Selasa, 14 Juli 2009

PENDIDIKAN KARAKTER DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Kepala MTs Husnul Khotimah Kab. Kuningan

”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asysyams [91]: 8-10).
Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan, pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan tersebut, penyelenggaraan pendidikan di sekolah mestinya bukan sekadar to transfer knowledge atau to change mental attitude. Orientasi pendidikan ke depan harus diarahkan untuk membentuk watak (karakter) peserta didik.
Bambang Q-Anees dan Adang Hambali dalam bukunya, menyebutkan bahwa pendidikan karakter berdiri di atas dua pijakan. Pertama, keyakinan bahwa pada diri manusia telah terdapat benih-benih karakter dan alat pertimbangan untuk menentukan tindakan kebaikan. Namun seperti sebuah benih, ia belum menjadi apa-apa, ia harus dibantu untuk ditumbuh-kembangkan. Kedua, pendidikan berlangsung sebagai upaya pengenalan kembali sekaligus mengafirmasi apa yang sudah dikenal dalam aktualisasi tertentu.
Lebih lanjut, mengutip Thomas Lickona dalam Pendidikan Karakter Berbasis Alquran, Bambang Q-Anees dan Adang Hambali menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan guna merealisasikan pendidikan karakter ini. Pertama, menanamkan sikap mental peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Dengan demikian, peserta didik memiliki kemampuan menjaga agamanya dengan selalu menjaga hubungan dengan Allah SWT (hablum minallah). Peserta didik juga akan mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya (muraqabatullah).
Melalui hablum minallah dan muraqabatullah ini, peserta didik tidak akan menjatuhkan dirinya ke dalam perilaku negatif, seperti penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran antarpelajar, kekerasan di kalangan pelajar, dan perilaku negatif lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Kedua, menumbuhkan kecerdasan sosial peserta didik yang diarahkan pada pembentukan dan penanaman sikap yang harmonis, selaras, seimbang dengan masyarakat atau dunia di sekitarnya (hamblum minannas).
Ketiga, mengembangkan kreativitas dan keterampilan peserta didik, dalam arti melatih kemampuan untuk menggali, mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia (ahsanu amala).
Dalam hal ini, kurikulum yang diterapkan mesti dikembangkan ke arah peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; penekanan di bidang agama; memperhatikan dinamika perkembangan global; dan menguatkan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Dengan demikian, upaya penyelenggaraan pendidikan diharapkan mampu menjadi pilar utama dalam mempertahankan identitas dan kepribadian peserta didik di tengah terpaan arus globalisasi yang tidak bisa dihindari. Wallahu a’lam.


Pikiran-Rakyat, Pendidikan, Forum Guru, Rabu 1 Juli 2009, hal 21

Tidak ada komentar: