Selasa, 12 Juli 2011

MENANGKAL RADIKALISME

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, dan Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Istilah radikalisme kembali mencuat di kalangan masyarakat pasca-ledakan bom bunuh diri yang dilakukan M Syarif (MS), di masjid Adz-Dzikra, kompleks markas kepolisian Cirebon Jawa Barat beberapa waktu yang lalu. Tentu, perbuatan MS tersebut, apapun dalihnya, tidak dibenarkan dalam ajaran agama manapun.
Sikap nekad yang dilakukan MS itu telah melahirkan ketakutan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak disangka, tempat yang dirasa paling aman sekalipun, seperti masjid, tidak luput dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Jika ketakutan ini terus menghantui, tidak menutup kemungkinan akan dapat melumpuhkan tatanan kehidupan masyarakat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembukaan musyawarah perencanaan pembangunan nasional di Wisma Bidakara, Jakarta, mengatakan gangguan keamanan yang disebabkan oleh terorisme, konflik horizontal, dan gerakan radikalisme bermotifkan agama telah menjadi ancaman serius. Untuk itu, masyarakat diajak bertanggung jawab untuk menyelamatkan karakter bangsa terutama generasi muda.
Radikalisme atau at-tatharruf, menurut Yusuf Al-Qardhawi, dalam bukunya Al-Shawah Al-Islamiyah Bainal Juhud Wal Tatharruf, secara bahasa adalah berada di pinggir, jauh dari tempat yang berada di tengah. Jadi, at-tatharruf pada asalnya untuk membahasakan materi seperti berdiri, duduk atau berjalan di pinggir. Kemudian dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat maknawi seperti radikalisme dalam agama, pemikiran dan tingkah laku.
Radikalisme adalah sikap yang jauh dari pemikiran jalan tengah dan moderat, dan selalu bersikap tekstual atas dalil-dalil yang ada tanpa berusaha memahaminya secara mendalam. Sedangkan, Islam adalah manhaj yang mengajarkan jalan tengah dalam segala hal; baik akidah, ibadah, maupun akhlak. Termasuk dalam menentukan peraturan hukum. Karenanya Islam senantiasa sesuai dengan waktu dan tempat hingga bumi ini kembali kepada Pencipta Allah.
Dengan demikian, radikalisme tidak sejalan dengan karakteristik Islam dan ajaran tengah yang menjadi ciri khasnya. Juga tidak sejalan dengan pemahaman benar Alquran dan hadits dari salafus shaleh. Intelektualitas radikalisme hanya akan menghasilkan kekerasan, kekacauan, kehancuran dan bencana yang merupakan fitnah paling berbahaya (Dr Musthafa Lutfi MA dalam bukunya Melenyapkan Hantu Terorisme dari Dakwah Kontemporer).
Muncul pertanyaan, apa faktor penyebab munculnya paham radikalisme tersebut? Dr Musthafa Lutfi MA dalam studi ilmiahnya memaparkan secara singkat sebab-sebab utama munculnya kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama.
Pertama, kejahilan terhadap hakikat ajaran Islam. Kejahilan yang dimaksud di sini adalah mengetahui sesuatu secara setengah-setengah, pada saat yang sama yang bersangkutan merasa telah menguasai ilmu secara menyeluruh padahal masih sangat banyak yang belum diketahuinya. Ia hanya mengetahui permukaan saja dan tidak memperhatikan apa yang ada di kedalamannya.
Kedua, melampui batas (al-ghulu) dalam pemikiran dan beragama. Ghulu dalam beragama ini maksudnya adalah bersikap keras dan berlebihan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran agama sehingga melampui batas. Bentuk ghulu dalam pemikiran dan beragama ini di antaranya adalah terlalu banyak mengharamkan sesuatu, mudah mengkafirkan kaum muslimin. Seperti, mudah mengkafirkan pemerintah dengan alasan tidak menjalankan hukum Allah, mengkafirkan bangsa-bangsa muslim dengan dalih mengikuti penguasa, mengkafirkan kaum muslimin karena ‘muwalaat zhahirah’ dukungan lahiriyah terhadap orang kafir, dan pengkafiran pegawai pemerintah.
Menurut hemat penulis, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guna menangkal gerakan radikalisme yang mengancam kehidupan dalam masyarakat. Pertama, menanamkan pendidikan agama Islam (PAI) sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.
Di keluarga, perlu diupayakan terus implementasi program Kemenag, yaitu mengaji bakda Maghrib sampai Isya’. Untuk di sekolah perlu ditinjau kembali jumlah jam mata pelajaran (matpel) PAI yang hanya dua jam per-pekan. Matpel PAI di sekolah yang di antaranya mencakup materi akidah, fiqih, akhlak, alquran, hadits, dan SKI, jelas tidak akan cukup waktu hanya dengan dua jam per-pekan. Untuk itu, selain dengan upaya penambahan jumlah jam mata pelajaran PAI, juga dengan mengintegrasikan mata pelajaran umum dengan PAI.
Sedangkan, untuk penanaman PAI di tengah masyarakat dapat diupayakan dengan merevitalisasi kurikulum materi majelis taklim yang ada di masyarakat. Sebab, disinyalir materi majelis taklim terkesan asal jalan tanpa kurikulum yang mamadai. Tentu hal ini menjadi “PR” tersendiri bagi para kyai, ajengan, ataupun ustadz sebagai tokoh masyarakat.
Kedua, menghidupkan kembali organisasi kepemudaan sebagai upaya untuk memberikan wadah kreatifitas para pemuda agar mereka terpantau dengan baik dan agar bakat mereka pun dapat tersalurkan. Ketiga, menghidupkan budaya ilmiah di kalangan mahasiswa. Karena salah satu obyek pencucian otak adalah kalangan mahasiswa, maka upaya untuk membentengi berkembangnya paham radikalisme di tengah-tengah perguruan tinggi (PT), hendaknya pihak PT memfasilitasi mahasiswa dengan mengadakan seminar-seminar yang bertemakan bahaya radikalisme, terorisme, dan sejenisnya.
Tentu, upaya menangkal paham radikalisme di atas tidak akan dapat terwujud dengan baik tanpa ada peran (kerja sama) dari semua pihak, terutama dari pemerintah. Wallahu a’lam.

• Republika, Lenyepaneun, 22/6/2011

Tidak ada komentar: