Senin, 15 Desember 2008

REFLEKSI HARI IBU : JASA IBU

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan membentuk dinamika zaman. Lahirnya generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang ibu. Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan. pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak. Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban dan pusat pembentukan nilai, tak seorang pun menyangsikannya.
Islam memberikan perhatian khusus kedudukan seorang ibu dalam pergaulan masyarakat. Dikisahkan, seorang sahabat yang bernama Jahimah datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku ingin ikut berperang dan minta pendapatmu.” Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu masih punya ibu? Jawabnya, “Masih ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Uruslah ibumu, sesungguhnya surga terletak di bawah telapak kakinya.”
Rasulullah SAW menjadikan bakti kepada ibu lebih utama daripada berjihad di jalan Allah SWT. Jihad oleh Jahimah itu adalah jihad ofensif dengan peserta tertentu. Adapun jihad defensif menjadi kewajiban setiap muslim, karena ia membela keselamatan ibu.
Suatu ketika ada seorang sahabat datang menemui Rasulullah SAW menanyakan siapakah yang paling berhak mendapatkan bakti dari anak. “Ya Rasulullah siapakah yang paling berhak menerima baktiku?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Kemudian siapa lagi? “Ibumu.” Siapa lagi? “Ibumu.” Kemudian siapa lagi? “Bapakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meskipun banyak ayat Al-Qur’an berpesan agar berbakti kepada kedua orang tua, namun ada tekanan lebih khusus kepada ibu, karena perjuangan dan pengorbanannya. Allah SWT berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbakti) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman : 14).
Dalam ayat yang lain, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan….” (QS. Al-Ahqaf : 15).
Begitu besarnya jasa kedua orang tua, terutama ibu, sehingga apapun yang kita
lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tua tidak akan dapat membalas
jasa keduanya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah bin Umar melihat seseorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja ‘Si Ibu’ menginginkan. Orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Jawab Abdullah, “Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu”.
Orang tua kita telah mengurusi kita mulai dari kandungan dengan beban yang dirasakannya sangat berat dan susah payah. Demikian juga ketika melahirkan, ibu mempertaruhkan jiwanya antara hidup dan mati. Ketika kita lahir, ibu-lah yang menyusui dan membersihkan kotoran. Semuanya dilakukan oleh ibu kita, bukan oleh orang lain. Ibu selalu menemani ketika kita terjaga dan menangis baik di pagi, siang atau malam hari. Apabila kita sakit tidak ada yang bisa menangis kecuali ibu. Sehingga kalau ditawarkan antara hidup dan mati, ibu memilih mati agar kita tetap hidup. Itulah jasa seorang ibu terhadap anaknya. Wallahu a’lam.

Kamis, 04 Desember 2008

BERQURBAN

Oleh Imam Nur Suharno, S.Pd., M.Pd.I.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al Kautsar [108] : 1-2).
Dalam ayat di atas, setelah Allah SWT menyebutkan nikmat-nikmat yang begitu banyak, Allah SWT mengingatkan hamba-hamba-Nya agar melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat dan berqurban sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.
Berkaitan dengan qurban, Allah SWT menegaskan dalam ayat-Nya yang lain, “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka …” (QS. Al Hajj [22] : 34)
Qurban, sesuai makna harfiahnya berasal dari kata qaruba-yaqrubu-qurbanan yang berarti dekat, adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena Dia Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Secara ritual, melalui qurban itu, manusia bermaksud menggapai ridha Ilahi. Sedangkan dimensi sosial, berqurban sebagai ajang solidaritas sesama manusia.
Rasulullah SAW telah memerintahkan berqurban dengan bahasa yang tegas dan lugas, bahkan disertai dengan ancaman. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW melarang seseorang yang memiliki kelapangan harta untuk mendekati tempat shalat (masjid) jika ia tidak menyembelih qurban. Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban berqurban.
Berqurban tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan qurban, namun lebih dari itu, berqurban berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah SWT dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya.
Berqurban juga berarti menyembelih sifat-sifat hewan yang ada dalam diri kita. Sangatlah berat, tidak semua orang yang berqurban mampu melakukannya kecuali mereka yang sadar bahwa semua yang mereka miliki (harta, jabatan, keluarga, popularitas, dll) hanyalah titipan Allah SWT yang tidak layak untuk disombongkan dan bisa diambil-Nya kapan saja Dia kehendaki.
Bila sikap ini sudah dimiliki oleh umat Islam, maka umat akan maju dalam segala hal. Betapa tidak? Bagi yang berprofesi sebagai pengusaha, ia akan berqurban dengan bisnis yang halal. Bagi orang yang berpunya, ia akan berqurban dengan banyak berderma. Seorang politisi akan berqurban demi kemaslahatan umum. Pemimpin berqurban untuk kesejahteraan rakyatnya dan begitu seterusnya.
Karena itu Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, ”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Hajj [22] : 37). Wallahu a’lam.

TIPOLOGI IBADAH HAJI

Oleh Imam Nur Suharno

“Akan datang suatu masa yang dialami manusia yaitu: orang kaya dari umatku yang melaksanakan ibadah haji (niatnya) karena wisata, orang kalangan menengah (niatnya) karena berdagang, orang kalangan ahli pengetahuan (niatnya) karena ria dan sum’ah, dan kaum fakir di antara mereka (niatnya) karena untuk meminta-minta.” (HR Ibnu Jauzy).
Hadits di atas menjelaskan tentang tipologi orang-orang yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Pertama, ibadah haji untuk wisata. Yaitu orang-orang yang diberikan kecukupan harta, kemudian ia melaksanakan ibadah haji dengan tujuan wisata ke tanah suci. Sehingga ibadah haji yang dilaksanakan tidak berpengaruh terhadap perbaikan pribadi, keluarga dan masyarakatnya, melainkan agar masyarakat menilainya sebagai orang yang kaya.
Kedua, ibadah haji untuk berdagang. Yaitu orang-orang dari kalangan menengah yang menunaikan ibadah haji dengan tujuan utamanya untuk berdagang. Sehingga aktifitasnya di tanah suci lebih banyak pada aktifitas berdagang daripada ibadah kepada Allah SWT. Orientasinya adalah untung dan untung.
Ketiga, ibadah haji karena ria dan sum’ah. Yaitu para ahli pengetahuan yang melaksanakan ibadah haji hanya sekedar untuk mengejar gelar haji, sehingga sepulang dari tanah suci dipanggil pak haji atau bu haji.
Keempat, ibadah haji untuk meminta-minta. Yaitu orang-orang dari kalangan kaum fakir yang berangkat ke tanah suci dalam rangka untuk mengharap belas-kasihan orang lain, dengan harapan sekembalinya dari tanah suci dapat mengumpulkan harta yang cukup. Dan aktifitas meminta-minta ini menjadi profesi tahunan baginya.
Sedangkan tipologi ibadah haji yang akan mendapatkan predikat haji mabrur adalah ibadah haji yang dilaksanakan dengan penuh keimanan dan keikhlasan semata-mata karena Allah SWT. Tipologi seperti inilah yang dijamin oleh Allah SWT dengan surga sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Tidak ada balasan bagi haji mabrur melainkan surga.” (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Menurut Imam Nawawi dalam syarah Muslim, ”Haji mabrur ialah haji yang tidak dikotori dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riya, tidak ada sum’ah, rafats (perkataan kotor) dan tidak fusuq.”
Kemabruran ibadah haji tidak ditentukan oleh penilaian masyarakat atau orang lain. Akan tetapi sejauhmana ia mampu memberikan teladan bagi keluarga dan masyarakatnya. Ia akan berusaha untuk menjadi bagian yang dapat menyelesaikan masalah, bukan bagian dari masalah itu sendiri.
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW bersabda, ”Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.” Wallahu a’lam.