Minggu, 03 Juni 2012

MENJADI KEPALA SEKOLAHN YANG EFEKTIF


Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

            Institusi pendidikan merupakan sebuah lembaga yang bertugas mengantarkan peserta didik menjadi manusia berkualitas. Karenanya, semua kegiatan yang dilakukan di dalamnya selalu dimaksudkan untuk cita-cita luhur tersebut. Dalam praktiknya lembaga ini sering dihadapkan pada problem manajerial dan administratif, sehingga tujuan dan sasaran pendidikan yang setali tiga uang dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak optimal. Akibatnya, banyak lulusan yang dihasilkannya hanya menampilkan fenomena ironis dan justru menebalkan pesimisme kita terhadap lembaga pendidikan itu sendiri.
            Di era otonomi institusi pendidikan sekarang ini, tugas dan tanggung jawab mewujudkan sekolah bermutu tak lepas dari bagaimana kompetensi kepala sekolah dalam memimpin dan mengelola lembaganya bersama stakeholders. Sudah seharusnya kepala sekolah memahami dan menerapkan konsep-konsep ilmu manajemen yang berkembang dewasa ini.
            Keberhasilan pendidikan erat kaitannya dengan kualitas dan kompetensi orang-orang yang memimpin di lapangan, yaitu kepala sekolah. Karena itu diperlukan standar untuk menilai kompetensi kepala sekolah. Seorang kepala sekolah dikatakan kompeten apabila memenuhi lima standar kompetensi (UU Sisdiknas). Dalam implementasinya, standar ini hendaknya mendapat pengawasan ekstra dari para pengambil kebijakan pendidikan. Jika tidak, selamanya pendidikan kita tidak akan bergeser dari posisinya.
            Untuk menjadi kepala sekolah yang berkualitas (efektif), ia harus memiliki lima standar kompetensi, yaitu kompetensi profesional, wawasan kependidikan dan manajemen, kepribadian, sosial, dan kewirausahaan.
Pertama, kompetensi profesional. Kemampuan dalam menyusun perencanaan sekolah, mengelola kelembagaan sekolah, menerapkan kepemimpinan dalam pekerjaan, mengelola tenaga kependidikan, mengelola sarana dan prasarana, mengelola hubungan sekolah-masyarakat, mengelola sistem informasi sekolah, mengelola kesiswaan, mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar, mengelola ketatausahaan dan keuangan sekolah, menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan, menerapkan kemajuan IPTEK dalam pendidikan, menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, melakukan supervisi, dan melakukan evaluasi dan pelaporan.
            Kedua, kompetensi wawasan kependidikan dan manajemen. Kemampuan dalam menguasai landasan pendidikan, menguasai kebijakan pendidikan, dan menguasai konsep kepemimpinan dan manajemen pendidikan.
Ketiga, kompetensi kepribadian. Komponennya meliputi: bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlak mulia; memiliki etos kerja yang tinggi; bersikap terbuka; berjiwa pemimpin; mampu mengendalikan diri; mampu mengembangkan diri; dan memiliki integritas kepribadian.
Keempat, kompetensi sosial. Yaitu kemampuan bekerja sama dengan orang lain; berpartisipasi dalam kegiatan kelembagaan/sekolah; dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
Kelima, kompetensi kewirausahaan. Yaitu kemampuan dalam memberdayakan potensi sekolah secara optimal ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan produktif yang menguntungkan sekolah; dan mampu menumbuhkan jiwa kewirausahaan (kreatif, inovatif, dan produktif) di kalangan warga sekolah.
Selain kelima kompetensi di atas, seorang kepala sekolah yang efektif, menurut Soebagio Atmodiwiro, harus memiliki keterampilan teknis (technical skill), keterampilan hubungan manusia (human skill), keterampilan membuat konsep (conceptional skill), keterampilan pendidikan dan pengajaran, dan keterampilan kognitif.
Dengan demikian, untuk mewujudkan sekolah berkualitas, seorang kepala sekolah dituntut mampu bekerja sama dan sama-sama kerja dengan berbagai pihak.

Fajar Cirebon, Opini, 15/5/2012

Jumat, 01 Juni 2012

NILAI-NILAI SHALAT

Oleh H Imam Nur Suharno MPdI

Peristiwa Isra Mi’raj menjadi bukti perjalanan Nabi SAW menembus dimensi waktu dan tempat, dalam rangka menerima langsung perintah shalat dari Allah SWT, tanpa melalui malaikat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan shalat bagi kehidupan kaum Muslimin. Peringatan Isra Mi’raj merupakan momentum bagi kaum Muslimin untuk mengevaluasi kualitas dan mengambil pelajaran (ibrah) dari nilai-nilai shalat. Sehingga, shalat yang dilakukan mampu mengubah seseorang menjadi lebih bermakna dalam kehidupan pribadi dan sosial. Di antara nilai-nilai shalat itu adalah, pertama, shalat mendidik untuk menyucikan diri dari sifat-sifat buruk. ”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45). Kedua, shalat mendidik kesatuan dan persatuan umat. Orang shalat menghadap ke satu tempat yang sama, yaitu Baitullah. Hal ini menunjukkan pentingnya mewujudkan persatuan dan kesatuan umat. Perasaan persatuan ini akan menimbulkan saling pengertian dan saling melengkapi antarsesama. Ketiga, shalat mendidik disiplin waktu. Setiap yang shalat selalu memeriksa masuknya waktu shalat, berusaha menunaikannya tepat waktu, sesuai ketentuan, dan menaklukkan nafsunya untuk tidak tenggelam dalam kesibukan duniawi. Keempat, shalat mendidik tertib organisasi. Menyangkut tertibnya jamaah shalat yang baris lurus di belakang imam dengan tanpa adanya celah kosong (antara yang satu dengan jamaah di kanan kirinya) mengembalikan kaum Muslimin pada perlunya nidzam (tertib organisasi). Kelima, shalat mendidik ketaatan kepada pemimpin. Mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya walau sesaat, menunjukkan adanya ketaatan dan komitmen atau loyal, serta meniadakan penolakan terhadap perintahnya, selama perintah itu tidak untuk bermaksiat. ”Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR Ahmad). Keenam, shalat mendidik keberanian mengingatkan pimpinan. Jika imam lupa, makmum mengingatkannya (membaca subhanallah), hal ini menunjukkan keharusan rakyat untuk mengingatkan pemimpinnya jika melakukan kesalahan. Ketujuh, shalat mendidik persamaan hak. Pada shalat berjamaah, dalam mengisi shaf tidak didasarkan pada status sosial jamaah, tidak pula memandang kekayaan atau pangkat, walau dalam shaf terdepan sekalipun. Gambaran ini menunjukkan adanya persamaan hak tanpa memperdulikan tinggi kedudukan maupun tua umurnya. Kedelapan, shalat mendidik hidup sehat. Shalat memberikan kesan kesehatan, yang diwujudkan dalam gerakan di setiap rakaat, yang setiap harinya minimal 17 rakaat secara seimbang. Hal ini merupakan olahraga fisik dengan cara sederhana dan mudah gerakannya. Jika nilai-nilai shalat tersebut di atas diejawantahkan dalam kehidupan setiap Muslim, tidak menutup kemungkinan perubahan ke arah yang lebih baik akan dapat terwujud. • Republika, Hikmah, 31/5/2012