Sabtu, 01 November 2008

PEMBELAJARAN TERPADU

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

Minimnya jam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum, tampaknya mengundang keprihatinan yang mendalam dari para guru agama. Dalam lokakarya Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI beberapa waktu yang lalu di Cirebon, yang diikuti guru SLTP dan SMA/sederajat, para guru meminta tambahan jam mengajar PAI melalui ekstrakurikuler di masin-masing sekolah.
Apakah dengan ditambahnya jam pelajaran PAI menyelesaikan masalah? Sebuah pertanyaan yang perlu kita renungkan. Sejatinya, tujuan pendidikan nasional tiada lain adalah untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Insan yang utuh diciptakan melalui proses yang baik dan benar. Rasanya sangatlah tidak cukup mewujudkan insan seutuhnya hanya dengan dua jam per pekan untuk mata pelajaran PAI. Ditambah lebih dari dua jam pun belum menjamin bisa mewujudkan manusia seutuhnya.
Menurut hemat penulis, ada beberapa cara yang dapat kita dilakukan dengan tanpa menambah jam pelajaran PAI. Pertama, memadukan mata pelajaran umum dengan PAI. Karenanya, guru harus mampu mengaitkan atau memadukan mata pelajaran yang diajarkan dengan PAI. Misalnya, guru matematika menjelaskan perhitungan dengan contoh-contoh perhitungan zakat harta atau perhitungan warisan. Guru bahasa dan sastra harus berusaha agar tema-tema yang diajarkan, baik pada bagian mengarang, cerita, maupun puisi mengandung ide-ide Islami. Guru ilmu komputer, ketika menjelaskan kepada siswa cara pembuatan program, guru bisa menjelaskan kepada siswa cara pembuatan program perhitungan sistem perbankan Islam, pendataan jamaah haji dan umrah, serta jumlah penduduk di negeri Islam. Dengan pembelajaran terpadu ini secara otomatis ketika siswa belajar pelajaran umum maka ia juga belajar Pendidikan Agama Islam.
Penulis telah mencoba menyusun modul pelajaran ekonomi terpadu, yaitu pembelajaran materi ekonomi yang dipadukan dengan materi PAI. Misalnya, bahasan tentang kegiatan konsumsi. Kata konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consuption, yang berarti memakai atau menghabiskan. Konsumsi adalah kegiatan menghabiskan, memakai, menggunakan, atau mengurangi kegunaan suatu barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Orang yang kegiatannya menghabiskan, memakai, atau mengurangi kegunaan suatu barang dan jasa disebut konsumen.
Dalam sistem perekonomian, kegiatan konsumsi memainkan peranan penting. Adanya kegiatan konsumsi akan mendorong terjadinya kegiatan produksi dan kegiatan distribusi. Dalam melakukan kegiatan konsumsi hendaknya sesuai dengan kemampuan (penghasilan) yang dimiliki. Melakukan kegiatan konsumsi yang berlebihan berarti bertentangan dengan pola hidup sederhana, dan Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A’raf : 31).
Kedua, menghimpun ayat-ayat Alqur’an dan hadits yang terkait dengan materi yang akan diajarkan. Dalam hal ini guru agama berperan untuk membantu guru-guru umum dalam menyiapkan ayat dan hadits yang terkait. Sehingga, di kemudian hari akan tersusun kurikulum terpadu.
Ketiga, membangun pola hubungan yang agamis. (1) ketika masuk kelas, guru hendaknya menunjukkan wajah yang cerah kepada para siswanya. Kemudian mengucapkan salam. Begitu pula jika bertemu di luar kelas, hendaknya mengucapkan salam dan berjabat tangan. (2) guru memulai pembicaraan dengan mengucapkan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi SAW. (3) jika hendak menjelaskan pelajaran di atas papan tulis, buatlah tulisan basmalah terlebih dahulu, agar kalimat itulah yang pertama kali dilihat oleh para siswa. Dengan demikian, para siswa tahu bahwa setiap akan memulai aktivitas harus dimulai dengan membaca basmalah. Dan (4) setelah selesai pelajaran guru hendaknya menutup dengan do’a, kemudian mengucapkan salam.
Melalui pembelajaran terpadu ini diharapkan dapat membentuk peserta didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
*) Republika, Akademia, Guru Menulis, Rabu, 11 Juni 2008.

IKHLAS

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

Ikhlas merupakan salah satu dari berbagai amal hati. Amal akan menjadi sempurna, hanya dengan ikhlas. Amal yang tidak disertai dengan ikhlas, ibarat gambar mati atau raga tanpa jiwa. Allah SWT hanya menginginkan hakikat amal, bukan rupa dan bentuknya. Dia menolak setiap amal yang pelakunya tertipu dengannya.
Maksud ikhlas di sini adalah menghendaki keridhaan Allah SWT dengan suatu amal, membersihkannya dari segala noda individual maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah SWT. Praktis dalam ikhlas, tidak ada noda yang mencampuri suatu amal.
Imam Al Ghazali pernah mengatakan bahwa segala sesuatu digambarkan mudah bercampur dengan sesuatu lainnya. Jika bersih dari pencampurannya dan bersih darinya, maka itulah yang disebut murni. Perbuatan yang bersih dan murni disebut ikhlas.
Allah berfirman, "…(berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya." (QS An Nahl : 66).
Kemurnian susu itu diukur tanpa adanya campuran kotoran dan darah atau segala sesuatu yang memungkinkan bercampur dengannya. Ikhlas kebalikan syirik. Siapa yang tidak ikhlas, berarti dia musyrik. Hanya saja syirik itu mempunyai beberapa derajat.
Ikhlas dalam tauhid kebalikan dari syirik dalam uluhiyah. Syirik ada yang tersembunyi, ada pula yang terang-terangan. Begitu pula ikhlas. Ikhlas dan kebalikannya sama-sama menyusup ke dalam hati karena memang hatilah tujuannya.
Ikhlas akan memberikan kekuatan untuk beramal secara berkesinambungan. Seseorang yang beramal karena nafsu perut akan menghentikan amalnya bila tidak mendapatkan sesuatu yang mengenyangkan nafsunya.
Orang yang beramal karena mengharap ketenaran dan kedudukan, tentu akan bermalas-malasan atau merasa berat, jika ada pertanda harapannya akan kandas. Orang yang beramal karena mencari muka di hadapan pemimpin atau penguasa, tentu akan menghentikan amalnya, jika pemimpin tersebut turun dari jabatannya.
Sedangkan orang yang beramal karena Allah SWT, tidak akan memutuskan amalnya, tidak mundur dan tidak malas-malasan sama sekali. Sebab alasan yang melatarbelakangi amalnya tidak pernah sirna.
Allah SWT berfirman, "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (QS Al Qashash : 88).
Upaya mengetahui hakikat ikhlas dan pengamalannya laksana lautan yang dalam. Semua orang bisa tenggelam di dalamnya, kecuali hanya sedikit. Inilah yang dikecualikan dalam firman Allah SWT, "Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka." (QS Shad : 83). Wallahu a’lam bi ash shawab.