Kamis, 05 Agustus 2010

Pesantren dan Pendidikan Moral Bangsa

Oleh Imam Nur Suharno, SPd, MPdI

ADA beberapa indikator yang digunakan untuk melihat kualitas moral kehidupan suatu bangsa. Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa.
Pertama, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, ketidakjujuran yang membudaya. Ketiga, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru, dan figur pemimpin. Keempat, pengaruh per group terhadap tindakan kekerasan. Kelima, meningkatnya kecurigaan dan kebencian.
Keenam, penggunaan bahasa yang memburuk. Ketujuh, penurunan etos kerja. Kedelapan, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara. Kesembilan, meningginya perilaku merusak diri. Dan Kesepuluh, semakin kaburnya pedoman moral.
Dekadensi moral di era globalisasi dewasa ini, bila melihat apa yang disampaikan oleh Thomas Lickona tentang ciri penurunan moral, sangat mengkhawatirkan. Maka itu, agar masyarakat dapat terjaga dari serangan budaya yang tidak sesuai dengan norma agama dan moral bangsa, posisi pendidikan agama dan moral menjadi semakin penting.
Para tokoh agama pun sangat mendorong peningkatan pendidikan moral dan etika bagi masyarakat. Hal ini merespons beredarnya rekaman video mesum artis yang mirip Ariel, vokalis Peterpan dan artis Cut Tari serta Luna Maya akhir-akhir ini.
Untuk itu, Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Syuhada Bahri, menegaskan, pembangunan mental akan membuat seseorang memiliki kesadaran akan kehadiran Tuhan. Jika kesadaran ini telah melekat maka siapa pun, terlepas dari agama yang mereka anut, akan merasa Tuhan selalu mengawasinya dan tak akan membuatnya berbuat asusila (Republika, 11/6).
Berbicara tentang pendidikan agama dan moral, maka tak bisa dilepaskan dengan sistem pendidikan di pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang memiliki andil besar dalam membangun bangsa ini.
Sejarah telah membuktikan, betapa besar arti pentingnya pesantren dalam rentang perjalanan bangsa Indonesia pada zaman penjajahan. Pesantren telah melakukan kegiatan yang pada hakikatnya terpusat pada pengembangan sumber daya manusia, yang kemudian amat berperan pada pergerakan perjuangan untuk merebut kemerdekaan.
Sesuai dengan pendapat Wardiman Djojonegoro (1994) yang menyatakan bahwa pesantren telah membuktikan peranannya sebagai salah satu komponen bangsa dalam usaha menyediakan manusia Indonesia yang dibutuhkan pada era pra kemerdekaan. Sejarah juga menunjukkan banyak tokoh nasional dan internasional yang lahir dari lingkungan pesantren.
Hal ini dipertegas oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, Selama ini, pesantren telah sangat berjasa membangun fondasi agama dan mendidik bangsa. (Republika, 5/5).
Di antara tokoh bangsa yang lahir dari perut pesantren adalah: (1) KH Sahal Mahfudz. Beliau menempuh pendidikan selain mengaji kepada orangtuanya sendiri juga di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Tsanawiyah, kemudian melanjutkan studi di Pesantren Bendo, Kediri dan Pesantren Sarang, Rembang. Sejumlah kursus pun pernah diikutinya, antara lain: kursus Bahasa Inggris, Administrasi, Manajemen, dan lain-lain.
(2) KH Hasyim Muzadi. Menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, kemudian melanjutkan di IAIN Sunan Ampel, Malang, dan juga sempat nyantri di Pesantren Al-Anwar dan berguru langsung dari KH Abdullah Faqih dari Langitan, dan (alm) KH Anwar dari Bululawang, Malang.
(3) Prof DR A Mukti Ali. Alumni dari Pesantren Termas, Kediri, Pesantren Lasem dan Pandangan, Jawa Timur. Pernah nyantri di Pesantren Tarekat, Pandangan, Tuban. Kemudian melanjutkan di Sekolah Tinggi Islam (STI), Yogyakarta yang kemudian berubah menjadi UII.
Pernah belajar di Mekkah dan Madinah, kemudian melanjutkan di program Phd di Universitas Karachi, dan kemudian ia meneruskan studi di Institut of Islamic Studies, Me Gill University, Montreal, Kanada.
(4) Prof DR Ahmad Syafii Maarif. Beliau menempuh pendidikan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Kemudian melanjutkan di Universitas Cokroaminoto, Surakarta dan IKIP Yogyakarta. Studi di Universitas Illinois Utara, mendapat gelar MA dalam bidang Ilmu Sejarah dari Universitas Ohio, AS, dan gelar Phd dalam bidang Ilmu Sejarah dari Universitas Chicago.
(5) DR HM Hidayat Nur Wahid MA. Setamat dari sekolah dasar negeri (SDN) di desanya, beliau melanjutkan study di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo, Jawa Timur. Kemudian melanjutkan di Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor; IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; dan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi (S1, S2, S3).
Kemudian, seperti Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Kahar Muzakir, Ahmad Dahlan, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Din Syamsuddin, M Maftuh Basyuni, Mahfud MD, Jimly Assiddiqie, dan masih banyak lagi tokoh bangsa yang lahir dari proses pendidikan pesantren yang tidak cukup untuk disebutkan di sini.
Hal ini membuktikan bahwa pesantren mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, berpengetahuan luas, berpikiran maju, berwawasan kebangsaan yang kuat, yang dibingkai dengan keimanan dan ketakwaan, sebagai motivasi utamanya. Karena itu, keberadaan pesantren memang sangat dibutuhkan, guna membenahi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, keberadaan pesantren tidak bisa dilihat sebelah mata. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya memberikan perhatian terhadap pengembangan dan pemberdayaan pesantren guna membangun budaya bangsa yang santun, cinta damai, ramah, religius, dan jauh dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, ataupun budaya makelar kasus (markus). Wallahu alam. (Penulis adalah Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah dan Dewan Pakar DPD Persaudaraan Guru Sejahtera Indonesia/PGSI, Kuningan, Jawa Barat).


Opini HU Pelita, 28 Juli 2010

Tidak ada komentar: