Jumat, 29 April 2011

MENGAWAL KEJUJURAN DALAM UN

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Direktur Pendidikan Yayasan Husnul Khotimah, Pengurus DPD Persatuan Guru Madrasah (PGM), Kuningan, Jawa Barat

Ujian Nasional (UN) sudah berjalan. Pelaksanaan UN tingkat SMA/MA/SMK digelar pada 18-21 April 2011, tingkat SMP/MTs pada 25-28 April 2011, sedangkan untuk ujian sekolah (US) dilaksanakan sebelum UN. Dan penyelenggaraan UN 2011 hanya akan dilaksanakan sekali, artinya bahwa UN ulangan ditiadakan.
UN kali ini dilaksanakan dengan formula baru. Hal ini terkait dengan upaya perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan serta keningkatan kualitas UN. Kelulusan siswa dari sekolah atau madrasah ditentukan dari nilai gabungan rata-rata minimal 5,5 dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Nilai gabungan merupakan perpaduan nilai UN dan nilai sekolah untuk setiap mata pelajaran UN.
Sedangkan nilai akhir diperoleh dari nilai gabungan antara nilai sekolah/madrasah (S/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN, dengan pembobotan 40 persen untuk nilai sekolah/madrasah dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60 persen untuk nilai UN.

Lulus Ujian
Peserta didik dinyatakan lulus ujian apabila telah memenuhi kriteria kelulusan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan perolehan nilai sekolah/madrasah. Nilai sekolah/madrasah diperoleh dari gabungan antara nilai ujian sekolah/madrasah dan nilai rata-rata rapor semester I, II, III, IV, dan V untuk SMP/MTs/SMPLB dengan pembobotan 60 persen untuk nilai ujian sekolah/madrasah dan 40 persen untuk nilai rata-rata rapor.
Sementara itu, SMA/MA/SMALB/SMK, nilai sekolah/madrasah diperoleh dari gabungan antara nilai ujian sekolah/madrasah dan nilai rata-rata rapor semester III, IV, dan V dengan pembobotan 60 persen untuk nilai ujian sekolah/madrasah dan 40 persen untuk nilai rata-rata rapor (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 45 Tahun 2010).
Selain itu, pada UN 2011 ini diterapkan pola lima paket soal berbeda dalam satu kelas, ditambah satu paket yang juga berbeda untuk soal cadangan. Harapannya, dengan memperbanyak paket soal, tindakan peserta didik untuk saling mencontek atau adanya jual beli jalaban dari soal yang bocor, dapat diperkecil. Melalui cara inilah pemerintah mengawal kejujuran dalam pelaksanaan UN.
Intinya, lulus tidaknya siswa ditentukan empat hal, siswa sudah menyelesaikan seluruh program pendidikan; dinyatakan lupus dalam aspek moral; lulus ujian sekolah, dan lulus ujian nasional. Dari keempat penentu kelulusan itulah dapat dikatakan, bahwa sesungguhnya peserta didik dituntut untuk bekerja keras dan meningkatkan kejujuran, bukan hanya di dalam menyiapkan UN, tapi menyiapkan tiga syarat kelulusan lainnya. Tanpa kerja keras, mustahil peserta didik dapat lulus dari jenjang terakhir pendidikan yang dilalui.

Soal Kejujuran
Apakah dengan upaya pemerintah di atas, ketidakjujuran tidak akan terulang kembali? Tentu kita semua berharap dengan upaya tersebut tindak ketidakjujuran dapat diperkecil. Sebab, sungguh miris jika mengamati penyelenggaraan UN pada tahun-tahun yang lalu. Ketidakjujuran secara sistematis dalam UN terus berulang. Hal ini bisa dilihat, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kejujuran dalam pelaksanaan UN belumlah memuaskan. Di jenjang SMA/MA/SMK sebagai contoh, dari jumlah peserta 1.516.891 siswa, capaian tingkat kejujuran pelaksanaan UN tahun 2009 baru mencapai 17,19 persen kategori putih, 42,87 persen abu-abu, dan 39,95 persen hitam.
Sedikit lebih baik di jenjang SMP/MTs, di jenjang SMP/MTs dengan jumlah peserta 3.441.802 siswa, tingkat kejujuran pelaksanaan UN tahun 2009 mencapai 49,38 persen putih, 42,53 persen abu-abu, dan 8,10 persen berkategori hitam. (Republika, 25 Februari 2010).

Langkah Antisipasi
Untuk mengawal kejujuran dalam penyelenggaraan UN kali ini, ada beberapa upaya tambahan yang penulis ajukan. Pertama, pemberian sanksi tegas, dan tidak ada kompromi bagi pelaku pembocoran kunci jawaban UN, karena tindakan tersebut dalam kategori pembocoran dokumen negara. Jika pelaku kecurangan tersebut adalah siswa, maka sanksinya adalah dengan tidak meluluskannya dalam UN. Jika pelakunya adalah guru, maka sanksinya dengan pemberhentian dari jabatan keguruannya. Dan jika pelakunya atas nama lembaga sekolah, maka sanksinya adalah dengan mencabut kembali surat izin operasional pendidikannya.
Disinyalir, dalam setiap penyelenggaraan UN masih akan terus terjadi tindak ketidakjujuran tersebut. Jika sebelumnya sebagian sekolah membentuk ”tim sukses” yang bergerilya melakukan serangan fajar agar seluruh siswanya lulus, kini dimungkinkan sebagian sekolah yang memanipulasi nilai sekolah atau madrasah yang porsinya 40 persen, seperti yang dikhawatirkan oleh Komisi IV DPRD Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dimuat di Republika Online pada 18 Januari 2011. “Kami khawatir, kalau nilai-nilai semester siswa yang tidak memenuhi standar diubah menjadi rapor-rapor karbitan yang dibuat sekolah dan wali kelas menjadi nilai rapor yang normatif dan dapat lulus.”
Dengan sistem penyelenggaran UN seperti sekarang dimungkinkan akan terjadi dua sistem kecurangan sekaligus, yaitu membentuk ”tim sukses” sebagai upaya untuk mengamankan nilai setiap mata pelajaran UN dari nilai menimal 4,0; dan mengkarbit nilai rapor agar memiliki nilai akhir tinggi sebagai upaya untuk mendapatkan sekolah bergengsi pada jenjang pendidikan berikutnya.
Kedua, pembatalan kelulusan bagi siswa yang melakukan tindakan tercela (tidak bermoral) setelah dinyatakan lulus, seperti mencoret-coret baju, kebut-kebutan motor di jalan raya, pesta miras, dan berbagai tindakan tercela lainnya. Oleh karena itu, untuk mengendalikan tindak tercela tersebut pihak sekolah bekerja sama dengan orang tua siswa untuk melakukan langkah-langkah antisipatif, seperti pendampingan anak oleh orang tua masing-masing pada saat pengumuman UN; arahan tentang akhlak dari tokoh agama (bisa juga oleh guru agama di sekolah masing-masing) menjelang diumumkan hasil UN; pengumpulan seragam sekolah yang masih layak pakai untuk dibagikan kepada anak-anak sekolah yang kurang mampu; dan kegiatan-kegiatan antisipatif lainnya, termasuk pihak kepolisian agar melakukan penjagaan di jalan raya guna mengamankan tindakan kebut-kebutan motor pasca pengumuan kelulusan UN.
Ketiga, pengambilan sumpah kejujuran kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UN, mulai dari penyelenggara UN tingkat pusat sampai penyelenggara di tingkat sekolah, termasuk unsur guru, dan peserta UN itu sendiri.
Untuk itu, dengan ketegasan ini diharapkan dalam penyelenggaraan UN kali ini dapat terlaksana dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab. Ingat, ungkapan Guru Harfan –tokoh pendidik dalam film Laskar Pelangi- bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya didasari oleh deretan angka-angka dan fasilitas, tetapi oleh cerminan hati dan kebaikan budi pekerti anak didik sebagai buah dari proses pendidikan yang dilakukan secara tulus, kontinyu dan penuh pengabdian. Wallahu a’lam.

* Kabar Cirebon, Opini, Selasa, 19 April 2011

Tidak ada komentar: