Rabu, 26 Mei 2010

Tiga Tanda Kematian

Oleh Imam Nur Suharno

Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bersahabat dengan Nabi Ya'kub AS. Suatu ketika Nabi Ya'kub berkata kepada malaikat maut. "Aku menginginkan sesuatu yang harus kamu penuhi sebagai tanda persaudaraan kita."

"Apakah itu?" tanya malaikat maut. "Jika ajalku telah dekat, beri tahu aku." Malaikat maut berkata, "Baik aku akan memenuhi permintaanmu, aku tidak hanya akan mengirim satu utusanku, namun aku akan mengirim dua atau tiga utusanku." Setelah mereka bersepakat, mereka kemudian berpisah.

Setelah beberapa lama, malaikat maut kembali menemui Nabi Ya'kub. Kemudian, Nabi Ya'kub bertanya, "Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?"

"Aku datang untuk mencabut nyawamu." Jawab malaikat maut. "Lalu, mana ketiga utusanmu?" tanya Nabi Ya'kub. "Sudah kukirim." Jawab malaikat, "Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan bungkuknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya'kub, itulah utusanku untuk setiap bani Adam.

Kisah tersebut di atas mengingatkan tentang tiga tanda kematian yang akan selalu menemui kita, yaitu memutihnya rambut; melemahnya fisik, dan bungkuknya badan. Jika ketiga atau salah satunya sudah ada pada diri kita, itu berarti malaikat maut telah mengirimkan utusannya. Karena itu, setiap Muslim hendaknya senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi utusan tersebut.

Kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap manusia sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Allah SWT, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." (QS Ali Imran [3]: 185).

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. "Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan." (HR Tirmidzi).

Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, "Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Teruntuk Ibu Hasri Ainun Habibie. Selamat Jalan, Ibu ….





Hikmah Republika (Rabu, 26 Mei 2010)

Kamis, 20 Mei 2010

Meraih Hidup Sukses

Oleh Imam Nur Suharno


Setiap manusia mendambakan hidup sukses. Hidup mapan tidak akan datang tiba-tiba. Tetapi, melalui proses panjang sebagai upaya mencapai tingkat hidup lebih baik dan mampu menciptakan suasana penuh damai, tenang, bahagia, menepis kegalauan, dan bayangan buruk dalam kehidupan.

Islam telah memberikan tuntunan dalam upaya meraih kesuksesan hidup tersebut. Pertama, dengan beriman dan beramal saleh. Allah SWT berfirman, Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS An-Nahl [16]: 97).

Kedua, ridha terhadap takdir Allah. Kesuksesan dapat diraih oleh mereka yang beriman kepada Allah SWT. Sedangkan, meyakini ketentuan dan kekuasaan (qadha dan qadar) Allah adalah bagian dari iman kepada-Nya. Dan, ridha itu adalah bagian dari iman pada qadha dan qadar-Nya.

Oleh karena itu, manusia wajib berhati-hati terhadap buaian angan dan dampak buruk yang ditimbulkan. Dan, jika ia berkeluh kesah dengan ketentuan-Nya, pasti akan celaka. Sabda Nabi SAW, Sesungguhnya Allah berfirman; 'Barangsiapa yang tidak ridha dengan qadha dan qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana yang Aku timpakan atasnya, maka sebaiknya ia mencari tuhan selain Aku. (HR Thabrani).

Ketiga, tawakal kepada Allah SWT. Maka itu, seorang Mukmin tidak boleh terlena oleh segala macam angan-angan dan bujuk rayu dunia. Ia harus yakin kepada Allah SWT dan berharap anugerah-Nya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. (QS At-Thalaq [65]: 3).

Keempat, selalu mengingat Allah SWT. Mereka yang senantiasa mengingat Allah, niscaya hatinya akan terasa damai, dan lebih dari itu hidupnya akan lebih baik, serta keresahan dan guncangan dalam hatinya akan terempaskan karena adanya cahaya Ilahi. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. (QS Ar-Ra'du [13]: 28-29).

Kelima, menyusun perencanaan ke depan. Yaitu, dengan memberikan perhatian terhadap pekerjaan hari ini dan tidak berlarut dalam keluh kesah dengan kenyataan masa lalu. Oleh karena itu, Nabi SAW selalu memohon perlindungan dari sifat keluh kesah.

Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keluh dan kesah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat tak berdaya dan malas. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari banyaknya utang dan penindasan orang lain. (HR Bukhari).

Setiap Muslim yang ingin hidup sukses, hendaknya selalu menanamkan paradigma berpikir sukses sehingga dapat meraih kesuksesan di dunia dan akhirat kelak. Amin. Wa Allahu A'lam.





Harian Republika Kolom HIkmah Kamis, 20 Mei 2010

Jumat, 07 Mei 2010

PILAR-PILAR KESUKSESAN GURU

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI

Dalam mutiara hikmah dikatakan, ”Aththoriqotu ahammu minal maddah, wal ustadz ahammu minaththoriqoh, wa ruhul ustadz ahammu min kulli syaiin.” (Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan ruh (semangat) guru lebih penting dari semua itu). Sebab, dengan ruh tersebut guru mampu menghidupkan suasana pembelajaran yang menyenangkan dengan sentuhan kasih, sayang, dan cintanya pada anak didik.
Guru sebagai pendidik merupakan gerbang awal dalam pembentukan kepribadian siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi terwujudnya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia. Guru merupakan orang yang ditangannya terletak masa depan bangsa. Guru tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, tetapi guru adalah arsitek peradaban. Karena itu, maju mundurnya sebuah bangsa ke depan berada di genggaman guru.
Berkaitan dengan peran guru dalam membentuk kepribadian siswa, Mahmud Samir al-Munir dalam kitabnya, Al-Mu’allimur Rabbani, menyebutkan tujuh pilar kesuksesan seorang guru. Pertama, semangat yang terkontrol. Seorang guru mesti menjadi orang yang ulet, telaten, peduli, dan memiliki tekad yang memadai. Sebab, peserta didik memerlukan hal baru, tambahan informasi, perhatian, dan didikan yang baik darinya.
Kedua, ilmu yang terus berkembang. Seorang guru yang sukses harus mempunyai dua kelebihan, yakni kelebihan horizontal (pengetahuan luas) dan vertikal (menguasai bidangnya secara mendalam). Guru yang tidak atau jarang membaca lambat laun akan kering wawasannya seiring permasalahan yang muncul. Karena itu, guru jangan sampai meninggalkan aktivitas membaca. Guru juga hendaknya mempunyai perpustakaan sendiri walaupun sederhana.
Ketiga, perencanaan yang rapi. Guru hendaknya memiliki perencanaan pendidikan yang matang, tertulis dan tersusun rapi. Perencanaan itu mesti dalam jangka waktu tertentu, terukur, dan realistis agar tujuan pendidikan bisa tercapai. Penulis menyebutnya dengan istilah ‘TUKER-KERIS’ (TUlis apa yang anda KERjakan, dan KERjakan apa yang anda tulIS.
Keempat, variasi kecerdasan. Guru itu seperti sungai, ia memberi minum kepada orang-orang yang kehausan, mengalir deras ke setiap lembah, mengubah tandusnya akal menjadi pengetahuan yang berbunga di lembah pengetahuan yang beraneka ragam.
Oleh karena itu, guru harus menjadi bapak bagi siswanya dalam ikatan batin, menjadi syekh dalam pendidikan rohani, menjadi pendidik dalam penyampaian ilmu, menjadi teman dalam penyampaian curhat, dan menjadi pemimpin dalam keteladanan.
Kelima, kepemimpinan yang bijaksana. Tidak cukup seorang guru hanya menyampaikan materi pelajaran tanpa memenuhi pendidikan yang sesunggunya, yang bertujuan menanamkan nilai-nilai luhur kepada anak didik. Disamping transformasi ilmu pengetahuan, guru juga harus mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Keenam, menjaga celah. Guru adalah arsitek peradaban. Masa depan anak didik adalah amanah di pundak guru. Baiknya generasi muda ke depan tergantung kepada kesungguhan guru dalam mempersiapkan anak didiknya. Oleh karena itu, guru harus mampu menjaga celah di bidang pendidikan. Sebab, jika pendidikan tidak bisa diharapkan, tunggulah akan kehancuran. Syauqi pernah berkata, ”Jika guru berbuat salah sedikit saja, akan lahirlah siswa-siswa yang lebih buruk lagi.”
Ketujuh, tidak mengenal putus asa. Kenyataan terkadang membuat guru sedih dengan fakta dekadensi morol pada generasi muda. Orang yang bertekad lemah, kadang menyatakan bahwa generasi sekarang tidak bisa diharapkan, tak ada harapan akan perbaikan. Tetapi, guru harus yakin, bahwa impian hari ini adalah kenyataan esok hari. Karena itu, guru perlu terus berbuat dan meninggikan bendera kebajikan guna menyiapkan generasi mendatang yang lebih baik. Wallahua ’alam.

* Majalah Pembinaan, Kajian Utama, Edisi Mei 2010.

Minggu, 02 Mei 2010

SIAP MENTAL KE PESANTREN

SELAIN menyekolahkan anak ke luar negeri, banyak pula orang tua mengirimkan putra-putrinya ke pesantren atau sekolah dengan sistem boarding (asrama). Meskipun berbeda, pola dan dampaknya hampir sama. Orang tua berjauhan dengan anak, orang tua cemas terhadap pergaulan anak, anak menjadi harapan orang tua untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Direktur Pendidikan dan Kepala Sekolah MTs. Husnul Khotimah, Kuningan, Imam Nur Suharno (41), mengatakan, hal yang harus diperhatikan saat seseorang akan melanjutkan pendidikan jauh dari orang tua adalah, hal itu merupakan perpaduan keinginan bersama antara orang tua maupun anak. Kalau hanya keinginan orang tua atau anak, akan muncul kendala.

Pasalnya, modal utama sekolah berjauhan dengan orang tua adalah betah atau tidak. Oleh karena itu, jauh-jauh hari sebelum anak itu berangkat menuntut ilmu, orang tua harus memberi pemahaman terlebih dahulu bagaimana tata cara hidup berjauhan dengan orang tua.

"Kunci belajar di pesantren itu betah. Kalau tidak betah, anak pintar pun akan kehilangan konsentrasi belajar. Sebaliknya, bila anak itu pas-pasan tetapi betah di pesantren, ia akan dapat konsentrasi dan belajar dengan baik," ujar Imam.

Pendek kata, kata Imam, orang tua mengirimkan anak-anaknya ke pesantren karena ingin anak-anaknya pintar dan saleh. Bahkan kalau harus memilih di antara keduanya, mereka (orang tua-red.) akan memilih anak yang saleh ketimbang pintar.

Hal yang dapat dilakukan orang tua saat anak belajar berjauhan adalah doa. Bila segala upaya sudah dilakukan, langkah berikutnya adalah menguatkan diri dengan doa. Sebab yang membolak-balikkan hati itu, bukan siapa-siapa tetapi Allah SWT.

Pada umumnya, kata Imam, orang tua memasukkan anak ke pesantren, ingin memperoleh tempat aman dan nyaman bagi putra-putrinya. Tempat yang sesuai dengan harapan orang tua. Apalagi semua tempat saat ini, memang sudah sangat mengkawatirkan orang tua. Pendek kata, orang tua meghendaki pendidikan yang dberikan ini menghasilkan peserta didik menjadi anak saleh (untuk diri sendiri) dan menjadi Muslih (mengajak kepada orang lain) tanpa paksaan.

Pola aktivitas keseharian juga berbeda. Bila di rumah anak-anak lebih banyak menonton televisi, kalau di pesantren lebih banyak mengkaji Alquran. Hal sama terjadi juga dalam hal makan dan minum. "Di rumah, makan, minum, dan mandi tidak harus mengantre. Sepintas tidak ada apa-apanya tetapi kemudian, bisa dirasakan sendiri," ujarnya.

Kehidupan pesantren menurut Imam, mengantarkan anak pada kehidupan 24 jam bersama dengan teman. Bila di rumah hanya mengenal beberapa orang, maka di pesantren akan mengenal banyak orang dengan belakang keluarga dan daerah yang berbeda-beda.

Di situlah akan terjadi kerukunan yang lintas batas, menanamkan dan menjalin ukhuwah. Makanya di sekolah itu ditanamkan saling menghargai dan menghormati. Yang tua menyayangi yang muda, yang muda hormat kepada yang tua. Di pesantren juga diajarkan akhlak kepada guru, orang tua, dan teman.

Jika di sekolah biasa paling lama hanya 2-7 jam, di pesantren 24 jam. Pesantren jadi sebuah laboratorium, tempat salat berjamaah, puasa sunah bersama, makan dan mandi bersama (harus ngantre). Di situ ada ujian kesabaran dan berlatih mandiri. Lambat laun kehidupan ini akan membentuk anak.

”Oleh karena itu, lagi-lagi doa tidak hanya akan menguatkan anak tetapi juga guru pada saat membimbing. (Eriyanti/”PR”)***


wawancara PR dengan Direktur Pendidikan dan Kepala MTs Husnul Khotimah
Penulis: