Rabu, 12 Oktober 2011

PENDIDIKAN PEMBIASAAN

Oleh Imam Nur Suharno MPdI
Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Dengan pendidikan, peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Untuk pengembangan potensi diri, peserta didik tersebut di atas, diperlukan pendidikan pembiasaan. Dalam syair dikatakan, “Anak akan tumbuh pada apa yang dibiasakan ayahnya kepadanya. Ia tidak dapat tunduk oleh akal, tapi kebiasaanlah yang dapat menundukkannya.” Dalam pepatah Arab dikatakan, ”Man Syabba ’Ala Syai’in, Syaaba ’Alaihi”, barangsiapa yang membiasakan sesuatu (di waktu mudanya), maka akan terbiasa melakukannya (di masa tuanya).
Karena itu, upaya untuk mengejawantahkan pendidikan karakter selain dengan keteladanan (qudwah hasanah) adalah melalui metode pembiasaan. Dalam proses pembiasaan, peserta didik perlu dihindarkan cara-cara kekerasan dalam pendidikan. Nabi SAW -Sang Pendidik Sejati- telah menegaskan dalam sabdanya, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika umurnya telah mencapai tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak mau shalat) jika telah berumur sepuluh tahun. Dan, pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR Abu Dawud).
Islam mengalokasikan waktu selama tiga tahun secara berturut-turut untuk mengajarkan shalat pada anak didik. Hal ini merupakan rentang waktu yang leluasa untuk membiasakan shalat. Jika masih belum terbiasa melakukannya selama rentang waktu pembiasaan tersebut, maka langkah tegas (bukan keras) harus diambil untuk menjamin mapannya kebiasaan itu.
Jika dihitung, perintah shalat berdasarkan hadits di atas, maka setiap orang tua menyuruh anaknya untuk mengerjakan shalat selama tiga tahun dan pada setiap waktu shalat akan menghasilkan jumlah hitungan yang sangat banyak. Hitungan itu adalah 5 waktu x 365 hari x 3 tahun = 5475. Sekiranya angka tersebut memiliki arti, maka itu menunjukkan pentingnya pengulangan dalam mendidik anak.
Islam tidak mengenal pola pendidikan dengan kekerasan. Sebaliknya, Islam sangat menekankan pola pendidikan kasih sayang. Alquran menegaskan, ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran [3]: 159).
Memberi hukuman (punishment) kepada anak didik memang dibenarkan dalam Islam. Meski demikian, sebaiknya kebolehan itu tidak dipahami secara mutlak. Namun, harus diiringi dengan batasan kuat dan jaminan yang mendapatkan hukuman tersebut memainkan perannya dalam memperbaiki anak didik tersebut.
Selain itu, sarana dari hukuman itu sendiri tidak dimaksudkan untuk melampiaskan kemarahan atau balas dendam kepada anak didik. Melainkan harus berada dalam koridor perbaikan. (Ahmad Ali Badawi dalam bukunya ”Ats-Tsawab wa Al-’Iqab fi At-Tarbiyyah”).
Muhammad Rasyid Dimas dalam bukunya ”Dua Puluh Kesalahan dalam Mendidik Anak”, memberikan beberapa syarat yang harus dipegang ketika hendak menerapkan hukuman fisik. Di antaranya, hendaknya hukuman fisik itu menjadi pilihan terakhir bagi pendidik, pendidik menghindari saat-saat marah dan emosi, bertahap dalam memberikan hukuman, dari yang ringan menuju yang lebih berat, tidak memukul kepala dan wajah dan lainnya.
Oleh karena itu, sebagai pendidik, ia perlu mengetahui karakteristik peserta didik sebagaimana diuraikan Suwarno, dalam bukunya ”Pengantar Ilmu Pendidikan”, yang menyebutkan bahwa: peserta didik bukan miniatur orang dewasa.
Ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa; peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin; peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, dan minat.
Selain itu, peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia (cipta, rasa, dan karsa); peserta didik merupakan subyek dan obyek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif; dan peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.
Pesan Imam Al-Ghazali, ”Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan menjaga akhlak yang baik.” Wallahu a’lam.


•Republika, Lenyepaneun, 12/10/2011