Selasa, 24 Juli 2012

MEMBUMIKAN KOMPETENSI GURU


Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI
Doses Sekolah Tinggi Agama Islam Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

            ”Guru, tak bisa tanpamu. Tak baik tanpamu, tak sukses tanpamu.” itulah sebentuk puisi yang disampaikan oleh pakar kepribadian, DR Leila Monabanieum, pada pelatihan guru tahap IV angkatan ke-3 dalam program CSR (Corporate Social Responsibility) Telkom-Republika, di Kandatel Telkom, Yogyakarta.
Guru memegang peranan utama dalam pendidikan. Tidak akan ada pendidikan tanpa guru. Banyak orang mengatakan bahwa sosok guru merupakan ujung tombak dalam pendidikan.
Karena perannya yang penting, guru dituntut untuk mengembangkan kompetensinya agar mampu mengemban amanah sebagai pendidik secara profesional. Sehingga guru mampu mengarahkan, memfasilitasi, dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
            Karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas guru. Terutama dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru menjelaskan bahwa kompetensi yang diperlukan oleh guru terbagi atas empat kategori.
            Pertama, kompetensi pedagogik. Dalam hal ini guru harus menguasai karakteristik siswa dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Mampu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, yaitu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran yang diampu. Memfasilitasi pengembangan potensi siswa untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan melakukan tindakan refleksi untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
            Kedua, kompetensi pribadi. Garu harus mampu bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi siswa dan masyarakat. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dan dewasa, arif, dan berwibawa. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru; dan menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
            Ketiga, kompetensi sosial. Dalam hal ini guru harus mampu bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; dan berkomunikasi dengan komunitas profesi dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
            Keempat, kompetensi profesional. Guru harus menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
            Menurut Journal Education Leadership (Maret 1994), ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional: memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarnya, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugasnya, dan menjadi bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Sedangkan Malcolm Allerd mengatakan, selain kelima aspek tersebut, sifat dan kepribadian seorang guru yang amat penting artinya bagi proses pembelajaran adalah adaptabilitas, antusiasme, kepercayaan diri, ketelitian, empati dan kerjasama yang baik.
            Untuk itu perlu diupayakan terus menerus upaya peningkatan kompetensi guru ini, agar kehidupan pendidikan di negeri ini semakin bergairah. Wallahu a’lam.

  • Fajar Cirebon, Opini, 22 Mei 2012

MENGELOLA UCAPAN DALAM ISLAM


Oleh H Imam Nur Suharno MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

            “Berhati-hatilah dalam bicara, jaga lidah”. Itulah sepenggal nasihat yang sering kita dengar untuk mengingatkan agar kita senantiasa berhati-hati dalam bicara. Tidak asal bunyi. Ada ungkapan lidah bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang diakibatkan dari keseleo lidah bisa lebih banyak dan menyakitkan dibandingkan dengan pedang.
            Terkait hal itu, Ketua Umum Keluarga Alumni Gajah Mada, Sultan Hamengku Buwono X menyesalkan atas ucapan yang dilontarkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Marzuki Alie yang menyatakan banyak koruptor di Indonesia merupakan lulusan perguruan tinggi negeri terkenal (Pikiran Rakyat, 9/5).
Islam telah mengajarkan pada umatnya agar senantiasa menata ucapan dan diamnya sehingga ia bisa meraih keuntungan dari pembicaraan yang dilakukan dan meraih kesalamatan dari sikap diam yang diambilnya.
Sabda Nabi SAW, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada seorang hamba yang berbicara sehingga meraih keberuntungan dan diam sehingga mendapatkan kesalamatan.” (Diriwayatkan Abu Syaikh dari Abu Umamah RA).
            Rasulullah SAW pun mengingatkan akan akibat buruk dari lidah ini. Bahkan hal inilah yang sangat beliau khawatirkan terhadap umatnya. Dari Sufyan bin Abdillah r.a, ia berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan. Beliau menjawab, “Katakanlah Tuhanku adalah Allah lalu istikamahlah. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku? Rasulullah SAW menunjuk lidahnya sendiri dan berkata, “Ini.” (HR Tirmidzi).
Bahkan, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau pun menjawab, “Dua hal yang kosong, lidah dan kemaluan.” (HR Tirmidzi).
            Oleh karena itu, kekuatan merawat lidah ini pun dikaitkan dengan keimanan kepada Allah SWT dan hari akhir. Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).
Artinya, keharusan menjaga lidah tidak hanya sekedar menjaga hubungan baik dengan sesama. Akan tetapi, lebih dari itu, keharusan menjaga lidah merupakan unsur ibadah dan akidah.
Fakhruddin Nursyam dalam bukunya Syarah Arbain Tarbawiyah menyebutkan, empat syarat perkataan yang mengandung manfaat, yaitu pertama, hendaknya perkataan itu ada tujuan yang melatarbelakanginya, yaitu untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Perkataan seseorang yang tidak memiliki tujuan hanya akan memperlihatkan kebodohannya, menyingkap aib dan kekurangannya, serta menjerumuskannya dalam kesalahan dan fitnah.
Oleh karena itu, perkataan seorang Muslim hendaknya muncul dari pemikiran yang jernih dan memiliki tujuan yang pasti, sehingga selamat dari kesalahan serta bisa menunjukkan kecerdasan dan keimanannya.
Disebutkan dalam sebuah atsar, “Lidah seorang yang cerdik berada di belakang akalnya. Apabila ingin berbicara, ia kembali kepada akalnya. Jika mendatangkan keuntungan ia akan berbicara, jika mendatangkan bahaya ia akan menahan diri. Sedangkan akal orang yang jahil berada di belakang lidahnya, ia akan selalu berbicara tentang semua hal yang terpampang di depannya.”
Kedua, hendaknya perkataan itu diucapkan pada tempat dan waktu yang tepat, sehingga mendatangkan manfaat yang besar. Pasalnya, perkataan yang tidak tepat waktu dan tempatnya, tidak banyak mendatangkan manfaat, bahkan bisa menimbulkan bahaya dan fitnah.
Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya senantiasa memperhatikan situasi dan kondisi yang melingkupinya ketika hendak mengeluarkan suatu perkataan. Disebutkan dalam atsar, “Setiap situasi dan kondisi memiliki perkataan tersendiri.”
Ketiga, hendaknya perkataan itu diucapkan sebatas kebutuhan. Segala sesuatu pasti memiliki batas dan kapasitas tertentu. Perkataan yang melebihi batas dan kapasitasnya hanya akan mengurangi manfaat dan pengaruhnya, di samping juga menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi yang mendengarkannya. Dalam atsar disebutkan, “Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang meringkas pembicaraannya dan mencukupkan diri sebatas kebutuhan.”
Keempat, memilih kata-kata yang hendak diucapkan. Karena lidah adalah identitas seseorang, hendaknya ia senantiasa memilih kata-kata yang tepat dan mengevaluasi semua perkataannya. Kepada pamannya, Abbas RA, Nabi SAW pernah berkata, “Aku kagum dengan ketampananmu.” Ia bertanya, “Apa ketampanan seorang lelaki, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Lidahnya.”
            Islam memberikan tuntunan dalam berbicara agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pertama, tidak banyak bicara atau diam. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang diam pasti selamat.” (HR Tirmidzi).
Kedua, mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak bermanfaat. Sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang menahan lidahnya pasti Allah menutupi auratnya.” (HR Ibnu Dunya).
Ketiga, berkata yang baik. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).
Keempat, takut kepada Allah SWT. “Sesungguhnya Allah ada di sisi setiap orang yang berkata, maka hendaklah takut kepada Allah, Allah mengetahui apa yang diucapkannya.” Ketahuilah, bahwa setiap ucapan yang keluar dari lidah akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaf [50] : 18).
Kemudian, DR Musthafa Dieb Al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, menambah bahwa etika orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam berbicara. Di antara adab-adab itu adalah, pertama, seorang muslim hendaknya senantiasa berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat, dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang tidak berguna tersebut di antaranya adalah ghibah, namimah, mencela orang lain.
Kedua, tidak banyak berbicara. Karena dengan banyak bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa jadi menjerumuskan kepada hal yang dilarang ataupun makruh. Sabda Nabi SAW, ”Janganlah kalian banyak bicara, yang bukan zikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan zikir kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang hatinya keras.” (HR Tirmidzi).
Ketiga, wajib berbicara ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi munkar. Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu.
Dengan demikian, jika setiap kita mampu mengendalikan lidah dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan, olok-olokan, adu-domba, hasutan, dan sejenisnya, niscaya tidak akan ada perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Wallahu a’lam.        

  • Pikiran Rakyat, Renungan Jumat, 18/5/2012

Minggu, 03 Juni 2012

MENJADI KEPALA SEKOLAHN YANG EFEKTIF


Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

            Institusi pendidikan merupakan sebuah lembaga yang bertugas mengantarkan peserta didik menjadi manusia berkualitas. Karenanya, semua kegiatan yang dilakukan di dalamnya selalu dimaksudkan untuk cita-cita luhur tersebut. Dalam praktiknya lembaga ini sering dihadapkan pada problem manajerial dan administratif, sehingga tujuan dan sasaran pendidikan yang setali tiga uang dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak optimal. Akibatnya, banyak lulusan yang dihasilkannya hanya menampilkan fenomena ironis dan justru menebalkan pesimisme kita terhadap lembaga pendidikan itu sendiri.
            Di era otonomi institusi pendidikan sekarang ini, tugas dan tanggung jawab mewujudkan sekolah bermutu tak lepas dari bagaimana kompetensi kepala sekolah dalam memimpin dan mengelola lembaganya bersama stakeholders. Sudah seharusnya kepala sekolah memahami dan menerapkan konsep-konsep ilmu manajemen yang berkembang dewasa ini.
            Keberhasilan pendidikan erat kaitannya dengan kualitas dan kompetensi orang-orang yang memimpin di lapangan, yaitu kepala sekolah. Karena itu diperlukan standar untuk menilai kompetensi kepala sekolah. Seorang kepala sekolah dikatakan kompeten apabila memenuhi lima standar kompetensi (UU Sisdiknas). Dalam implementasinya, standar ini hendaknya mendapat pengawasan ekstra dari para pengambil kebijakan pendidikan. Jika tidak, selamanya pendidikan kita tidak akan bergeser dari posisinya.
            Untuk menjadi kepala sekolah yang berkualitas (efektif), ia harus memiliki lima standar kompetensi, yaitu kompetensi profesional, wawasan kependidikan dan manajemen, kepribadian, sosial, dan kewirausahaan.
Pertama, kompetensi profesional. Kemampuan dalam menyusun perencanaan sekolah, mengelola kelembagaan sekolah, menerapkan kepemimpinan dalam pekerjaan, mengelola tenaga kependidikan, mengelola sarana dan prasarana, mengelola hubungan sekolah-masyarakat, mengelola sistem informasi sekolah, mengelola kesiswaan, mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar, mengelola ketatausahaan dan keuangan sekolah, menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan, menerapkan kemajuan IPTEK dalam pendidikan, menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, melakukan supervisi, dan melakukan evaluasi dan pelaporan.
            Kedua, kompetensi wawasan kependidikan dan manajemen. Kemampuan dalam menguasai landasan pendidikan, menguasai kebijakan pendidikan, dan menguasai konsep kepemimpinan dan manajemen pendidikan.
Ketiga, kompetensi kepribadian. Komponennya meliputi: bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlak mulia; memiliki etos kerja yang tinggi; bersikap terbuka; berjiwa pemimpin; mampu mengendalikan diri; mampu mengembangkan diri; dan memiliki integritas kepribadian.
Keempat, kompetensi sosial. Yaitu kemampuan bekerja sama dengan orang lain; berpartisipasi dalam kegiatan kelembagaan/sekolah; dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
Kelima, kompetensi kewirausahaan. Yaitu kemampuan dalam memberdayakan potensi sekolah secara optimal ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan produktif yang menguntungkan sekolah; dan mampu menumbuhkan jiwa kewirausahaan (kreatif, inovatif, dan produktif) di kalangan warga sekolah.
Selain kelima kompetensi di atas, seorang kepala sekolah yang efektif, menurut Soebagio Atmodiwiro, harus memiliki keterampilan teknis (technical skill), keterampilan hubungan manusia (human skill), keterampilan membuat konsep (conceptional skill), keterampilan pendidikan dan pengajaran, dan keterampilan kognitif.
Dengan demikian, untuk mewujudkan sekolah berkualitas, seorang kepala sekolah dituntut mampu bekerja sama dan sama-sama kerja dengan berbagai pihak.

Fajar Cirebon, Opini, 15/5/2012

Jumat, 01 Juni 2012

NILAI-NILAI SHALAT

Oleh H Imam Nur Suharno MPdI

Peristiwa Isra Mi’raj menjadi bukti perjalanan Nabi SAW menembus dimensi waktu dan tempat, dalam rangka menerima langsung perintah shalat dari Allah SWT, tanpa melalui malaikat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan shalat bagi kehidupan kaum Muslimin. Peringatan Isra Mi’raj merupakan momentum bagi kaum Muslimin untuk mengevaluasi kualitas dan mengambil pelajaran (ibrah) dari nilai-nilai shalat. Sehingga, shalat yang dilakukan mampu mengubah seseorang menjadi lebih bermakna dalam kehidupan pribadi dan sosial. Di antara nilai-nilai shalat itu adalah, pertama, shalat mendidik untuk menyucikan diri dari sifat-sifat buruk. ”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45). Kedua, shalat mendidik kesatuan dan persatuan umat. Orang shalat menghadap ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah. Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. Perasaan persatuan ini akan menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi antarsesama. Ketiga, shalat mendidik disiplin waktu. Setiap yang shalat selalu memeriksa masuknya waktu shalat, berusaha menunaikannya tepat waktu, sesuai ketentuan, dan menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan duniawi. Keempat, shalat mendidik tertib organisasi. Menyangkut tertibnya jamaah shalat yang baris lurus di belakang imam dengan tanpa adanya celah kosong (antara yang satu dengan jamaah di kanan kirinya) mengembalikan kaum Muslimin pada perlunya nidzam (tertib organisasi). Kelima, shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya walau sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintahnya, selama perintah itu tidak untuk bermaksiat. ”Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad). Keenam, shalat mendidik keberanian mengingatkan pimpinan. Jika imam lupa, makmum mengingatkannya (membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya jika melakukan kesalahan. Ketujuh, shalat mendidik persamaan hak. Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status sosial jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memperdulikan tinggi kedudukan maupun tua umurnya. Kedelapan, shalat mendidik hidup sehat. Shalat memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat, yang setiap harinya minimal 17 rakaat secara seimbang. Hal ini merupakan olahraga fisik dengan cara sederhana dan mudah gerakannya. Jika nilai-nilai shalat tersebut di atas diejawantahkan dalam kehidupan setiap Muslim, tidak menutup kemungkinan perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat terwujud. • Republika, Hikmah, 31/5/2012

Senin, 14 Mei 2012

Minggu, 22 April 2012

MEMBANGUN BUDAYA JUJUR DAN BERPRESTASI


Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI 

Praktisi Pendidikan, dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat


Seremonial penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) kembali mewarnai dunia pendidikan di negeri ini. Meskipun pro dan kontra tentang UN masih menjadi permasalahan yang tak kunjung reda, pemerintah telah berupaya memperbaiki penyelenggaraan UN. Kredibilitas UN terus ditingkatkan dengan melakukan pengawasan ketat dan berlapis. Permasalahan dalam penyelenggaraan UN yang terjadi tahun lalu, seperti bocornya soal, aksi menyontek massal, hingga percobaan bunuh diri bagi yang tidak lulus UN, hendaknya menjadi bahan renungan kita bersama. Sebenarnya, penyelenggaraan UN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: a) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; d) akreditasi satuan pendidikan; dan e) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Kejujuran UN Nilai-nilai kejujuran menjadi sesuatu yang langka di negeri ini. Tidaklah efektif diadakan ikrar kejujuran dalam penyelenggaraan UN. Seakan kejujuran hanya sebatas seremonial jelang penyelenggaraan UN saja. Yang terpenting adalah meningkatan proses pengawasan dalam ruang ujian dan memberikan tindakan tegas bagi siapa saja yang melakukan kecurangan baik dari kalangan peserta didik maupun para penyelenggaran UN itu sendiri. Dan yang lebih penting lagi adalah penanaman nilai-nilai kejujuran dalam proses pembelajaran. Misalnya melalui pengetatan pengawasan dalam penyelenggaraan ulangan harian (UH), ulangan tengah semester (UTS), dan ulangan akhir semester (UAS). Selain itu, perlu penguatan materi nilai kejujuran melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), seperti penambahan materi Aqidah. Misalnya, dengan menanamkan materi ‘Ma’iyyatullah” (kebersamaan Allah SWT). Kesertaan Allah pada diri manusia hanya dapat dirasakan oleh mereka yang beriman kepada Allah. Merasakan kesertaan Allah adalah sebagai hasil dari “Makrifatullah” (mengenal Allah SWT). Dengan mengenal Allah maka akan menghasilkan suatu pemahaman dan pengenalan yang baik, kemudian membuahkan hasil berupa sikap adanya keikutsertaan Allah atas segala perbuatan manusia. Dan orang yang merasakan kesertaan Allah dalam hidupnya akan merasakan hidup yang baik dan tentram. Selain itu hidupnya terjaga dari kemaksiatan, seperti kecurangan dalam ujian, karena merasakan adanya pengawasan Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18). Hanya orang-orang yang memiliki kemantapan imanlah yang dapat merasakan adanya muraqabatullah secara baik dan benar. Dan mereka berhak mendapatkan nashrun minallah (pertolongan dari Allah). Allah SWT berfirman, “Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah berserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 194). UN Berprestasi Dengan penanaman nilai-nilai kejujuran semenjak pertama peserta didik menginjakkan kakinya di lingkungan pendidikan, maka dapat membentuk karakter mereka. Yang pada akhirnya proses tersebut dapat mengantarkan pada budaya berprestasi dalam lingkungan pendidikan. Dan menjadi lenyaplah budaya ‘SKS’ (sistem kebut semalam) dari lingkungan pendidikan. Jika budaya kejujuran dan mental berprestasi ini diejawantahkan dalam lingkungan pendidikan sedini mungkin, maka tidak menutup kemungkinan akan dapat menghasilkan UN yang berprestasi. Semoga. Selain itu, dengan budaya jujur dan berprestasi ini akan dapat menyingkirkan rasa cemas setiap menjelang UN, yang pada akhirnya lembaga pendidikan menjadi fokus dalam melaksanakan amanah pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Semoga. • Radar Cirebon, Wacana, 19/4/2012

Minggu, 01 April 2012

BERDAKWAH MELALUI TULISAN

Oleh H Imam Nur Suharno MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Salah satu sarana dakwah yang belum mendapatkan perhatian dari kalangan para dai adalah berdakwa melalui tulisan. Sangat sedikit para dai yang mau mengambil sarana ini. Padahal dakwah melalui tulisan tidak kalah pentingnya dari dakwah melalui ceramah. Untuk itu melalui tulisan ini penulis mengajak kepada diri pribadi dan juga para kader dai lainnya untuk memulai memanfaatkan sarana dakwah melalui tulisan ini.
Kita sering menyaksikan para dai yang tampil memukau di depan audiensnya. Namun, sedikit sekali para dai yang mau menuliskan materi ceramahnya itu dalam bentuk artikel ataupun buku. Padahal kemampuan berceramah seseorang tidak akan bisa memukau audiens, bahkan akan sangat dangkal isi materi ceramahnya bila tidak diimbangi dengan kemampuan membaca. Karena membaca merupakan pintu gerbang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Aktifitas ceramah harus dimulai dari membaca. Menulis pun juga dimulai dari membaca. Jadi aktifitas ceramah dan menulis harus diawali dengan aktifitas membaca. Karena itu, Raghib as-Sirjani dalam bukunya Spiritual Reading, menyatakan bahwa setengah jam setelah membaca lima puluh persen isi buku akan hilang dari ingatan, dan setelah dua puluh empat jam berlalu pembaca akan melupakan delapan puluh persen isi buku.
Karena itu, “ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” itulah pesan Ali bin Abi Thalib salah seorang sahabat Nabi SAW. Lebih khusus, asy-Syahid Hasan al-Banna berpesan kepada para dai, “Hendaknya engkau pandai membaca dan menulis.”
Alangkah indahnya jika para dai itu menuliskan bahan ceramahnya, lalu dikumpulkan sehingga lambat laun akan menjadi sebuah kumpulan ceramah, yang pada akhirnya lembaran-lembaran bahan ceramah itu dapat dikumpulkan menjadi sebuah buku yang dapat dinikmati kapan saja oleh orang lain.
Untuk itu mulailah menulis. Menulis adalah tindakan konkret dan praktis. Agar mampu menulis, seseorang harus melakukannya. Hanya dengan menulis seseorang dapat belajar menulis. Tanpa melakukannya, seseorang tidak akan pernah mampu menulis dengan baik.
Bambang Trim dalam bukunya Menjadi Power Da’i dengan Menulis Buku, memberikan tiga tips aktivitas yang bisa memunculkan stimulan dan gagasan untuk menulis, yaitu banyak membaca; banyak berjalan; dan banyak silaturahmi. Karena itu, gabungkan ketiga langkah tersebut sebagai kebiasaan sehari-hari.
Lebih lanjut, Bambang menyebutkan beberapa mitos yang dapat melemahkan semangat untuk menulis. Pertama, menulis membutuhkan mood (menulis adalah sebuah azzam yang bias mengalahkan mood). Kedua, ide buruk akan tertutupi oleh tulisan yang bagus (ide buruk akan tetap tampak buruk di tangan seorang penulis profesional sekalipun). Ketiga, bahasa indah dan menarik dibuat dengan puitis (terkadang bahasa yang terlalu berbunga-bunga malam membosankan). Keempat, bahasa yang rumit lebih bergengsi dan intelek (yang kita cari bukan gengsi, melainkan pemahaman). Kelima, menulis adalah permainan kata-kata (kata-kata yang dipermainkan adalah bagian dari kebohongan). Keenam, para penulis adalah orang yang memiliki bakat menulis (tidak ada bakat menulis yang dibawa sejak lahir).
Sebenarnya aktifitas menulis itu menjadi tradisi para ulama terdahulu. Kita mengenal Imam Syafii, Imam Hambali, Imam Malik, Imam Ahmad, dan imam-imam lainnya, termasuk ulama terkemukan saat ini Yusuf Qaradhawi bukan karena kita bertemu mereka, akan tetapi melalui karya-karya tulisnya yang ada dalam kitab-kitab mereka. Dengan ketajaman pena itulah mereka akan selalu terkenang sampai akhir zaman.
Ibnu Taimiyah telah menulis 300 buku dari berbagai disiplin ilmu, Abu Amru bin Al-Bashri menulis buku yang jumlahnya sampai memenuhi rumahnya hingga hampir mencapai atap. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri memiliki sekretaris pribadi dari kalangan sahabat sejumlah 65 orang (Lihat dalam buku ”65 Sekretaris Nabi SAW”, karya Prof Dr Muhammad Mustafa Azami).
Al-Jahidz pernah mengutip ucapan seorang penyair, ”Mereka meninggal dan tersisalah apa-apa yang mereka perbuat, dan seakan-akan peninggalan abadi mereka hanyalah apa yang mereka tulis dengan pena.”
Saking pentingnya dakwah melalui tulisan ini sampai Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya, ”Barangsiapa meninggal dan warisannya berupa tinta dan pena (yang dituliskan dalam buku) akan masuk surga.”
Maha Benar Allah yang telah berfirman, ”Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukanlah orang gila.” (QS al-Qalam [68]: 1-2). Wallahu a’lam.


•Media Pembinaan, No 11/XXXVIII/Februari 2012