Sabtu, 31 Juli 2010

GOSIP

Oleh Imam Nur Suharno

Rasul SAW bersabda, "Tahukah kamu apakah gibah (gosip) itu? Sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Rasul SAW melanjutkan, "Yaitu, menyebut saudaramu dengan apa-apa yang ia tidak suka disebutnya." Lalu, Nabi SAW ditanya, "Bagaimana kalau itu memang sebenarnya ada padanya?" Jawab Nabi SAW, "Kalau memang sebenarnya begitu, itulah yang bernama gosip. Tapi, jikalau menyebut apa-apa yang tidak sebenarnya, berarti kamu telah menuduhnya (fitnah) dengan kebohongan (yang lebih besar dosanya)." (HR Muslim dari Abu Hurairah RA).

Dalam hadis yang lain, diriwayatkan bahwa ada seorang wanita bertubuh pendek yang mendatangi Nabi SAW dan menyampaikan maksudnya. Setelah wanita tersebut keluar, Aisyah berkata, "Alangkah pendeknya dia." Kemudian, Nabi SAW bersabda, "Takutlah akan gosip sebab ada tiga bencana (bagi pelaku gosip), yaitu tidak akan dikabulkan doanya, tidak diterima kebaikannya, dan kejahatan dalam dirinya akan bertumpuk-tumpuk.""Jauhilah olehmu gosip. Sesungguhnya, gosip itu lebih berbahaya dari zina." (HR Ibnu Hibban, Ibnu Abi ad-Dunia, dan Ibnu Mardawaih).

Menyebar gosip merupakan perilaku tercela. Mencari-cari kesalahan orang lain dan menjadikan orang lain sebagai sasaran tertawaan adalah perilaku yang harus dihindari.

Allah berfirman, "Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah satu dari kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang." (QS Alhujurat [49]: 12).

Mengapa demikian? Karena, orang yang dicaci dari belakang dan menjadi objek gosip sama halnya dengan orang mati (mayat), tidak punya kesempatan untuk menjelaskan dan membela diri.

Dalam ilmu sosial, tindakan semacam ini sering dinamakan pembunuhan karakter (character assasination) yang berupa fitnah. Secara tegas, Islam sangat menentang perilaku gosip. "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya." (QS Al-Isra [17]: 36).

Amat luas dan padat pengajaran untuk menjauhi gosip. Namun, sangat sedikit yang meresapi. Amal kebaikan yang kita lakukan dengan bersusah payah bisa lenyap karena rutinitas gosip (QS Alkahfi [18]: 104). Wallahu a'lam.



HU Republika, Sabtu, 31 Juli 2010

Jumat, 23 Juli 2010

Upah Karyawan

Oleh Imam Nur Suharno

"Bayarlah upah kepada karyawan sebelum kering keringatnya, dan beri tahukan ketentuan gajinya terhadap apa yang dikerjakan." (HR Baihaki).

Islam sangat menolak perilaku eksploitatif terhadap karyawan. Karena itu, membayar upah karyawan tepat waktu termasuk amanah yang harus segera ditunaikan. Besarannya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan minimal untuk bisa hidup sejahtera. Itulah makna yang terkandung dalam hadis di atas.

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat." (QS An-Nisa [4]: 58).

Tidak sedikit pengusaha dengan alasan ketidakmampuannya membayar upah karyawan semaunya, padahal keuntungan pengusaha melimpah. Hanya dengan sedikit permainan akuntansi data bisa berubah, seolah perusahaan tidak memiliki keuntungan yang besar, sehingga dapat mengupah karyawan dengan upah yang rendah.

Islam sangat melarang manusia memakan harta dengan cara yang batil. Mengupah karyawan semaunya, padahal sebenarnya perusahaan mampu membayar lebih, ini merupakan kebatilan yang harus ditinggalkan.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS An-Nisa [4]: 29).

Untuk itu, Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung dalam bukunya, Sistem Penggajian Islam, menyebutkan, prinsip perhitungan besaran gaji sesuai syariah. Pertama, prinsip adil dan layak dalam penentuan besaran gaji.

Kedua, manajemen perusahaan secara terbuka dan jujur serta memahami kondisi internal dan situasi eksternal kebutuhan karyawan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Ketiga, manajemen perusahaan perlu melakukan perhitungan maksimisasi (maximizing) besaran gaji yang sebanding dengan besaran nisab zakat.

Dan keempat, manajemen perusahaan perlu melakukan revisi perhitungan besaran gaji, baik di saat perusahaan laba maupun rugi, dan mengomunikasikannya kepada karyawan.

Untuk itu, pemilik perusahaan hendaknya menetapkan kebijakan kepada manajemen perusahaan untuk mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas sebagai sebuah tanggung jawabnya terhadap karyawan. Wallahu a'lam.



Hikmah Republika, Sabtu, 17 Juli 2010

Senin, 12 Juli 2010

PELESTARIAN LINGKUNGAN DALAM ISLAM

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Keadaan lingkungan, saat ini, sudah sangat merisaukan. Kerusakan itu sudah mengancam kehidupan manusia. Banjir, gempa bumi, tanah longsor, semburan lumpur, dan bencana lainnya, semakin mengancam kehidupan umat manusia. Tentu, peristiwa itu, berimplikasi problem kemanusiaan yang baru yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya.
Kemunculan sejumlah bencana itu, tentu tidak dapat dilepaskan dari pola interaksi manusia dengan lingkungannya. Manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan; pohon-pohonan yang merupakan bagian dari ekosistem dibabat tanpa ada reboisasi. Inilah di antara perilaku manusia yang memicu munculnya bencana.
Islam sangat konsen terhadap persoalan lingkungan, karena perbaikan dan pelestarian lingkungan merupakan bagian dari misinya. Artinya, Islam datang untuk menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraan dan untuk mewujudkan kesejahteraan.
Bumi dan seisinya sama statusnya dengan manusia yaitu makhluk ciptaan Allah SWT. Alquran menyebutkan, semuanya bertasbih dan sujud kepada-Nya dengan cara dan bentuk yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bahkan, di dalam Alquran sendiri tidak ada firman tertentu yang menyebutkan bahwa alam harus mengabdi kepada manusia. Sebab alam sebenarnya mengabdi kepada Allah SWT.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Isra’ [17]: 44).
Ayat di atas menggambarkan pentingnya menjaga dan melestarian lingkungan, sama pentingnya dengan beribadah kepada Allah AWT. Bahkan, menjaga lingkungan dari kerusakan merupakan bagian dari ibadah kepada-Nya.
Banyak nash yang mendorong manusia untuk menghargai atau tidak merusak alam sekitar. Sabda Nabi SAW, “Tidak ada seorang Muslim yang menanam suatu tanaman atau pohon, kemudian burung, manusia, atau hewan yang berkaki empat dapat memakan sesuatu dari pohon yang ditanamnya itu, kecuali baginya hal itu dinilai sebagai sedekah.” (HR Bukhari).
Dalam ekologi Islam, semua ciptaan di semesta alam ini, milik Allah SWT dan bukan milik manusia. Sehingga, jika ada yang berpikiran bahwa binatang dan tumbuhan diciptakan untuk dimiliki manusia, itu tidak benar. Pemikiran bahwa binatang dan tumbuhan itu diciptakan hanya untuk keuntungan semata, mendorong terjadinya perusakan alam dan penggunaan hasil-hasil alam tidak sebagaimana mestinya.
Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat baik kepada alam terutama kepada lingkungan, binatang, maupun tumbuhan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda siapapun yang berbuat baik kepada alam dengan hati yang tulus akan mendapatkan imbalan berupa pahala.
Pelestarian alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia, sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran Surat Albaqarah [2] ayat 30, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”.
Arti khalifah dalam ayat di atas adalah: seseorang yang diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah SWT, baik kehidupan masyarakatnya yang harmonis, agama, akal, dan budayanya terpelihara.
Dalam hadits Nabi SAW, tercermin betapa Islam sangat memperhatikan tentang pelestarian lingkungan. Misalnya, hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah berikut ini: “Iman itu ada 60-70 cabang, yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan yang paling tinggi mengucapkan La Ilaaha Illallah.”
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”
Kalimat menyingkirkan duri dari jalan, bila dipahami lebih jauh lagi, sesungguhnya bukanlah sekedar memungut duri yang tergeletak di jalan. Namun, kalimat itu, secara tidak langsung memberi semacam panduan untuk senantiasa menjaga kebersihan, dan mengamankan jalan yang dilalui dari benda yang berbahaya. Bukankah ini salah satu bentuk perhatian pada lingkungan?
Sebagai penutup, ketika umat ini bertakwa dalam arti melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya dalam segala hal, termasuk di dalamnya masalah lingkungan, maka Allah SWT menjanjikan kemakmuran.
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96). Wallahu a’lam.

* Republika, Kabar Jabar, Lenyepaneun, 16/6/2010

BERHENTI MEMFITNAH

Oleh Imam Nur Suharno MPdI

“Islam sangat mengecam perilaku memfitnah orang lain. Memfitnah itu lebih kejam daripada membunuh. Artinya, berbuat fitnah itu lebih besar dosanya daripada membunuh.” (Q.S. Albaqarah [2]: 217).
Ali bin Abi Thalib r.a pernah menyebut orang yang membiarkan lidahnya bebas tak terkendali dalam menyebarkan keburukan dalam masyarakat adalah pendosa besar. “Orang yang mengatakan sesuatu keburukan dan orang yang membiarkannya adalah sama-sama berdosa.” ujar Khalifah Ali.
Alquran telah memperingatkan akan beratnya siksa bagi orang-orang yang suka memfitnah atas kehormatan seseorang dan mengatakan tentang kesalahan-kesalahan tersembunyi mereka. ”Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (Q.S. Annur [24]: 19).
Pada hakikatnya, kebiasaan memfitnah itu lahir dari rasa dengki, sombong, angkuh, tidak menerima kebenaran, dan menganggap orang lain lebih rendah darinya. Memfitnah adalah tindakan paling kejam sebab bisa berdampak pada kehancuran, kemusnahan, dan permusuhan. Ketika Rasulullah SAW. ditanya sahabatnya, ”Siapakah Muslim yang terbaik itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Seseorang yang selamat dari lidah dan tangannya.” (Muttafaq’alaih).
Untuk itu, Islam memberikan solusi terbaik untuk menghindarkan diri dari perilaku memfitnah.
Pertama, jangan suka menggibah dan mencari-cari kesalahan orang lain. Menyebar gibah dan mencari-cari kesalahan orang lain merupakan perilaku yang sangat dibenci dan harus dihindari.
Allah SWT berfirman, ”Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah satu dari kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Alhujurat [49]: 12).
Kedua, jangan suka memata-matai orang lain. Memata-matai kekurangan orang lain, apalagi untuk disebarluaskan, adalah perilaku yang tidak terpuji. Ia sibuk melihat kekurangan dan kesalahan orang lain, sedangkan kekurangan dirinya sendiri terlupakan. Rasulullah SAW bersabda, ”Jangan suka menyelediki, mematai-matai, dan menjerumuskan orang lain. Jadilah kalian sebagai hamba Allah yang besaudara.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, jangan suka menyebarkan kekurangan orang lain. Orang yang gemar membicarakan kekurangan orang lain, sejatinya ia sedang memperlihatkan jati dirinya yang asli. Semakin banyak kekurangan yang ia bicarakan/sebarkan, maka semakin jelas keburukan diri si penyebar.
Kendati mengetahui kekurangan yang ada pada diri orang lain, langkah terbaik kita adalah mengingatkan dan tidak menyebarluaskannya. Saling mengingatkan dan saling mengajak kepada kebenaran. Sabda Rasulullah SAW, ”Barang siapa mengetahui keburukan saudaranya, kemudian ia menutupinya, pada hari kiamat Allah akan menutupi dosanya.” (H.R. Thabrani).
Keempat, jangan suka mencurigai orang lain. Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa.” (Q.S. Alhujurat [49]: 12).
Kelima, tidak merendahkan orang lain. Sebab, bisa jadi orang yang direndahkan lebih baik dan terhormat daripada orang yang merendahkan. Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (Q.S. Alhujurat [49]: 11).
Keenam, membiasakan klarifikasi (tabayun). Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Alhujurat [49]: 6).
Dengan demikian, ”Sungguh, bahagia orang yang dijauhkan dari fitnah. Sungguh, bahagia orang yang dijauhkan dari fitnah. Sungguh, bahagia orang yang dijauhkan dari fitnah dan orang yang dijuji lalu sabar. Sementara itu, kecelakaan berhak dirasakan orang yang berinteraksi dengan fitnah dan berbuat (berusaha mencarinya) di dalamnya.” (H.R. Abu Dawud). Wallahu a’lam.

* Pikiran Rakyat, Renungan Jumat, Jumat, 25/6/2010.