Senin, 12 Juli 2010

BERHENTI MEMFITNAH

Oleh Imam Nur Suharno MPdI

“Islam sangat mengecam perilaku memfitnah orang lain. Memfitnah itu lebih kejam daripada membunuh. Artinya, berbuat fitnah itu lebih besar dosanya daripada membunuh.” (Q.S. Albaqarah [2]: 217).
Ali bin Abi Thalib r.a pernah menyebut orang yang membiarkan lidahnya bebas tak terkendali dalam menyebarkan keburukan dalam masyarakat adalah pendosa besar. “Orang yang mengatakan sesuatu keburukan dan orang yang membiarkannya adalah sama-sama berdosa.” ujar Khalifah Ali.
Alquran telah memperingatkan akan beratnya siksa bagi orang-orang yang suka memfitnah atas kehormatan seseorang dan mengatakan tentang kesalahan-kesalahan tersembunyi mereka. ”Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (Q.S. Annur [24]: 19).
Pada hakikatnya, kebiasaan memfitnah itu lahir dari rasa dengki, sombong, angkuh, tidak menerima kebenaran, dan menganggap orang lain lebih rendah darinya. Memfitnah adalah tindakan paling kejam sebab bisa berdampak pada kehancuran, kemusnahan, dan permusuhan. Ketika Rasulullah SAW. ditanya sahabatnya, ”Siapakah Muslim yang terbaik itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Seseorang yang selamat dari lidah dan tangannya.” (Muttafaq’alaih).
Untuk itu, Islam memberikan solusi terbaik untuk menghindarkan diri dari perilaku memfitnah.
Pertama, jangan suka menggibah dan mencari-cari kesalahan orang lain. Menyebar gibah dan mencari-cari kesalahan orang lain merupakan perilaku yang sangat dibenci dan harus dihindari.
Allah SWT berfirman, ”Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah satu dari kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Alhujurat [49]: 12).
Kedua, jangan suka memata-matai orang lain. Memata-matai kekurangan orang lain, apalagi untuk disebarluaskan, adalah perilaku yang tidak terpuji. Ia sibuk melihat kekurangan dan kesalahan orang lain, sedangkan kekurangan dirinya sendiri terlupakan. Rasulullah SAW bersabda, ”Jangan suka menyelediki, mematai-matai, dan menjerumuskan orang lain. Jadilah kalian sebagai hamba Allah yang besaudara.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, jangan suka menyebarkan kekurangan orang lain. Orang yang gemar membicarakan kekurangan orang lain, sejatinya ia sedang memperlihatkan jati dirinya yang asli. Semakin banyak kekurangan yang ia bicarakan/sebarkan, maka semakin jelas keburukan diri si penyebar.
Kendati mengetahui kekurangan yang ada pada diri orang lain, langkah terbaik kita adalah mengingatkan dan tidak menyebarluaskannya. Saling mengingatkan dan saling mengajak kepada kebenaran. Sabda Rasulullah SAW, ”Barang siapa mengetahui keburukan saudaranya, kemudian ia menutupinya, pada hari kiamat Allah akan menutupi dosanya.” (H.R. Thabrani).
Keempat, jangan suka mencurigai orang lain. Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa.” (Q.S. Alhujurat [49]: 12).
Kelima, tidak merendahkan orang lain. Sebab, bisa jadi orang yang direndahkan lebih baik dan terhormat daripada orang yang merendahkan. Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (Q.S. Alhujurat [49]: 11).
Keenam, membiasakan klarifikasi (tabayun). Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Alhujurat [49]: 6).
Dengan demikian, ”Sungguh, bahagia orang yang dijauhkan dari fitnah. Sungguh, bahagia orang yang dijauhkan dari fitnah. Sungguh, bahagia orang yang dijauhkan dari fitnah dan orang yang dijuji lalu sabar. Sementara itu, kecelakaan berhak dirasakan orang yang berinteraksi dengan fitnah dan berbuat (berusaha mencarinya) di dalamnya.” (H.R. Abu Dawud). Wallahu a’lam.

* Pikiran Rakyat, Renungan Jumat, Jumat, 25/6/2010.

Tidak ada komentar: