ia akan terbiasa berpendirian “sungguh indah dunia ini”.

Lima Pilar
Ada lima pilar yang harus diinternalisasikan dalam rumah tangga samara. Pertama, tegak di atas landasan ibadah. Keluarga yang baik (Islami) harus dibangun dalam rangka beribadah kepada Allah SWT semata. Sehingga kelak, jika terjadi permasalahan dalam keluarga, akan mudah menyelesaikannya, karena semua telah tunduk kepada peraturan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kedua, nilai-nilai Islam terinternalisasi secara kaffah. Internalisasi nilai-nilai Islam secara menyeluruh harus terjadi dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka senantiasa komit terhadap adab-adab Islami. Untuk itu, rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan sarana-sarana tarbiyah islamiyah yang memadai, agar proses belajar, menyerap nilai dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa diwujudkan.
Ketiga, hadirnya qudwah (keteladanan) yang nyata. Keteladanan yang nyata dari sekumpulan adab Islam yang hendak diterapkan. Orang tua memiliki posisi yang penting dalam hal ini. Sebelum memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran kepada anggota keluarga yang lain, pertama kali orang tua harus memberi keteladanan.
Kempat, masing-masing anggota diposisikan sesuai syariat. Islam telah memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila hal ini ditepati, akan mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan akhirat.
Kelima, terbiasakannya ta’awun (kerja-sama) dalam menegakkan adab-adab Islam. Betapa sulitnya membentuk suasana Islami apabila suasana kerjasama ini tidak terwujud, misalnya istri kegemarannya nonton TV dan ngerumpi, sementara anak-anaknya sehabis sekolah main dan bergaul entah dengan siapa, sedangkan suami tidak punya perhatian terhadap masalah rumah karena ia telah memiliki rumah baru di kantornya yang barangkali lebih mengasyikkan.
Kita panjatkan doa ke hadirat Allah SWT semoga Allah memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kaum muslimin yang telah berumah tangga, agar mereka dapat mencapai kesepahaman dan mengerahkan segala upaya untuk melaksanakan aturan, hukum, wasiat dan nasihat-nasihat yang termaktub di dalam Alquran dan Al-Hadits terutama yang menyangkut tentang pembinaan keluarga sakinah mawaddah dan rahmah.
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan dan keturunan sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan [25] : 74). Wallahu a’lam bish shawab.

* Kabar Cirebon, Opini, Jumat, 25 Maret 2011

Selasa, 22 Maret 2011

SALAT TAHAJUD MENJELANG UN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Kini, Ujian Nasional (UN) sudah di depan mata. UN tahun 2011 akan dilaksanakan satu kali. Artinya, UN ulangan ditiadakan. Pelaksanaan UN tingkat SMA/MA/SMK akan dilaksanakan pada 18-21 April 2011, tingkat SMP/MTs pada 25-28 April 2011, sedangkan untuk ujian sekolah (US) dilaksanakan sebelum UN.
Perlu diketahui, kelulusan siswa dari sekolah/madrasah dengan melihat nilai gabungan rata-rata minimal 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Nilai gabungan merupakan perpaduan nilai UN dan nilai sekolah untuk setiap mata pelajaran UN. Nilai akhir diperoleh dari nilai gabungan antara nilai sekolah/madrasah (S/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN, dengan pembobotan 40 persen untuk nilai sekolah/madrasah dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60 persen untuk nilai UN.
Kemudian, peserta didik dinyatakan lulus ujian apabila telah memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan perolehan nilai sekolah/madrasah. Nilai sekolah/madrasah diperoleh dari gabungan antara nilai ujian sekolah/madrasah dan nilai rata-rata rapor semester I, II, III, IV, dan V untuk SMP/MTs/SMPLB dengan pembobotan 60 persen untuk nilai ujian sekolah/madrasah dan 40 persen untuk nilai rata-rata rapor. Sementara itu, SMA/MA/SMALB/SMK, nilai sekolah/madrasah diperoleh dari gabungan antara nilai ujian sekolah/madrasah dan nilai rata-rata rapor semester III, IV, dan V dengan pembobotan 60 persen untuk nilai ujian sekolah/madrasah dan 40 persen untuk nilai rata-rata rapor (lihat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 45 Tahun 2010).
Melihat formula penilaian kelulusan di atas, sekolah atau madrasah selaku pengemban tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak perlu risau, apalagi panik. Jika sekolah tetap fokus dan konsisten dalam mengawal pembentukan generasi bangsa, tidak menutup kemungkinan sekolah akan mampu pula mengantarkan siswa siswinya lulus UN. Semoga.
Untuk menghindari rasa risau ataupun panik, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah guna mempersiapkan siswa dalam menghadapi UN dengan tetap fokus dalam mengajarkan materi pelajaran yang tidak di-UN-kan.
Pertama, menyelenggarakan kegiatan belajar tambahan yang biasanya disebut dengan bimbingan belajar (bimbel). Bimbel dilaksanakan di luar jam kegiatan belajar mengajar (KBM) reguler. Kegiatan bimbel harus terencana secara matang, terukur, dan terevaluasi secara rapi. Kegiatan bimbel ini harus betul-betul dapat menghadirkan suasana baru bagi siswa dalam proses belajar mengajarnya. Yang perlu diingat, jangan sampai dengan kegiatan bimbel ini malah menambah beban psikologi bagi siswa juga beban biaya bagi orang tua siswa..
Kedua, mengintegrasikan proses pembelajaran KBM reguler dan bimbel. Selain agar tidak terjadi tumpang tindih materi pelajaran yang diajarkan di KBM reguler dengan bimbel, juga untuk tetap diajarkan materi pelajaran yang tidak di-UN-kan. Sebab, kelulusan siswa tidak hanya ditentukan oleh UN.
Ketiga, fokus pada kisi-kisi UN. Dalam proses belajar mengajar materi pelajaran yang di-UN-kan, baik pada KBM reguler maupun bimbel harus tetap mengacu pada kisi-kisi soal UN. Dalam kisi-kisi tersebut tampak arah materi UN yang akan diujikan. Guru dan siswa wajib memahami kisi-kisi tersebut.
Keempat, optimalisasi klinik belajar. Kadang kala siswa tidak menyadari dirinya sedang dilanda kesulitan belajar. Guru BP, wali kelas, dan guru secara umum harus mampu membantu siswa dalam menaggulangi kesulitan belajar tersebut. Adapun permasalahan yang sering melanda siswa di antaranya, (1) rasa jenuh, rasa bosan, dan rasa mengantuk saat belajar; (2) kesulitan konsentrasi belajar; (3) rasa tidak suka kepada guru; (4) kesedihan hati; (5) rasa tidak percaya diri pada kemampuan sendiri; (6) rasa tegang menghadapi ujian; dan (7) rasa apatis terhadap sekolah.
Kelima, memperbanyak doa, terutama di sepertiga waktu malam. Selain dengan usaha (ikhtiar) secara maksimal guna menggapai cita-cita lulus UN dan rasa aman dari kepanikan, siswa hendaknya membiasakan diri salat malam (Tahajud). Permohonan yang mengiringi dalam salat malam akan mudah diijabah oleh Yang Maha Mengabulkan.
Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki, seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudu dan melakukan salat. Allah SWT berfirman kepada para Malaikat-Nya, ’Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?’ Mereka menjawab, ’Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu.’ Allah berfirman, ’Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.” (H.R. Ahmad).
Keenam, selain upaya-upaya tersebut, ada beberapa tips khusus untuk siswa yang hendaknya dilakukan dengan penuh konsisten, memahami standar kompetensi lulusan dan kisi-kisi soal secara baik; mengumpulkan soal UN lima tahun ke belakang; memperbanyak latihan soal; melakukan pengulangan latihan pada soal yang dianggap sulit; melakukan penyegaran materi dengan membaca buku yang terkait SKL dan kisi-kisi; mengikuti bimbel yang diselenggarakan sekolah maupun lembaga bimbingan di luar sekolah; mengikuti kegiatan try out (uji coba) yang diselenggarakan sekolah maupun pihak lain; mengikuti remedial dengan serius; menjaga kesehatan; mohon doa restu dari orang tua dan guru; serta mengikuti kegiatan malam bina iman dan takwa (MABIT) atau malam istigasah (MI) menjelang UN.
Meski demikian, bukan berarti hanya dengan upaya di atas kelulusan UN akan didapat, tetapi perlu keseimbangan yang kuat antara doa, usaha, dan tawakal. Keputusan akhir kelulusan UN bukan pada kemampuan siswa, melainkan pada takdir Ilahi yang menentukan. Wallahu a’lam.

* Pikiran Rakyat, Opini, Jumat, 18 Maret 2011

Rabu, 16 Maret 2011

Kehidupan Akhirat

Oleh Imam Nur Suharno


Kehidupan di dunia ini sebenarnya adalah kehidupan menuju akhirat. Ia adalah jembatan yang mesti dilalui oleh setiap manusia sebelum menempuh alam akhirat. Bahasa sederhananya, kehidupan dunia adalah medan persediaan dan persiapan untuk menuju kehidupan akhirat yang kekal sepanjang zaman. Ar-Raghib mengatakan, "Kekal adalah terbebasnya sesuatu dari segala macam kerusakan dan tetap dalam keadaan semula."

Kehidupan dunia ini merupakan jembatan penyeberangan, bukan tujuan akhir dari sebuah kehidupan, melainkan sebagai sarana menuju kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan akhirat. Karena itu, Alquran menamainya dengan beberapa istilah yang menunjukkan hakikat kehidupan yang sebenarnya.

Pertama, al-hayawan (kehidupan yang sebenarnya). "Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui." (QS al-Ankabut [29]: 64).

Kedua, dar al-qarar (tempat yang kekal). "Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal." (QS Ghafir [40]: 39).

Ketiga, dar al-jaza' (tempat pembalasan). "Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)." (QS an-Nur [24]: 25).

Keempat, dar al-muttaqin (tempat yang terbaik bagi orang yang bertakwa). "Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: 'Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?' Mereka menjawab: '(Allah telah menurunkan) kebaikan.' Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik, dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa." (QS an-Nahl [16]: 30).

Dengan demikian, setelah manusia mengetahui akan hakikat kehidupan yang sebenarnya, mereka akan memberikan perhatian yang lebih besar pada kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana ini. Sebab, "Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang." (QS ad-Dhuha [93]: 4).

Oleh karena itu, "Sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu. Mereka mengatakan: 'Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.' Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya." (QS al-Baqarah [2]: 25). Wallahu a'lam




Hikmah Republika, 16 Maret 2011

Rabu, 09 Februari 2011

Sebelum Kontrak Berakhir

Oleh Imam Nur Suharno ***

Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bertemu dengan Nabi Sulaiman AS. Ia datang dengan bentuk manusia sehingga tak seorang pun yang mengetahui kedatangannya selain Nabi Sulaiman. Saat itu Nabi Sulaiman sedang berkumpul dengan beberapa orang sahabatnya. Saat malaikat maut hendak pergi ia memandang salah seorang sahabat Nabi Sulaiman dengan pandangan yang aneh, lalu pergi.

Setelah malaikat maut pergi, sahabat Nabi Sulaiman itu bertanya, "Wahai Nabiyullah, mengapa ia memandangiku seperti itu?" Jawab Nabi Sulaiman, "Ketahuilah, dia itu adalah malaikat maut."

Kemudian sahabat Nabi Sulaiman itu berkata, "Wahai Nabi, tiupkanlah angin dengan kencang, sehingga angin itu membawaku ke puncak negeri India, sesungguhnya aku berfirasat buruk."

"Apakah engkau akan lari dari takdir jika maut akan menjemputmu?" tanya Nabi Sulaiman. "Sesunguhnya Allah memerintahkan kita untuk mencari sebab-sebabnya. Dan, aku yakin bahwa engkau akan mengabulkan permintaanku." kata sahabat Nabi Sulaiman itu. Kemudian, Nabi Sulaiman memerintahkan kepada angin untuk membawanya ke tempat yang diinginkan.

Selang beberapa saat malaikat maut datang, Nabi Sulaiman bertanya, "Apa urusanmu dengan salah seorang sahabatku, mengapa engkau pandangi dia seperti itu?"

Malaikat maut menjawab, "Aku memandanginya seperti itu dikarenakan ia tercatat didaftar kematian bahwa ia akan mati di sebuah negeri di India. Aku heran, bagaimana ia dapat pergi ke sana sedangkan ia ada bersamamu? Kemudian, di tempat yang telah ditentukan, pada waktu yang telah digariskan kulihat ia datang kepadaku dan kucabut nyawanya."

Kisah di atas mengingatkan kepada kita bahwa malaikat maut akan selalu mengintai siapa saja yang masa kontraknya akan berakhir di dunia ini. Jika masa kontraknya habis maka tak seorang pun dapat lari darinya. ".… Maka, apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya." (QS al-A'raf [7]: 34).

Dalam ayat lain Allah SWT menegaskan, "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya." (QS Qaf [50]: 19).
Lari kepada dokter bila sakit menimpa, lari kepada makan bila rasa lapar datang, lari kepada minum bila rasa haus menghampiri. Lalu, lari kepada siapa bila kematian akan menjemputmu?

Sungguh, tak seorang pun dapat lari darinya sekalipun berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS an-Nisa' [4]: 78).

Oleh karena itu, sebelum masa kontrak berakhir, "Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan." (HR Tirmidzi). Wallahu a'lam.



Hikmah republika, Rabu 09 Februari 2011

Kamis, 06 Januari 2011

SHALAT TAHAJUD

Oleh Imam Nur Suharno

Di antara ibadah sunah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW adalah shalat malam (Tahajud). Rasulullah mengerjakannya hingga kedua telapak kaki beliau bengkak-bengkak. Tahajud merupakan ibadah yang disyariatkan sebagai rahmat, tambahan kebaikan, dan keutamaan (QS Al-Muzzammil [73]: 1-4).

Shalat Tahajud menjadi jalan hidup dan amalan rutin bagi orang-orang saleh (HR Tirmidzi); orang-orang besar (takwa) (QS Adz-Dzariyat [51]: 17-18); 'Ibadurrahman (QS Al-Furqan [25]: 64); dan menjadi salah satu ciri orang-orang yang memiliki kesempurnaan iman (QS As-Sajdah [32]: 16-17).

Selain menjadi sumber energi keimanan, shalat Tahajud memiliki banyak manfaat yang dapat dirasakan secara langsung oleh orang-orang yang melaksanakannya. Pertama, menjaga kesehatan. Sabda Nabi SAW, "Lakukanlah shalat malam karena itu adalah tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala penyakit dari tubuh."

Kedua, merawat ketampanan/kecantikan. "Barang siapa yang banyak menunaikan shalat malam, maka wajahnya akan terlihat tampan/cantik di siang hari." (HR Ibnu Majah). Ketiga, meningkatkan produktivitas kerja. "Setan membuat ikatan pada tengkuk salah seorang di antara kalian ketika tidur dengan tiga ikatan dan setiap kali memasang ikatan dia berkata: 'Malam masih panjang, maka tidurlah.' Jika orang tadi bangun lalu berzikir kepada Allah SWT, maka terlepas satu ikatan, jika dia berwudhu, maka terlepas satu ikatan yang lainnya, dan jika dia melaksanakan shalat, maka terlepas semua ikatannya.
Pada akhirnya, dia akan menjadi segar dengan jiwa yang bersih. Jika tidak, dia akan bangun dengan jiwa yang kotor yang diliputi rasa malas." (HR Bukhari).

Keempat, mempercepat tercapainya cita-cita dan rasa aman. "Ketahuilah sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu dan melakukan shalat. Allah SWT berfirman kepada para Malaikat-Nya, "Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?" Mereka menjawab, "Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu." Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan." (HR Ahmad).

Kelima, melembutkan hati yang keras. Dari Abu Hanifah, "Saya tidak lebih dari satu ayat yang saya baca ketika melakukan shalat malam." Satu ayat tersebut dibaca berulang-ulang semalam suntuk, "Sesungguhnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit." (QS Al-Qamar [54]: 46). Karena itu, bersegeralah untuk menunaikan shalat Tahajud dan raih manfaatnya (balasannya) (QS As-Sajdah [32]: 17). Wallahu a'lam.

Dimuat HU Republika, Hikmah, 6/1-2011

Minggu, 02 Januari 2011

BERCANDA

BERCANDA
Oleh Imam Nur Suharno

Bercanda merupakan bagian dari kehidupan umat manusia. Tanpa canda, hidup terasa hampa dan monoton. Untuk itu, Islam memperbolehkan umatnya bercanda, asal tidak berlebihan. Rasulullah SAW pun pernah bercanda.

Dari Hasan RA, dia berkata, ada seorang perempuan tua yang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah supaya memasukkanku ke dalam surga." Rasulullah SAW menjawab, "Wahai Ummu fulan, sesungguhnya surga itu tidak dimasuki oleh orang yang sudah tua renta."

Perempuan itu pun berpaling sambil menangis. Lalu, Rasulullah SAW bersabda, "Beri tahu dia kalau dia tidak akan masuk surga dalam keadaan sudah tua renta. Sebab, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta, lagi sebaya umurnya." (QS Al-Waqiah [56]: 35-37). (HR Tirmidzi).

Islam telah memberikan tuntunan dalam bercanda agar canda yang dilakukan itu tidak berbalik menjadi dosa. Pertama, tidak berlebihan. Sebab, canda yang berlebihan akan menjatuhkan kehormatan dalam pandangan manusia. Kehormatan harga diri di dalam Islam sama dengan kehormatan darah dan harta. Kesadaran orang untuk tidak mencuri harta atau mencelakai orang lain, belumlah cukup tanpa adanya kesadaran untuk menjaga kehormatan orang. Sabda Nabi SAW, "Setiap Muslim dengan Muslim lain diharamkan darah, harta, dan harga dirinya." (HR Muslim).

Kedua, bukan cacian dan cemoohan. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)." (QS Al-Hujurat [49] :11).
Ketiga, tidak menjadikan canda sebagai kebiasaan. Kesungguhan dan serius adalah karakter pribadi Muslim, sedang kelakar hanya sekadar jeda, rehat dari kepenatan.

Keempat, isi canda bukan dusta dan tidak dibuat-buat. Sabda Nabi SAW, "Celakalah orang yang berbicara lalu mengarang cerita dusta agar orang lain tertawa, celakalah!" (HR Abu Dawud).

Kelima, tidak menjadikan aspek agama sebagai materi canda. Allah SWT menegaskan, "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa." (QS At-Taubah [9]: 65-66). Wallahu a'lam.
* Republika,Hikmah, 28 Desember 2010