Selasa, 03 Januari 2012

AMALAN PELANCAR REZEKI

Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI

Setiap orang pasti mendambakan rezeki yang halal, baik, berkah, dan melimpah. Tentu, dengan rezeki tersebut seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan untuk mendapatkannya, selain dengan bekerja keras secara ikhlas, tuntas dan cerdas, seseorang harus mengetahui amalan-amalan apa saja yang dapat memperlancar turunnya rezeki.
Di antara amalan-amalan tersebut adalah, pertama, memperbanyak istighfar dan bertaubat. “Maka Aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12).
Kedua, meningkatkan ketakwaan. “....Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS At-Thalaq [65]: 2-3).
Ketiga, gemar menyambung tali silaturrahim. “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahim.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat, gemar mendermakan harta. “Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba’[34]: 39).
Kelima, membiasakan ibadah dengan benar. ”Sesungguhnya Allah berfirman, ”Wahai anak Adam, sibukkanlah untuk beribadah kepada-Ku, niscara akan Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku tutup kefakiranmu. Jika tidak kamu lakukan niscaya akan Aku penuhi pada kedua tanganmu kesibukan dan tidak Aku tutup kefakiranmu.” (HR Ahmad).
Keenam, menunaikan ibadah haji dan umrah. ”Lakukanlah haji dan umrah, karena keduanya akan menghapus kefakiran dan dosa sebagaimana api menghilangkan karat besi, emas, dan perak.” (HR Ahmad).
Ketujuh, hijrah di jalan Allah (fisabilillah). ”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’ [4]: 100).
Kedelapan, tawakkal kepada Allah. ”Seandainya kalian mau bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, pasti Allah akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rezeki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Kesembilan, mendawamkan shalat Dhuha. “Barangsiapa shalat Dhuha enam rakaat, ia akan dicukupi kebutuhannya hari itu.” (HR Thabrani dan Abu Darda’).
Kesepuluh, menafkahi penuntut ilmu. Anas bin Malik RA berkata, ”Dulu ada dua orang bersaudara pada masa Rasulullah SAW. Salah seorang menuntut ilmu pada majelis Rasulullah SAW, sedangkan yang lainnya bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Rasulullah SAW (lantaran ia memberi nafkah kepada saudaranya itu). Maka Nabi SAW bersabda, ”Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia.” (HR Tirmidzi). Wallahu a’lam.

•Republika Online, Hikmah, 4/1/2012

Minggu, 01 Januari 2012

DUNIA DAN ILUSINYA

Oleh H Imam Nur Suharno MPdI

Nilai kehidupan dunia tidak diukur dari melimpahnya harta, tingginya jabatan, ataupun kesenangan duniawi belaka, semua itu bersifat sementara. Karena itu, janganlah menjadikan semua itu sebagai tujuan akhir dari kehidupan dunia.
Alquran menggambarkan kehidupan dunia dengan berbagai sebutan yang menunjukkan hakikat kehidupan dunia sebenarnya agar manusia tidak terlena dalam urusan dunia, dan melupakan kehidupan akhirat.
Pertama, al-la’b wa-lahwu (permainan dan senda gurau). Kesenangan dunia hanya sebentar, tidak kekal. Untuk itu, jangan mudah terpedaya olehnya, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat. Sesungguhnya kenikmatan dunia itu hanya sebagai penghilang kepedihan, dan tidak lebih dari permainan dan senda gurau belaka.
Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’am [6]: 32).
Kedua, al-zinah (perhiasan). Kehidupan dunia berupa wanita, keturunan, harta dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, sawah ladang, dan sejenisnya hanyalah sebuah perhiasan, bukan suatu nilai. Semuanya adalah sarana, bukan tujuan.
Allah SWT berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran [3]: 14).
Ketiga, al-ghurur (tipuan). Penggambaran dunia dengan al-ghurur, karena dunia dapat menundukkan manusia, membuat mereka condong kepadanya, dan lalai dari apa yang seharusnya dipersiapkan untuk menghadap Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran [3]: 185).
Keempat, al-aradh (harta benda). Harta benda tidak akan kekal dan tidak akan abadi. Kehidupan dunia datang hanya untuk memberi peringatan akan ketidakabadiannya (QS Annisa’ [4]: 94). Rasulullah SAW menegaskan, ”Kekayaan sejati bukanlah terletak pada banyaknya harta benda, akan tetapi terletak pada kelapangan hati.” (HR Muslim).
Para penghuni dunia selalu ingin saling berbangga dengan kekayaan, kekuasaan, kekuatan, keturunan, kedudukan, dan sebagainya. Mereka ingin menjadi populer dalam urusan dunia, karena ketidaktahuannya.
Sedangkan bagi yang mengetahui hakikat kehidupan dunia, mereka menjadikannya sebagai jembatan penyeberangan, bukan tujuan akhir, tetapi sebagai sarana yang dapat mengantarkannya menuju kebahagiaan yang hakiki. Wallahu a’lam.

•Republika Online, Hikmah, 23/12-2011

TIPE GURU MANAKAH KITA?

Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI

Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sistem pendidikan, tetapi ditentukan juga oleh pendidik. Melalui pendidiklah aktivitas paedagogis dapat diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat.
Guru selain sebagai pendidik, juga bertanggung jawab dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang telah ditetapkan, sehingga kehadiran guru akan banyak memengaruhi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri. Gurulah yang menjadi ujung tombak dalam proses penyiapan generasi mendatang. Karena itu, jika bangsa ini hendak menyiapkan generasi mendatang, gurulah yang pertama kali harus dipersiapkan.
Dalam kehidupan masyarakat, istilah guru mempunyai arti lebih luas, tidak sebatas guru di sekolah saja. Semua orang yang pernah memberikan atau mengajarkan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang dapat disebut guru. Misalnya, guru silat, guru mengetik, guru menjahit, dan sebagainya.
Mengajar sering kali dikaitkan dengan kegiatan menyampaikan dan memberikan sesuatu berupa bahan dan materi tertentu yang mesti dipelajari oleh siswa. Karena itu, ketika guru mengajar, ia mengajar sesuai dengan garis besar program pengajaran sebagaimana terdapat dalam kurikulum.
Dalam tindak mengajar, terdapat proses transfer dari guru kepada siswa. Jadi, tindakan mengajar lebih berurusan dengan penyampaian materi pelajaran sehingga siswa dapat memahami isi kurikulum yang mesti mereka pelajari. Hasil ajaran ini lantas diuji melalui proses evaluasi untuk melihat apakah siswa itu dapat menguasai materi yang diajarkan atau belum.
Mendidik memiliki konotasi yang lebih luas, tidak sekadar menyampaikan materi pelajaran. Karena itu, mendidik juga tidak sekadar berurusan dengan menyampaikan materi pelajaran. Guru mendidik dengan cara menghadirkan diri mereka secara utuh di hadapan siswa dan dengan itu siswa merasakan kehadiran guru sebagai sosok yang istimewa, sebagai pribadi yang memberikan inspirasi dan rasa hormat.
Guru menjadi teman, sahabat, pengajar, rekan kerja, pendamping, orang tua, dan semua kemampuan individu yang memungkinkan proses belajar di sekolah berjalan dengan baik, di dalam maupun di luar kelas. Kegiatan mendidik berkaitan dengan eksistensi keseluruhan individu dalam relasinya dengan orang lain dan lingkungannya. Untuk itu, mendidik tidak dapat dibatasi oleh kegiatan di dalam kelas.
Seiring perkembangan kehidupan yang semakin kompleks, kadang guru terjebak pada kehidupan materialistik. Hal ini membuat Aris Setiawan membagi guru menjadi tiga kategori, yaitu guru nyasar, bayar, dan sadar. (Republika, 9/12).
Guru nyasar, sosok yang hanya melihat guru sebuah profesi alternatif di tengah kesulitan mencari kerja. Tipe ini yang penting adalah bekerja, memberikan materi seadanya, pasang muka killer, dan selalu memarahi muridnya dengan kata-kata yang tidak seharusnya.
Guru bayar, memiliki tipikal pada awal bulan penuh semangat mengajar, dan pada akhir bulan lemas. Guru kategori ini biasanya tidak pernah menghafal nama anak didiknya. Bila diumpamakan, ada uang aku sayang, tidak ada uang aku melayang.
Guru sadar, sosok pendidik yang mampu memosisikan diri sebagai orang tua. Anak didik dianggap sebagai anak kandung sendiri. Ia sadar bergaji kecil, tapi lebih mengharapkan gaji yang cair di akhirat. Ia juga kenal dekat dengan siswa dan orang tuanya. Guru kategori ini mampu menyenangkan dan menggerakkan semangat siswanya. Guru sadar ini mampu memerankan dirinya sebagai sosok sebagaimana diuraikan Eric Hoyle dalam bukunya, The Role of Teacher.
Muhammad Atiyah al-Abrasyi, Abdurrahman an-Nahlawi, dan Imam al-Ghazali menambahkan sifat-sifat yang dimiliki sosok guru sadar, yaitu zuhud, kebersihan diri, ikhlas, pemaaf, kebapak-bapakan, mengetahui tabiat anak didik, menguasai mata pelajaran, bersifat rabbani, sabar, jujur, senantiasa membekali diri dengan ilmu, mampu menggunakan berbagai metode mengajar, mampu mengelola anak didik, mengetahui keadaan psikis anak didik, memiliki kepekaan dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi, bersifat adil, tidak meninggalkan nasihat, tidak berlaku kasar, tidak menjelek-jelekkan ilmu yang lain di depan anak didik, tidak mengajarkan sesuatu di luar kemampuan anak didik, mengajarkan pelajaran secara jelas, dan hendaknya pendidik mengamalkan ilmunya.
Wahai bapak dan ibu guru, termasuk tipe guru manakah kita: nyasar, bayar, ataukah sadar?

•Republika, Guru Menulis, 14/12-2011.