Minggu, 02 Mei 2010

SIAP MENTAL KE PESANTREN

SELAIN menyekolahkan anak ke luar negeri, banyak pula orang tua mengirimkan putra-putrinya ke pesantren atau sekolah dengan sistem boarding (asrama). Meskipun berbeda, pola dan dampaknya hampir sama. Orang tua berjauhan dengan anak, orang tua cemas terhadap pergaulan anak, anak menjadi harapan orang tua untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Direktur Pendidikan dan Kepala Sekolah MTs. Husnul Khotimah, Kuningan, Imam Nur Suharno (41), mengatakan, hal yang harus diperhatikan saat seseorang akan melanjutkan pendidikan jauh dari orang tua adalah, hal itu merupakan perpaduan keinginan bersama antara orang tua maupun anak. Kalau hanya keinginan orang tua atau anak, akan muncul kendala.

Pasalnya, modal utama sekolah berjauhan dengan orang tua adalah betah atau tidak. Oleh karena itu, jauh-jauh hari sebelum anak itu berangkat menuntut ilmu, orang tua harus memberi pemahaman terlebih dahulu bagaimana tata cara hidup berjauhan dengan orang tua.

"Kunci belajar di pesantren itu betah. Kalau tidak betah, anak pintar pun akan kehilangan konsentrasi belajar. Sebaliknya, bila anak itu pas-pasan tetapi betah di pesantren, ia akan dapat konsentrasi dan belajar dengan baik," ujar Imam.

Pendek kata, kata Imam, orang tua mengirimkan anak-anaknya ke pesantren karena ingin anak-anaknya pintar dan saleh. Bahkan kalau harus memilih di antara keduanya, mereka (orang tua-red.) akan memilih anak yang saleh ketimbang pintar.

Hal yang dapat dilakukan orang tua saat anak belajar berjauhan adalah doa. Bila segala upaya sudah dilakukan, langkah berikutnya adalah menguatkan diri dengan doa. Sebab yang membolak-balikkan hati itu, bukan siapa-siapa tetapi Allah SWT.

Pada umumnya, kata Imam, orang tua memasukkan anak ke pesantren, ingin memperoleh tempat aman dan nyaman bagi putra-putrinya. Tempat yang sesuai dengan harapan orang tua. Apalagi semua tempat saat ini, memang sudah sangat mengkawatirkan orang tua. Pendek kata, orang tua meghendaki pendidikan yang dberikan ini menghasilkan peserta didik menjadi anak saleh (untuk diri sendiri) dan menjadi Muslih (mengajak kepada orang lain) tanpa paksaan.

Pola aktivitas keseharian juga berbeda. Bila di rumah anak-anak lebih banyak menonton televisi, kalau di pesantren lebih banyak mengkaji Alquran. Hal sama terjadi juga dalam hal makan dan minum. "Di rumah, makan, minum, dan mandi tidak harus mengantre. Sepintas tidak ada apa-apanya tetapi kemudian, bisa dirasakan sendiri," ujarnya.

Kehidupan pesantren menurut Imam, mengantarkan anak pada kehidupan 24 jam bersama dengan teman. Bila di rumah hanya mengenal beberapa orang, maka di pesantren akan mengenal banyak orang dengan belakang keluarga dan daerah yang berbeda-beda.

Di situlah akan terjadi kerukunan yang lintas batas, menanamkan dan menjalin ukhuwah. Makanya di sekolah itu ditanamkan saling menghargai dan menghormati. Yang tua menyayangi yang muda, yang muda hormat kepada yang tua. Di pesantren juga diajarkan akhlak kepada guru, orang tua, dan teman.

Jika di sekolah biasa paling lama hanya 2-7 jam, di pesantren 24 jam. Pesantren jadi sebuah laboratorium, tempat salat berjamaah, puasa sunah bersama, makan dan mandi bersama (harus ngantre). Di situ ada ujian kesabaran dan berlatih mandiri. Lambat laun kehidupan ini akan membentuk anak.

”Oleh karena itu, lagi-lagi doa tidak hanya akan menguatkan anak tetapi juga guru pada saat membimbing. (Eriyanti/”PR”)***


wawancara PR dengan Direktur Pendidikan dan Kepala MTs Husnul Khotimah
Penulis:

Tidak ada komentar: