Selasa, 14 Oktober 2008

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RAMADHAN

Ramadhan 1429 Hijriyah sudah berlalu, dan telah meninggalkan kita. Ramadhan itu kini tinggal kenangan. Sekarang saatnyalah memetik hasil apa yang didapat dari bulan Ramadhan. Harapan terbesar setiap muslim adalah diterimanya amal ibadah selama Ramadhan, baik ibadah yang bersifat individu, maupun ibadah yang bersifat sosial.
Target akhir dari puasa Ramadhan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah meraih predikat takwa. Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183).
Dengan takwa seseorang akan mampu mengontrol tingkah lakunya. Ia akan selalu menimbang apakah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan rasul-Nya atau tidak. Takwa menjadi karakter yang dapat mendorong seseorang menjadi manusia paling mulia di sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman, ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat : 13).
Keberhasilan orang yang berpuasa bukan dilihat dari aktifitasnya selama Ramadhan, tetapi sejauhmana ia dapat mengimplementasikan nilai-nilai Ramadhan pada sebelas bulan berikutnya. Ramadhan adalah bulan pendidikan. Karena itu, Ramadhan merupakan bulan yang dapat membawa perubahan secara total dalam berbagai sisi kehidupan, baik dalam skala individu, keluarga maupun masyarakat. Perubahan secara vertikal maupun horizontal. Perubahan menuju perbaikan dalam pelbagai dimensi kehidupan adalah sebuah keniscayaan.
Ada beberapa nilai puasa Ramadhan yang dapat diimplementasikan secara berkelanjutan. Saat berpuasa dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang pada hakikatnya halal bila dilakukan pada siang hari di selain Ramadhan, seperti makan dan minum. Maka selesai Ramadhan harus berkomitmen untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik. ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah : 168). Dalam ayat yang lain disebutkan, ”Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang batil.” (QS. Al-Baqarah : 188).
Saat berpuasa dianjurkan pula untuk menghindari setiap perkataan kotor, maka selesai Ramadhan berkomitmen dengan ucapan yang baik dan berusaha menjauhi segala bentuk permusuhan dan menyakiti orang lain. Saat Ramadhan dilatih untuk senang berinfak, maka setelah Ramadhan berkomitmen untuk peduli terhadap mereka yang membutuhkan pertolongan. Saat Ramadhan dilatih pula untuk disiplin dengan sahur dan berbuka pada waktu yang telah ditentukan, maka di luar Ramadhan pun harus berkomitmen untuk senantiasa disiplin waktu. Karena tidak disiplin waktu akan berakibat melemahnya produktifitas kerja.
Saat berpuasa Ramadhan dilatih untuk bersikap jujur dan merasakan adanya pengawasan Allah SWT, maka usai Ramadhan harus berkomitmen untuk berperilaku jujur dan menghadirkan Allah dalam setiap aktifitasnya. Dengan kehadiran Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya, maka seseorang akan senantiasa terbimbing dari perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya. Dalam situasi negeri yang carut-marut seperti saat ini, mau tidak mau karakter ini harus dilahirkan kembali. Para penguasa, birokrat, pegawai negeri maupun swasta, pedagang, buruh, dan sebagainya perlu diingat bahwa kita semua dalam pengawasan Allah SWT.
Ramadhan berpotensi untuk memberikan warna perubahan ke arah yang lebih baik. Mudah-mudahan Allah SWT selalu menyertai kita dengan bimbingan, inayah dan hidayah-Nya, sehingga kita dipertemukan dengan rahmat, maghfirah dan ridha-Nya. amin.

PERANAN DOA DALAM PENDIDIKAN

Perlu disadari bahwa gelar yang disandang seseorang bukanlah jaminan keberhasilan dalam mendidik. Sebaliknya, sangat mungkin gelar yang dimiliki dapat menjadi bumerang menuju kegagalan. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang terlalu yakin dengan kemampuan yang dimilikinya.
Kadang guru sering lupa, sebagai manusia, kita hanya mampu berusaha. Selebihnya, keputusan akhir tentang hasil usaha kita tetap bergantung kepada Allah SWT. Sikap terlalu yakin dengan kemampuan diri hingga mengabaikan Allah SWT akan membuatnya kehilangan kekuatan jiwa.
Ilmu yang dimiliki hanya bisa digunakan sebagai pedoman, sementara itu, berhasil-tidaknya proses pendidikan tetap harus diserahkan kepada Allah SWT. Doa yang selalu dipanjatkan bakal turut menentukan keberhasilan lebih lanjut. Intinya, seorang guru harus senantiasa melibatkan Allah SWT dalam mendidik. Sebab Sang Pencipta, Allah-lah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya.
Doa termasuk hal penting yang harus selalu kita pegang teguh. Melalui doa, rasa cinta dan kasih sayang kepada anak didik akan bertambah mekar di dalam hati. Untuk itu, hendaklah guru senantiasa memohon kepada Allah agar Dia meluruskan anak didiknya dan masa depannya. Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Ada tiga macam doa yang tidak diragukan lagi, pasti diterima, yaitu doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua (guru) kepada anaknya.” (HR. Tirmidzi).
Karenanya, Rasulullah melarang para orang tua (guru) mendoakan keburukan bagi anak didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya. Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian mendoakan keburukan kepada diri kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan kepada anak-anak kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan kepada pelayan-pelayan kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan kepada harta kalian. Janganlah kalian mendoakan keburukan sebab jika waktu doa kalian bertepatan dengan saat-saat dikabulkannya doa maka Allah mengabulkan doa kalian (yang buruk itu).” (HR. Abu Dawud).
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa ada seseorang yang datang kepada Abdullah bin Al-Mubarak seraya mengadukan perihal kedurhakaan anaknya. Ibnu Mubarak berkata, ”Pernahkah kamu mendoakan keburukan baginya?” Ia menjawab, ”Ya, pernah”. Ibnu Mubarak mengatakan, ”Engkau telah menghancurkannya”. Seharusnya, daripada engkau penyebab kehancurannya dengan mendoakan keburukan baginya lebih baik engkau menjadi penyebab keshalihannya dengan mendoakan kebaikan untuknya.
Guru merupakan profesi yang sangat berat, tidak sekedar menyampaikan ilmu. Tanggung jawabnya pun tidak sebatas di dunia. Sejatinya guru adalah arsitek peradaban, jika ia salah dalam mendidik, berarti ia salah dalam membentuk peradaban. Karenanya, guru harus senantiasa mendoakan anak didiknya di setiap waktu, terutama di waktu malam.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita mendoakan mereka?

PENDIDIKAN: UPAYA MEMBENTUK BUDAYA BANGSA

Reformasi 1998 memang berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi negara demokrasi, namun ternyata atas nama demokrasi juga, kekerasan seperti telah menjadi pertunjukan teater di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekerasan demi kekerasan pun berlangsung tiada henti sejak 1998. Kekerasan seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia. Lebih memprihatinkan lagi, di beberapa kota besar, budaya kekerasan seperti menjadi ekstrakurikuler para pelajar, baik SMP, SMA, SMK, dan bahkan mahasiswa. Sedemikian parahnya masalah-masalah ini berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, sehingga secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi kehidupan seluruh warga negara Indonesia.
Mengapa bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang religius, ramah, cinta damai, dan santun, tiba-tiba bermetamorfosis menjadi bangsa yang menjunjung tinggi budaya kekerasan? Padahal, pendidikan di Indonesia baik formal, non formal maupun informal merupakan proses yang dengan sengaja dilakukan untuk tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian yang mantap, mandiri serta bertanggungjawab, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut hemat penulis, ada beberapa cara yang dapat dilakukan guna mengembalikan budaya bangsa yang santun, cinta damai, ramah, dan religius. Pertama, melalui kurikulum terpadu (integrated curriculum). Menurut Cohen dan Manion (1992), kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Oleh karena itu, seyogyanya kurikulum terpadu ini perlu dirumuskan melalui pendekatan yang komprehensif, sehingga mampu menjelaskan realitas keagamaan yang sebenarnya. Hal tersebut sebagai landasan pengembangan, cara dan proses pengembangan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Karena hakikat dari pendidikan adalah perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan setelah mengetahui kemudian mengamalkannya.
Kedua, melalui internalisasi nilai-nilai keagamaan. Penyadaran merupakan inti proses pembelajaran dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas, maka siswa mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Seperti halnya pendekatan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan, pembiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama, menggugah perasaan dan spiritual peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agama, memberikan peranan kepada akal dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, serta menyajikan ajaran agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Hal ini akan mewujudkan keshalihan sosial, dan keshalihan individual peserta didik dan merubah perilaku yang hanya menjadi simbol-simbol keagamaan ke nilai substantif yang diwujudkan dalam kehidupan obyektif empiris sehari-hari.
Ketiga, melalui keteladanan. Keteladanan merupakan sarana efektif untuk menuju keberhasilan pendidikan. Pendidik adalah prototipe dalam pandangan siswa. Oleh sebab itu, teladan yang baik dalam pandangan siswa pasti akan diikutinya dengan perilaku dan akhlak yang baik pula. Keteladanan itu akan terpatri dalam jiwanya. Oleh karena itu, orang-orang terdahulu begitu serius dalam memilih pendidik yang terbaik untuk anak mereka. Umar bin Utbah menulis surat kepada pendidik anaknya, ”Hendaklah yang pertama kau lakukan dalam menshalihkan anakku adalah menshalihkan dirimu sendiri sebab pandangan mereka sangat ditentukan oleh pandanganmu. Yang disebut baik oleh mereka adalah apa yang kau lakukan dan yang disebut buruk oleh mereka adalah apa yang kau tinggalkan.” Dalam peribahasa dikatakan, guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari.
Dan keempat, pembentukan lingkungan sekolah yang kondusif sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama. Oleh karena itu sekolah harus mengusahakan terciptanya situasi yang tepat sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar (learning experiences) pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber (resources) dan menggunakan strategi pembelajaran (teaching-learning strategy) yang tepat (appropriate). Seperti sekolah plus pesantren atau sekolah Islam terpadu. Sedangkan bagi sekolah yang siswanya pulang pergi, maka keluarga harus mampu menciptakan suasana rumah yang mendukung pada pembelajaran di sekolah.

INTERNALISASI NILAI-NILAI AGAMA MELALUI PEMBELAJARAN

Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab.

Sebagai bangsa yang beragama, kita sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat dalam hal moralitas dan etika. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara khusus menekankan pentingnya pendidikan bagi peningkatan keimanan dan akhlak. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia ...”.

Meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia merupakan ranah Pendidikan Agama dan Keagamaan yang seyogyanya dirumuskan melalui pendekatan yang komprehensif, sehingga mampu menjelaskan realitas keagamaan yang sebenarnya. Hal tersebut sebagai landasan pengembangan cara, proses pengembangan dan pencapaian tujuan pendidikan.

Kegiatan pembelajaran merupakan fungsi pokok dan usaha yang paling strategis guna mewujudkan tujuan institusional. Tujuan setelah proses pembelajaran adalah sistem nilai yang harus tampak dalam perilaku dan merupakan karakteristik kepribadian siswa. Pembelajaran sebagai sebuah metode menghendaki adanya perekayasaan situasi terencana yang memberikan perlakuan tertentu, untuk mengetahui akibat-akibatnya terhadap peserta didik. Menggunakan metode secara terencana, sistematik, dan terkontrol baik dalam bentuk desain fungsional maupun faktoral melalui pengenalan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan melalui bentuk penggambaran konsep-konsep yang bersifat penghayatan dan pengamalan.

Pembelajaran dan internalisasi nilai-nilai agama di lingungan lembaga pendidikan menghadapi berbagai persoalan mendasar, di antaranya terkait dengan relevansi materi pembelajaran, strategi pembelajaran, dan keterbatasan bahan bacaan yang dapat mendukung perkembangan keagamaan peserta didik.

Sejauh ini penanaman nilai-nilai keagamaan di sekolah masih menitikberatkan kepada domain kognisi yang cenderung menampilkan agama sebagai seperangkat rumusan kepercayaan dan ajaran yang cenderung indoktrinatif-normatif. Akibatnya bahan-bahan bacaan untuk mendukung domain tersebut terbatas pada buku-buku teks. Padahal upaya penanaman nilai-nilai keagamaan tidak sekedar menyangkut dimensi kepercayaan, tetapi lebih dari itu adalah dimensi pembudayaan. Dalam hal ini dibutuhkan agama dalam bentuknya yang efektif dan praktis. Artinya, agama mesti ditampilkan dalam performan historik, kontekstual dan aktual yang disajikan melalui pengalaman dan kisah hidup yang mengekspresikan perilaku keagamaan dan menjawab berbagai problem keseharian dalam suatu dimensi ruang, waktu dan konteks tertentu melalui pola pembelajaran yang diarahkan pada upaya menciptakan model pembelajaran bagi peserta didik dan mampu memberi warna baru bagi pembelajaran nilai keagamaan.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menginternalisasikan nilai-nilai agama kepada peserta didik. Pertama, melalui pembelajaran terpadu. Yaitu guru harus mampu memadukan atau mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan nilai-nilai agama. Misalnya, guru matematika menjelaskan perhitungan dengan contoh-contoh perhitungan zakat harta atau perhitungan warisan. Guru bahasa dan sastra harus berusaha agar tema-tema yang diajarkan, baik pada bagian mengarang, cerita, maupun puisi mengandung ide-ide Islami. Guru ilmu komputer, ketika menjelaskan kepada siswa cara pembuatan program, guru bisa menjelaskan kepada siswa cara pembuatan program perhitungan sistem perbankan Islam, pendataan jamaah haji dan umrah, serta jumlah penduduk di negeri Islam. Melalui pembelajaran terpadu ini secara tidak langsung pada saat siswa belajar mata pelajaran umum maka ia juga belajar nilai-nilai agama.

Kedua, membangun budaya lingkungan yang religius. Misalnya, ketika masuk kelas, guru hendaknya menunjukkan wajah yang cerah kepada para siswanya. Kemudian mengucapkan salam. Begitu pula jika bertemu di luar kelas, hendaknya mengucapkan salam dan berjabat tangan. Guru memulai pembicaraan dengan mengucapkan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi SAW. Jika hendak menjelaskan pelajaran di atas papan tulis, buatlah tulisan basmalah terlebih dahulu, agar kalimat itulah yang pertama kali dilihat oleh para siswa. Dengan demikian, para siswa tahu bahwa setiap akan memulai aktivitas harus dimulai dengan membaca basmalah. Dan setelah selesai pelajaran guru hendaknya menutup dengan do’a, kemudian mengakhiri pertemuan dengan mengucapkan salam.

Dan ketiga, mendoakan peserta didik. Kadang guru sering lupa, sebagai manusia, kita hanya mampu berusaha. Selebihnya, keputusan akhir tentang hasil usaha seseorang tetap bergantung kepada Allah SWT. Sikap terlalu yakin dengan kemampuan diri hingga mengabaikan peran Allah SWT akan membuatnya kehilangan kekuatan jiwa. Ilmu yang dimiliki hanya bisa digunakan sebagai pedoman, sementara itu, berhasil-tidaknya proses pendidikan tetap harus diserahkan kepada Allah SWT. Doa-doa yang selalu dipanjatkan bakal turut menentukan keberhasilan lebih lanjut. Intinya, seseorang harus senantiasa melibatkan Allah SWT dalam mendidik. Sebab Sang Pencipta, Allah-lah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya.

Melalui pembelajaran yang terpadu ini diharapkan terjadi proses internalisasi nilai-nilai agama pada diri peserta didik. Sehingga ia tidak hanya giat dalam menjalankan ibadah ritual, tetapi ia pula komitmen melakukan aktivitas-aktivitas yang terbingkai dengan nilai-nilai agama. Semoga. Wallahu a’lam.