Jumat, 29 April 2011

MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Pengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Sesungguhnya mahligai rumah tangga adalah refleksi kerja sama suami istri. Oleh karena itu, ia membutuhkan saling pengertian dan saling membantu di antara keduanya untuk dapat mewujudkan kebahagiaan yang didambakan.
Keluarga merupakan miniatur dari sebuah masyarakat. Jika baik keluarga, maka akan baik masyarakatnya. Sebaliknya, jika tidak baik keluarga, maka tidak baik pula masyarakatnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang strategis untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah, dan sekaligus daiyah, yang kemudian disingkat menjadi Samara.

Pembinaan Keluarga
“Bayti jannati”, rumahku adalah surgaku. Demikian sabda Rasulullah SAW, yang menggambarkan betapa strategisnya posisi rumah dan keluarga dalam kehidupan manusia. Ibaratnya, rumah dan keluarga yang Islami bagaikan surga kecil di dunia, dalam membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah (penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang).
Untuk membentuk keluarga yang penuh ketenangan, cinta dan kasih sayang perlu dibuat prinsip keluarga, sehingga dengan prinsip tersebut dapat memacu terbentuknya keluarga yang kita dambakan, misalnya: rumahku adalah surgaku.
Membentuk keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah diawali dari pembentukan pribadi-pribadi yang Islami. Sehingga tidaklah terlalu repot mendirikan bangunan rumah tangga yang utuh (Islami). Berangkat dari sini, diharapkan lahirnya anak-anak yang kemudian hari mempunyai kepribadian seutuhnya. Pasangan ini sebelumnya bermodal tujuan dan tanggungjawab satu. Mereka beranjak dari visi dan misi yang sama. Dengan kata lain, mereka berangkat dari start Ilahi dan berakhir pada finish yang diridhai.


Pembinaan Anak
Anak merupakan batu pertama bagi pembentukan sebuah masyarakat, ia terlahir dalam keadaan fitrah, bagaikan lembaran kertas putih yang masih bersih. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu dan bapaknya-lah (yang akan berperan) mengubah anak itu menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR Bukhari).
Islam memerintahkan orang tua untuk mendidik anak dan memikulkan tanggungjawab itu di pundak mereka. Firman Allah SWT, ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66] : 6).
Ibnu Qayyim menegaskan tanggungjawab itu dengan mengutip perkataan ulama, ”Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap anak tentang orang tuanya. Maka barangsiapa mengabaikan pendidikan anak dan menelantarkannya maka ia telah melakukan puncak keburukan. Sesungguhnya, kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh para orang tua yang mengabaikan anak-anaknya dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan sunnah.”
Prof. Sartini (dalam buku ”Pembodohan Siswa Tersistematis” yang ditulis oleh M. Joko Susilo) memberikan bahan renungan bagi orang tua dalam mendidik anak supaya bisa tumbuh kembang dengan baik, yaitu: Jika anak banyak dicela, maka ia akan terbiasa menyalahkan. Jika anak banyak dimusuhi, maka ia akan terbiasa menentang. Jika anak dihantui ketakutan, maka ia akan terbiasa merasa cemas. Jika anak banyak dikasihani, maka ia akan terbiasa meratapi nasib. Jika anak sering diolok-olok, maka ia akan terbiasa menjadi pemalu. Jika anak dikitari rasa iri, maka ia akan terbiasa merasa bersalah. Jika anak serba dimengerti, maka ia akan terbiasa menjadi penyabar. Jika anak banyak diberi dorongan, maka ia akan terbiasa percaya diri. Jika anak banyak dipuji, maka ia akan terbiasa menghargai. Jika anak diterima dilingkungannya, maka ia akan terbiasa menyayang. Jika anak sering disalahkan, maka ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri. Jika anak mendapat pengakuan dari kiri kanan, maka ia akan terbiasa menetapkan arah langkahnya. Jika anak diperlakukan dengan jujur, maka ia akan terbiasa melihat kebenaran. Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, maka ia akan terbiasa melihat keadilan. Jika anak mengenyam rasa aman, maka ia akan terbiasa mengandalkan diri dan mempercayai orang sekitar. Jika anak dikerumuni keramahan, maka ia akan terbiasa berpendirian “sungguh indah dunia ini”.

Lima Pilar
Ada lima pilar yang harus diinternalisasikan dalam rumah tangga samara. Pertama, tegak di atas landasan ibadah. Keluarga yang baik (Islami) harus dibangun dalam rangka beribadah kepada Allah SWT semata. Sehingga kelak, jika terjadi permasalahan dalam keluarga, akan mudah menyelesaikannya, karena semua telah tunduk kepada peraturan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kedua, nilai-nilai Islam terinternalisasi secara kaffah. Internalisasi nilai-nilai Islam secara menyeluruh harus terjadi dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka senantiasa komit terhadap adab-adab Islami. Untuk itu, rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan sarana-sarana tarbiyah islamiyah yang memadai, agar proses belajar, menyerap nilai dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa diwujudkan.
Ketiga, hadirnya qudwah (keteladanan) yang nyata. Keteladanan yang nyata dari sekumpulan adab Islam yang hendak diterapkan. Orang tua memiliki posisi yang penting dalam hal ini. Sebelum memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran kepada anggota keluarga yang lain, pertama kali orang tua harus memberi keteladanan.
Kempat, masing-masing anggota diposisikan sesuai syariat. Islam telah memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila hal ini ditepati, akan mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan akhirat.
Kelima, terbiasakannya ta’awun (kerja-sama) dalam menegakkan adab-adab Islam. Betapa sulitnya membentuk suasana Islami apabila suasana kerjasama ini tidak terwujud, misalnya istri kegemarannya nonton TV dan ngerumpi, sementara anak-anaknya sehabis sekolah main dan bergaul entah dengan siapa, sedangkan suami tidak punya perhatian terhadap masalah rumah karena ia telah memiliki rumah baru di kantornya yang barangkali lebih mengasyikkan.
Kita panjatkan doa ke hadirat Allah SWT semoga Allah memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kaum muslimin yang telah berumah tangga, agar mereka dapat mencapai kesepahaman dan mengerahkan segala upaya untuk melaksanakan aturan, hukum, wasiat dan nasihat-nasihat yang termaktub di dalam Alquran dan Al-Hadits terutama yang menyangkut tentang pembinaan keluarga sakinah mawaddah dan rahmah.
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan dan keturunan sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan [25] : 74). Wallahu a’lam bish shawab.

* Kabar Cirebon, Opini, Jumat, 25 Maret 2011

Tidak ada komentar: