Minggu, 01 Maret 2009

Budaya Kekerasan dalam Pendidikan

Oleh : Imam Nur Suharno MPdI *)

MEMORI kita tentang praktik kekerasan di dunia pendidikan tergugah kembali setelah kasus kematian Dwi Yanto Wisnu Nugraha, mahasiswa Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menjadi isu besar di media massa.
Dwi Yanto tewas saat mengikuti inaugurasi anggota baru yang diadakan Ikatan Mahasiswa Geodesi. Kasus ini langsung menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama dunia pendidikan tinggi yang beberapa tahun lalu sempat tercoreng oleh sejumlah kasus yang skalanya lebih besar dari peristiwa yang menimpa mahasiswa ITB itu.
Dalam melihat fenomena ini, ada beberapa analisa yang ditulis oleh Drs. Abd. Rachman Assegaf, M.Ag., dkk, Staf Pengajar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam sebuah penelitiannya: pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.
Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Dan, kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku
Menurut hemat penulis, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guna mengendalikan budaya kekerasan dalam pendidikan. Pertama, internalisasi nilai-nilai agama melalui pembelajaran. Penyadaran merupakan inti proses pembelajaran dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana yang dialogis, sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas, maka siswa mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata.
Seperti halnya pendekatan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan, pembiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama. Kemudian menggugah perasaan dan spiritual peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati ajaran agama, memberikan peranan kepada akal dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, serta menyajikan ajaran agama dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.
Hal ini akan mewujudkan keshalihan sosial, dan keshalihan individual peserta didik dan merubah perilaku yang hanya menjadi simbol-simbol keagamaan ke nilai substantif yang diwujudkan dalam kehidupan obyektif empiris sehari-hari.
Kedua, memberikan keteladanan. Pendidik adalah prototipe dalam pandangan siswa. Oleh sebab itu, teladan yang baik dalam pandangan siswa pasti akan diikutinya dengan perilaku dan akhlak yang baik pula. Keteladanan ini akan terpatri dalam jiwanya. Karenanya yang disebut baik oleh siswa adalah apa yang dilakukan oleh pendidik, dan yang disebut buruk oleh siswa adalah apa yang ditinggalkan oleh pendidik. Dalam peribahasa dikatakan, guru kencing berdiri, maka siswa kencing berlari.
Dan ketiga, membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama. Institusi pendidikan merupakan sebuah ranah (domain) sosial yang diharapkan mampu berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya intelektualitas, moralitas, dan orde kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian. Maka, dengan sendirinya, sebuah institusi pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa dibandingkan dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau dibandingkan barak militer.
Ini karena, secara eksistensial, setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat kemanusiaan dirinya secara utuh serta belajar menerima keberadaan orang lain dengan prinsip tepa selira. Itulah mengapa, pembudayaan akal budi dalam dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani. Dalam dunia pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani.
Oleh karena itu sekolah harus mengusahakan terciptanya situasi yang tepat sehingga memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar pada diri siswa, dengan mengerahkan segala sumber dan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Wallahu a’lam bish shawab. (*)

*) Penulis : Pemerhati Pendidikan dan Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan.
radar cirebon

Tidak ada komentar: