Rabu, 20 Juli 2011

Muhammad, Inspirasi Pendidikan Karakter

TAK kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Kecintaan yang dilandasi keimanan akan melahirkan motivasi untuk meneladaninya. Salah satu aspek yang perlu terus digali dan diteladani dari kehidupan Muhammad SAW adalah yang berkaitan dengan pembangunan akhlak dan moral bangsa melalui pendidikan.
Hal ini tidak terlepas dari peran beliau sebagai "guru manusia". Beliau telah banyak melahirkan murid-muridnya (sahabat-sahabat) dalam berbagai disiplin ilmu, di samping juga berkarakter (akhlakul karimah). Misalnya, Umar bin Khattab sebagai ahli hukum dan pemerintahan, Abu Hurairah sebagai ahli hadits, Salman Al-Farisi sebagai ahli perbandingan agama (Majusi, Yahudi, Nasrani, dan Islam), dan Ali bin Abi Thalib sebagai ahli hukum dan tafsir Alquran.
Thomas Lickona dalam Pendidikan Karakter Berbasis Alquran karya Bambang Q-Anees dan Adang Hambali menjelaskan, pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Hal itu bisa diwujudkan bilamana pelaku perubahan (baca: guru) itu sendiri berkarakter.
Karena itu, menjadi pendidik karakter di zaman sekarang akan kehilangan kredibilitasnya ketika guru tidak mampu menunjukkan bahwa hidupnya sendiri adalah cerminan dari apa yang dikatakannya. Kalau Anda ingin mengajak siswa Anda berubah, Anda mesti juga percaya bahwa perubahan itu terjadi dalam diri Anda dulu. Sebab pada hakikatnya, pendidikan karakter adalah sebuah proses terus-menerus berdasarkan sebuah nilai yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan (Doni Koesoema A. dalam bukunya Pendidik Karakter di Zaman Keblinger).
Islam telah menegaskan, "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (QS ash-Shaf/61: 2-3).
Dalam ayat yang lain, "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?" (QS al-Baqarah/2: 44).
Lebih lanjut, Doni Koesoema A menyebutkan, beberapa prinsip dasar yang menjadi fondasi pengembangan diri guru sebagai pendidik karakter. Pertama, menghidupi visi dan inspirasi pribadi. Salah satu tantangan guru sebagai pendidik karakter dalam sebuah masyarakat yang ditandai dengan jungkir balik tatanan nilai adalah menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja profesionalnya. Sebab, dinamika masyarakat berkembang semakin pesat dan berlari dengan kecepatan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, membuat guru bisa mengalami kekaburan visi dan kekeringan inspirasi. Ini terjadi karena nilai-nilai yang tampil dalam masyarakat tidak selamanya selaras dengan dinamika kinerja dalam dunia pendidikan.
Kedua, Nemo dat quod non habet. Tidak seorang pun memberikan dari apa yang tidak dimilikinya. Inilah prinsip kedua bagi perkembangan profesional guru sebagai pendidik karakter. Hakikat pekerjaan guru yang lebih banyak memberi ini lama kelamaan membuat guru kehabisan materi, energi dan kreativitas. Pengajaran bisa menjadi menjemukan, guru masuk dalam jebakan rutinitas dan kegiatan mengajar menjadi tidak menggairahkan. Jika guru tidak dapat lagi menemukan kegairahan dalam mengajar, bagaimana mungkin guru dapat menanamkan semangat belajar dalam diri siswanya? Oleh karena itu, guru sebagai pendidik karakter harus mau berubah dengan melakukan pengembangan diri.

Pembawa nilai

Ketiga, Verba movent exempla trahunt. Kata-kata itu menggerakkan, namun keteladanan lebih memikat. Guru menjadi agen pembawa nilai bukan terutama melalui kata-kata, melainkan melalui keteladanan. Inilah prinsip dasar pendidikan karakter. Nilai itu diajarkan karena dapat dipraktikkan dan ditemukan contohnya di dalam praksis. Karena itu, guru harus menjadi orang pertama yang mesti memberikan keteladanan.
Keempat, kritis menera nilai. Melalui perilaku dan tindakannya guru menegaskan dan merefleksikan nilai-nilai yang menjadi bagian hidupnya. Cermat mengkritisi perubahan tatanan nilai, menyaring dan menerapkan nilai-nilai baru dengan cara mengintegrasikannya pada dunia pendidikan merupakan Conditio sine qua non keberadaan guru sebagai pendidik karakter.
Kelima, relasi interpersonal-kontekstual. Pendidikan karakter berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai moral itu menjadi jiwa yang menghidupi sebuah komunitas. Oleh karena itu, relasi pendidikan dalam proses pendidikan karakter bersifat relasional-kontekstual yang terbentuk dalam komunitas. Dalam artian, setiap individu yang terlibat dalam dunia pendidikan adalah pendidik karakter bagi yang lain.
Keenam, integritas moral pendidik. Sebagai seorang profesional, guru semestinya mengedepankan kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Integritas moral seorang profesional pertama-tama ditentukan oleh pembelaannya dan pelayanannya terutama demi kepentingan publik. Para guru profesional semestinya mengutamakan kepentingan orang-orang yang dilayani dahulu, dibandingkan dengan kepentingan pribadi mereka sendiri. Karena itu, pengembangan integritas moral biasanya disertai dengan kesediaan untuk mengelola pengalaman pribadinya, mengatasi konflik personal yang dihadapinya, sehingga ia mampu menjadi sosok individu yang berintegritas ketika menampilkan diri di hadapan siswa.
Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang diutus kepada seluruh umat manusia untuk membangun akhlak dan moral bangsa. Dalam sabdanya, "Bu'itstu liutammima makarima al-akhlaqi, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia (HR. Baihaki).
Toto Suharto dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menjelaskan, dalam konsep Islam, Muhammad SAW adalah al-Muallim al-Awwal (pendidik pertama dan utama), yang telah dididik oleh Allah Rabb al-Alamin. Pendidik teladan dan percontohan ada dalam pribadi Rasulullah yang telah mencapai tingkatan pengetahuan yang tinggi, akhlak yang luhur, dan menggunakan metode dan alat yang tepat, karena beliau telah dididik melalui ajaran-ajaran yang sesuai Alquran.
Allah SWT menampilkan kepribadian Muhammad SAW sebagai gambaran utuh dalam sistem kehidupan, sebuah gambaran yang hidup dan abadi sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Ketika Aisyah RA ditanya tentang karakter Rasulullah SAW, ia menjawab, "Karakter (akhlak) Rasulullah adalah Alquran". (HR Baihaki).
Oleh karena itu, tidak salah jika Said Hawwa dalam bukunya Tazkiyatun Nafs, mengungkapkan, tidak mungkin kita dapat mengikuti karakter (akhlak) Muhammad SAW, kecuali dengan mempelajari Alquran. Dengan demikian, membangun pendidikan karakter sebagai upaya pembangunan akhlak dan moral bangsa baru bisa berhasil bila menjadikan Alquran sebagai pedoman operasionalnya dan perilaku Muhammad SAW sebagai landasan etikanya. Wallahu a'lam.***

* Imam Nur Suharno, Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat



Kabar Cirebon, Jumat, 01 Juli 2011

Selasa, 12 Juli 2011

MENANGKAL RADIKALISME

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, dan Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Istilah radikalisme kembali mencuat di kalangan masyarakat pasca-ledakan bom bunuh diri yang dilakukan M Syarif (MS), di masjid Adz-Dzikra, kompleks markas kepolisian Cirebon Jawa Barat beberapa waktu yang lalu. Tentu, perbuatan MS tersebut, apapun dalihnya, tidak dibenarkan dalam ajaran agama manapun.
Sikap nekad yang dilakukan MS itu telah melahirkan ketakutan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak disangka, tempat yang dirasa paling aman sekalipun, seperti masjid, tidak luput dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jika ketakutan ini terus menghantui, tidak menutup kemungkinan akan dapat melumpuhkan tatanan kehidupan masyarakat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembukaan musyawarah perencanaan pembangunan nasional di Wisma Bidakara, Jakarta, mengatakan gangguan keamanan yang disebabkan oleh terorisme, konflik horizontal, dan gerakan radikalisme bermotifkan agama telah menjadi ancaman serius. Untuk itu, masyarakat diajak bertanggung jawab untuk menyelamatkan karakter bangsa terutama generasi muda.
Radikalisme atau at-tatharruf, menurut Yusuf Al-Qardhawi, dalam bukunya Al-Shawah Al-Islamiyah Bainal Juhud Wal Tatharruf, secara bahasa adalah berada di pinggir, jauh dari tempat yang berada di tengah. Jadi, at-tatharruf pada asalnya untuk membahasakan materi seperti berdiri, duduk atau berjalan di pinggir. Kemudian dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat maknawi seperti radikalisme dalam agama, pemikiran dan tingkah laku.
Radikalisme adalah sikap yang jauh dari pemikiran jalan tengah dan moderat, dan selalu bersikap tekstual atas dalil-dalil yang ada tanpa berusaha memahaminya secara mendalam. Sedangkan, Islam adalah manhaj yang mengajarkan jalan tengah dalam segala hal; baik akidah, ibadah, maupun akhlak. Termasuk dalam menentukan peraturan hukum. Karenanya Islam senantiasa sesuai dengan waktu dan tempat hingga bumi ini kembali kepada Pencipta Allah.
Dengan demikian, radikalisme tidak sejalan dengan karakteristik Islam dan ajaran tengah yang menjadi ciri khasnya. Juga tidak sejalan dengan pemahaman benar Alquran dan hadits dari salafus shaleh. Intelektualitas radikalisme hanya akan menghasilkan kekerasan, kekacauan, kehancuran dan bencana yang merupakan fitnah paling berbahaya (Dr Musthafa Lutfi MA dalam bukunya Melenyapkan Hantu Terorisme dari Dakwah Kontemporer).
Muncul pertanyaan, apa faktor penyebab munculnya paham radikalisme tersebut? Dr Musthafa Lutfi MA dalam studi ilmiahnya memaparkan secara singkat sebab-sebab utama munculnya kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama.
Pertama, kejahilan terhadap hakikat ajaran Islam. Kejahilan yang dimaksud di sini adalah mengetahui sesuatu secara setengah-setengah, pada saat yang sama yang bersangkutan merasa telah menguasai ilmu secara menyeluruh padahal masih sangat banyak yang belum diketahuinya. Ia hanya mengetahui permukaan saja dan tidak memperhatikan apa yang ada di kedalamannya.
Kedua, melampui batas (al-ghulu) dalam pemikiran dan beragama. Ghulu dalam beragama ini maksudnya adalah bersikap keras dan berlebihan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran agama sehingga melampui batas. Bentuk ghulu dalam pemikiran dan beragama ini di antaranya adalah terlalu banyak mengharamkan sesuatu, mudah mengkafirkan kaum muslimin. Seperti, mudah mengkafirkan pemerintah dengan alasan tidak menjalankan hukum Allah, mengkafirkan bangsa-bangsa muslim dengan dalih mengikuti penguasa, mengkafirkan kaum muslimin karena ‘muwalaat zhahirah’ dukungan lahiriyah terhadap orang kafir, dan pengkafiran pegawai pemerintah.
Menurut hemat penulis, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guna menangkal gerakan radikalisme yang mengancam kehidupan dalam masyarakat. Pertama, menanamkan pendidikan agama Islam (PAI) sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.
Di keluarga, perlu diupayakan terus implementasi program Kemenag, yaitu mengaji bakda Maghrib sampai Isya’. Untuk di sekolah perlu ditinjau kembali jumlah jam mata pelajaran (matpel) PAI yang hanya dua jam per-pekan. Matpel PAI di sekolah yang di antaranya mencakup materi akidah, fiqih, akhlak, alquran, hadits, dan SKI, jelas tidak akan cukup waktu hanya dengan dua jam per-pekan. Untuk itu, selain dengan upaya penambahan jumlah jam mata pelajaran PAI, juga dengan mengintegrasikan mata pelajaran umum dengan PAI.
Sedangkan, untuk penanaman PAI di tengah masyarakat dapat diupayakan dengan merevitalisasi kurikulum materi majelis taklim yang ada di masyarakat. Sebab, disinyalir materi majelis taklim terkesan asal jalan tanpa kurikulum yang mamadai. Tentu hal ini menjadi “PR” tersendiri bagi para kyai, ajengan, ataupun ustadz sebagai tokoh masyarakat.
Kedua, menghidupkan kembali organisasi kepemudaan sebagai upaya untuk memberikan wadah kreatifitas para pemuda agar mereka terpantau dengan baik dan agar bakat mereka pun dapat tersalurkan. Ketiga, menghidupkan budaya ilmiah di kalangan mahasiswa. Karena salah satu obyek pencucian otak adalah kalangan mahasiswa, maka upaya untuk membentengi berkembangnya paham radikalisme di tengah-tengah perguruan tinggi (PT), hendaknya pihak PT memfasilitasi mahasiswa dengan mengadakan seminar-seminar yang bertemakan bahaya radikalisme, terorisme, dan sejenisnya.
Tentu, upaya menangkal paham radikalisme di atas tidak akan dapat terwujud dengan baik tanpa ada peran (kerja sama) dari semua pihak, terutama dari pemerintah. Wallahu a’lam.

• Republika, Lenyepaneun, 22/6/2011