Jumat, 22 Januari 2010

SKB MOMENTUM PEMBENAHAN MADRASAH

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Seratus hari memang bukan waktu yang lama, dan masa yang terlalu singkat untuk melaksanakan suatu program. Namun jangka waktu itu memiliki nilai psikologis besar untuk mendorong pencapaian kerja secara terarah. Karena itu, penting untuk memanfaatkan masa tersebut secara optimal. Terutama dengan membuat hal yang mampu merangkul semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Di antara program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II adalah meningkatkan kualitas madrasah dan pendidikan keagamaan di seluruh Indonesia. Guna mendongkrak kualitas pendidikan madrasah tersebut, pemerintah akan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri terkait pengelolaan pendidikan madrasah dan keagamaan. SKB itu akan segera ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi; Menteri Agama (Menag), Suryadharma Ali; dan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh. (Republika, Senin, 23/11/2009).
Dalam SKB tersebut, setiap pemerintah daerah bisa mengalokasikan dananya secara resmi dalam APBD untuk madrasah. Sehingga, madrasah tak lagi dipandang sebagai anak tiri oleh pemerintah daerah. Selama ini, memang madrasah nyaris tak terperhatikan oleh pemerintah daerah, dengan asumsi bahwa madrasah berada di bawah pengelolaan instansi vertikal, yakni Depag. Padahal dalam PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan diatur bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab terhadap madrasah dan keagamaan.
Ketua DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat, Heri Purnama SAg MPdI mengatakan, secara kelembagaan madrasah berada di bawah Departemen Agama (Depag), yang secara struktural masih vertikal, maka muncullah persepsi bahwa madrasah menjadi tanggung jawab pusat. Sehingga ketika pemerintah daerah menghitung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), madrasah tidak masuk hitungan. Tapi, ketika menghitung IPM (Indeks Pembangunan Manusia) madrasah dimasukkan dalam hitungan. (Majalah Husnul Khotimah, edisi XI, Juli 2008).
Dengan keluarnya SKB ini, diharapkan polemik seputar pengelolaan madrasah, bisa terselesaikan. Oleh karena itu, rencana penerbitan SKB ini adalah langkah tepat sebagai upaya pembenahan dan peningkatan kualitas pendidikan di madrasah. Dengan demikian, mutu pendidikan madrasah diharapkan bisa sejajar dengan sekolah umum, terutama dalam bidang menajemen pengelolaannya. Dan, sebenarnya madrasah memiliki nilai lebih dibanding sekolah umum, yakni di bidang pendidikan agama. Aspek ini terbukti telah berkontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Maka dari itu, peran madrasah harus diperkuat.
Semoga dengan terbitnya SKB ini, madrasah akan lebih optimal dalam melaksanakan amanah pendidikan di negeri ini, sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Wallahu a’lam.

* Media Pembinaan, Inspirasi, Edisi No. 10/XXXVI Januari 2010

Sabtu, 16 Januari 2010

Menahan Marah

oleh : Imam Nur Suharno, M.Pd.I



Marah adalah gejolak jiwa yang mengarah kepada tindak kekerasan, yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Karenanya, kemampuan menahan marah menjadi faktor penting dalam menciptakan suasana damai dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat.

Kemarahan adalah kelemahan, sedangkan kesabaran adalah kekuatan. Sabda Rasulullah SAW, ''Orang yang kuat bukanlah yang kuat dalam gulat. Orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Kemampuan menahan marah merupakan karakteristik orang bertakwa yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai penghuni surga. Orang yang mampu menahan marah berarti telah mampu meleburkan dirinya ke dalam diri orang lain dan membuang jauh-jauh sifat egois.

Allah SWT berfirman, ''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mampu menahan marah dan memberi maaf kepada manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.'' (QS Ali Imran [3]:133-134).

Islam telah memberikan panduan praktis untuk mengatasi kebiasaan marah. Pertama, berusaha untuk berhenti bicara. Sebab, bila tetap bicara kemarahan akan semakin bertambah. Rasulullah SAW bersabda, ''Jika salah seorang di antara kamu marah maka diamlah. Nabi mengucapkannya sampai tiga kali.'' (HR Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Daud).

Kedua, membaca ta'awudz. Pada hakikatnya, marah yang tidak terkendalikan adalah dorongan setan. Dikisahkan, ada dua orang laki-laki yang saling mencaci di samping Rasulullah SAW. Salah satunya mencaci saudaranya sambil marah, hingga wajahnya memerah.

Maka Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat, andai ia ucapkan tentu kemarahan mereka akan hilang, yaitu a'udzu billahi minasysyaithanirrajim (aku berlindung kepada Allah dari kejahatan setan yang terkutuk).'' (HR Bukhari Muslim).

Dan ketiga, berwudhu. Sebab, pada dasarnya kemarahan adalah api yang membara, maka airlah yang akan memadamkan api tersebut. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api. Jika seseorang di antara kamu marah maka berwudhulah.'' (HR Ahmad dan Abu Daud).


Diterbitkan di Kolom Hikmah Republika, Sabtu, 16 Januari 2010