Rabu, 29 Februari 2012

MAULID NABI SAW SEPANJANG TAHUN

Oleh H Imam Nur Suharno MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Peringatan Maulid Nabi SAW, 12 Rabiul Awal 1433, telah diperingati. Usainya peringatan Maulid Nabi SAW bukan berarti usai pula meneladani kehidupannya. Justru, keberhasilan dalam peringatan maulid itu adalah adanya keberlangsungan meneladani nilai-nilai kehidupan Nabi SAW dalam sepanjang kehidupan umat manusia. Sebab peringatan itu bukan dengan gembyarnya acara, tetapi bagaimana upaya kita terus menghadirkan (meneladani) Nabi SAW dalam setiap lini kehidupan kita.
Mengkaji kisah perjalanan hidup Rasulullah SAW bagaikan mengarungi lautan yang tak bertepi karena sangat luas, sangat kaya, dan sangat mencerahkan. Keluasan suri teladan Muhammad SAW mencakup semua aspek hidup dan kehidupan. Karena itu, peringatan Maulid Nabi hendaknya jangan dibatasi satu tahun sekali, akan tetapi hendaknya setiap hari kita memperingatinya dengan cara menghidupkan sunnah-sunnah dan ajaran beliau ke dalam kehidupan kita.
Sungguh pada diri Nabi SAW terdapat suri teladan yang agung. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 21).

Akhlak Nabi SAW
Rasulullah SAW tidak memerintahkan kepada para sahabatnya untuk melakukan sesuatu, melainkan beliau pun melakukannya. Dikisahkan dari Al Barra’ bin Adzib, ia berkata: “Kulihat beliau mengangkuti tanah galian parit, hingga banyak debu yang menempel di kulit perutnya. Sempat pula kudengar beliau bersabda, “Ya Allah, andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bershadaqah dan tidak shalat. Turunkanlah ketenteraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak yang sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya.”
Rasulullah SAW mengedepankan kebersamaan dalam penyelesaian masalah. Direntangkannya sebuah kain besar, kemudian hajar aswad diletakkan di bagian tengahnya, lalu beliau meminta kepada setiap pemimpin kabilah untuk memegang ujung kain tersebut. Setelah itu, hajar aswad disimpan ke tempat semula di Ka’bah. Dengan cara seperti itu, tidak satupun kabilah yang merasa dirugikan, bahkan mereka sepakat untuk menggelari beliau sebagai al amin (orang yang terpercaya).
Rasulullah SAW mengedepankan akhlak mulia dalam pergaulan. Dalam sebuah riwayat Husain bin Ali cucu Rasulullah SAW menceritakan bagaimana keagungan akhlak beliau. Rasulullah SAW selalu menyenangkan, santai dan terbuka, mudah berkomunikasi dengan siapa pun, lemah lembut dan sopan, tidak keras dan tidak terlalu lunak, tidak pernah mencela, tidak pernah menuntut dan menggerutu, tidak mengulur waktu dan tidak tergesa-gesa.
Rasulullah SAW menjauhkan tiga hal yaitu riya, boros, dan sesuatu yang tidak berguna. Rasulullah SAW juga tidak pernah mencaci seseorang dan menegur karena kesalahannya, tidak mencari kesalahan orang, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat. Kalau beliau berbicara, maka yang lain diam menunduk, tidak pernah disela atau dipotong pembicaraannya, membiarkan orang menyelesaikan pembicaraannya, tertawa bersama mereka yang tertawa, heran bersama orang yang heran, rajin dan sabar menghadapi orang asing yang tidak sopan, segera memberi apa-apa yang diperlukan orang yang tertimpa kesusahan, tidak menerima pujian kecuali dari yang pernah dipuji olehnya (HR Tirmidzi).
Bahkan, saat Rasulullah SAW disakiti oleh orang-orang yang menentangnya pun beliau tidak pernah membalasnya. Beliau menghadapinya dengan penuh kesabaran. Alkisah, setiap kali Rasulullah melintas di depan rumah wanita tua, beliau selalu diludahi oleh wanita tua itu. Suatu hari, saat Rasulullah SAW melewati rumah wanitu tua itu, beliau tidak bertemu dengannya. Karena penasaran, beliau pun bertanya kepada seseorang tentang wanita tua itu. Justru orang yang ditanya pun malah heran, kenapa Rasulullah menanyakan kabar tentang wanita tua yang telah berlaku buruk kepadanya.
Setelah Rasulullah mendapatkan jawaban, bahwa wanita tua yang biasa meludahinya itu ternyata sedang sakit. Bukannya gembira justru beliau memutuskan untuk menjenguknya. Wanita tua itu tidak menyangka jika Rasulullah mau menjenguknya. Bahkan, ketika si wanita tua itu sadar bahwa manusia yang menjenguknya adalah orang yang selalu diludahinya setiap kali melewati depan rumahnya, si wanita tua itu pun menangis di dalam hatinya, ”Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjengukku kemari.
Dengan menitikkan air mata haru dan bahagia, si wanita tua itu lantas bertanya, ”Wahai Muhammad, kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?” Rasulullah menjawab, ”Aku yakin engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau telah mengetahuinya, aku yakin engkau tidak akan melakukannya.”
Mendengar jawaban bijak dari Rasulullah, wanita tua itu pun menangis dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya terasa tersekat. Kemudian dengan penuh kesadaran, dia pun berkata, ”Wahai Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu.” Lantas wanita tua itu pun mengikrarkan dua kalimat syahadat, ”Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Subhanallah. Demikianlah kisah keluhuran akhlak Rasulullah SAW yang sangat menakjubkan.
Demikianlah sebagian kisah mulia dari manusia agung, Nabi Muhammad SAW. Tentu, masih banyak kisah-kisah mulia lainnya yang hendaknya terus digali, disosialisasikan, dan diteladani di tengah-tengah masyarakat yang sedang dilanda krisis keteladanan. Wallahu a’lam.

•HU Kabar Cirebon, Opini, 10/2/2012

Kamis, 02 Februari 2012

MENYALAHGUNAKAN JABATAN

Oleh H Imam Nur Suharno MPdI

Suatu hari, Ibnu Al-Lutaibah seorang petugas zakat datang menghadap Rasulullah SAW melaporkan dan menyerahkan hasil penarikan zakat dengan mengatakan: “Ini untukmu, dan yang ini telah dihadiahkan kepadaku!” Rasulullah SAW seketika tersentak mendengar laporan inventaris dan keuangan zakat dari amil beliau yang berasal dari suku Uzdi ini. Dengan penuh geram dan heran Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya mengatakan: “Ada apa gerangan seorang petugas yang kami utus untuk menjalankan suatu tugas lalu mengatakan: “Ini untukmu (Wahai Rasulullah), dan yang ini telah dihadiahkan untukku!” Kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak?” Lanjutnya: “Demi Tuhan yang jiwa kalian berada di tangan-Nya, bahwa tiada yang membawa sesuatupun dari hadiah-hadiah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban tengkuknya pada hari kiamat.” (HR Imam Ahmad).
Rasulullah SAW sangat geram terhadap Ibnu Al-Lutaibah yang telah menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri. Di kalangan masyarakat hal ini biasanya disebut dengan berbagai istilah, seperti money politics, uang sogok, uang kompromi, uang pelicin, dan sebagainya, tetapi esensinya sama yaitu suap (risywah).
Menurut Al-Fayumi, suap adalah pemberian seseorang kepada hakim atau yang lainnya supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi melakukan apa yang diinginkan oleh yang memberi.
Suap identik dengan memakan harta secara yang batil. Karena itu, “Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 188).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami berkata, “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui hal itu tidak halal bagi kalian.”
Rasulullah SAW sangat mengecam kepada para penyuap, penerima, penghubung dan siapa saja yang terlibat dalam proses terjadinya suap. “Rasulullah melaknat penyuap dan orang yang menerima suap.” (HR Abu Daud). Dalam hadis yang lain, Nabi SAW melaknat penghubung antara penyuap dan yang disuap. (HR Hakim).
Oleh karena itu, hanya dengan ketegasan dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi para pelaku dan yang terlibat dalam suap maka budaya penyalahgunaan jabatan akan dapat dikendalikan. Wallahu a’lam.

•dakwatuna.com, 12/1/2012

MERINDUKAN KA'BAH

Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Masih terngiang di benak penulis saat merasakan puncak spiritualitas selama melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci beberapa waktu yang lalu. Rindu ingin kembali lagi.
Itulah kalimat yang selalu menggelayuti perasaan para jamaah haji setibanya dari Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah. Hal itu pun penulis rasakan dengan kerinduan yang amat sangat.
Mengapa perasaan itu selalu menghiasi setiap jamaah haji? Selain tarikan keutamaan ibadah di Tanah Suci, seperti lipatan pahala sampai seribu kali lipat jika beribadah di Masjid Nabawi dan seratus ribu kali lipat jika beribadah di Masjidil Haram (HR Ahmad), ada beberapa hal yang menjadi alasan.
Pertama, merasa amalan yang dikerjakan selama di Tanah Suci kurang maksimal. Kedua, khawatir amal yang sedikit itu tidak diterima. Ketiga, tidak dapat melaksanakan rukun, wajib, dan sunah-sunah haji secara sempurna. Hal ini mungkin terjadi karena kondisi kesehatan dan fisik jamaah. Terlepas dari itu semua, ada satu tarikan kenikmatan spiritual yang sangat tinggi yang tidak dapat di rasakan oleh orang lain, kecuali oleh para jamaah haji sendiri.
Oleh karena itu, ada beberapa amalan pasca-ibadah haji yang hendaknya selalu dikerjakan oleh setiap jamaah haji setibanya dari Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah agar kenikmatan spiritualitas itu tetap terpelihara.
Pertama, penuh harap dan banyak berdoa. Perasaan takut (khauf) saja tidak cukup, harus diimbangi dengan perasaan penuh harap (raja’) kepada Allah SWT. Sebab, perasaan khauf tanpa raja’ akan menyebabkan putus asa. Sebaliknya, perasaan raja’ saja tanpa khauf akan menyebabkan perasaan sombong.
Oleh karena itu, berharap diterimanya amal disertai perasaan takut amalnya ditolak akan mewariskan sikap tawadhu’ (rendah hati). Di saat harapannya terwujud, ia akan memohon kepada Allah SWT agar menerima amalannya. Sikap seperti inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Dalam firman Allah SWT, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 127).
Kedua, memperbanyak istighfar. Meskipun seseorang telah berupaya secara maksimal untuk menyempurnakan amal ibadahnya, tetap akan menyisakan kekurangan. Oleh karena itu Allah SWT mengajarkan kepada kita bagaimana menghilangkan kekurangan tersebut, yaitu dengan memperbanyak istighfar setelah melaksanakan ibadah.
Allah SWT berfirman setelah menyebut manasik haji, “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah [2]: 199).
Ketiga, memperbanyak amal saleh. Sesungguhnya amal saleh adalah ibarat pohon yang baik, yang membutuhkan siraman dan perawatan agar tumbuh dan menjadi kokoh, lalu memberikan buahnya. Dan, di antara tanda kemabruran haji adalah bertambah baiknya amal dan akhlak seseorang sekembalinya dari haji.
Rasulullah SAW bersabda, “Haji mabrur (yang diterima) itu tidak memiliki balasan kecuali surga.” Ketika ditanyakan kepada beliau, apa tanda mabrurnya? Rasulullah SAW bersabda, “Yaitu memberi makan (kepada orang) dan bagus ucapan.” (HR Thabrani).
Artinya, seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji hendaknya semakin peduli terhadap kaum muslimin, seperti memperbanyak infak dan bersedekah untuk orang-orang yang membutuhkan, dan meningkatkan peran dakwah di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, ia semakin mulia dengan murah senyum dan sapaannya yang lembut serta salam yang menyejukkan.
Keempat, memperbanyak dzikir. Hal ini ditegaskan melalui firman Allah SWT, “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu.“ (QS Al-Baqarah [2]: 200).
Teriring salam doa semoga Allah SWT menjadikan haji yang telah kita tunaikan sebagai haji yang mabrur, sa’i yang masykur, dosa yang diampuni, dan menjadikan amal-amal kita sebagai amalan saleh yang diterima di sisi-Nya.
Pun, kita berharap selain keinginan kembali ke Tanah Suci dapat terkabulkan, juga berharap semoga saudara-saudara kita kaum muslimin yang belum berkesempatan ke Tanah Suci dimudahkan oleh Allah SWT untuk menunaikan ibadah haji pada tahun-tahun yang akan datang. Amin.

•Kabar Cirebon, Opini, 20/1/2012