Minggu, 22 April 2012

MEMBANGUN BUDAYA JUJUR DAN BERPRESTASI


Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI 

Praktisi Pendidikan, dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat


Seremonial penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) kembali mewarnai dunia pendidikan di negeri ini. Meskipun pro dan kontra tentang UN masih menjadi permasalahan yang tak kunjung reda, pemerintah telah berupaya memperbaiki penyelenggaraan UN. Kredibilitas UN terus ditingkatkan dengan melakukan pengawasan ketat dan berlapis. Permasalahan dalam penyelenggaraan UN yang terjadi tahun lalu, seperti bocornya soal, aksi menyontek massal, hingga percobaan bunuh diri bagi yang tidak lulus UN, hendaknya menjadi bahan renungan kita bersama. Sebenarnya, penyelenggaraan UN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: a) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; d) akreditasi satuan pendidikan; dan e) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Kejujuran UN Nilai-nilai kejujuran menjadi sesuatu yang langka di negeri ini. Tidaklah efektif diadakan ikrar kejujuran dalam penyelenggaraan UN. Seakan kejujuran hanya sebatas seremonial jelang penyelenggaraan UN saja. Yang terpenting adalah meningkatan proses pengawasan dalam ruang ujian dan memberikan tindakan tegas bagi siapa saja yang melakukan kecurangan baik dari kalangan peserta didik maupun para penyelenggaran UN itu sendiri. Dan yang lebih penting lagi adalah penanaman nilai-nilai kejujuran dalam proses pembelajaran. Misalnya melalui pengetatan pengawasan dalam penyelenggaraan ulangan harian (UH), ulangan tengah semester (UTS), dan ulangan akhir semester (UAS). Selain itu, perlu penguatan materi nilai kejujuran melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), seperti penambahan materi Aqidah. Misalnya, dengan menanamkan materi ‘Ma’iyyatullah” (kebersamaan Allah SWT). Kesertaan Allah pada diri manusia hanya dapat dirasakan oleh mereka yang beriman kepada Allah. Merasakan kesertaan Allah adalah sebagai hasil dari “Makrifatullah” (mengenal Allah SWT). Dengan mengenal Allah maka akan menghasilkan suatu pemahaman dan pengenalan yang baik, kemudian membuahkan hasil berupa sikap adanya keikutsertaan Allah atas segala perbuatan manusia. Dan orang yang merasakan kesertaan Allah dalam hidupnya akan merasakan hidup yang baik dan tentram. Selain itu hidupnya terjaga dari kemaksiatan, seperti kecurangan dalam ujian, karena merasakan adanya pengawasan Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59]: 18). Hanya orang-orang yang memiliki kemantapan imanlah yang dapat merasakan adanya muraqabatullah secara baik dan benar. Dan mereka berhak mendapatkan nashrun minallah (pertolongan dari Allah). Allah SWT berfirman, “Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah berserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 194). UN Berprestasi Dengan penanaman nilai-nilai kejujuran semenjak pertama peserta didik menginjakkan kakinya di lingkungan pendidikan, maka dapat membentuk karakter mereka. Yang pada akhirnya proses tersebut dapat mengantarkan pada budaya berprestasi dalam lingkungan pendidikan. Dan menjadi lenyaplah budaya ‘SKS’ (sistem kebut semalam) dari lingkungan pendidikan. Jika budaya kejujuran dan mental berprestasi ini diejawantahkan dalam lingkungan pendidikan sedini mungkin, maka tidak menutup kemungkinan akan dapat menghasilkan UN yang berprestasi. Semoga. Selain itu, dengan budaya jujur dan berprestasi ini akan dapat menyingkirkan rasa cemas setiap menjelang UN, yang pada akhirnya lembaga pendidikan menjadi fokus dalam melaksanakan amanah pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Semoga. • Radar Cirebon, Wacana, 19/4/2012

Minggu, 01 April 2012

BERDAKWAH MELALUI TULISAN

Oleh H Imam Nur Suharno MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

Salah satu sarana dakwah yang belum mendapatkan perhatian dari kalangan para dai adalah berdakwa melalui tulisan. Sangat sedikit para dai yang mau mengambil sarana ini. Padahal dakwah melalui tulisan tidak kalah pentingnya dari dakwah melalui ceramah. Untuk itu melalui tulisan ini penulis mengajak kepada diri pribadi dan juga para kader dai lainnya untuk memulai memanfaatkan sarana dakwah melalui tulisan ini.
Kita sering menyaksikan para dai yang tampil memukau di depan audiensnya. Namun, sedikit sekali para dai yang mau menuliskan materi ceramahnya itu dalam bentuk artikel ataupun buku. Padahal kemampuan berceramah seseorang tidak akan bisa memukau audiens, bahkan akan sangat dangkal isi materi ceramahnya bila tidak diimbangi dengan kemampuan membaca. Karena membaca merupakan pintu gerbang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Aktifitas ceramah harus dimulai dari membaca. Menulis pun juga dimulai dari membaca. Jadi aktifitas ceramah dan menulis harus diawali dengan aktifitas membaca. Karena itu, Raghib as-Sirjani dalam bukunya Spiritual Reading, menyatakan bahwa setengah jam setelah membaca lima puluh persen isi buku akan hilang dari ingatan, dan setelah dua puluh empat jam berlalu pembaca akan melupakan delapan puluh persen isi buku.
Karena itu, “ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” itulah pesan Ali bin Abi Thalib salah seorang sahabat Nabi SAW. Lebih khusus, asy-Syahid Hasan al-Banna berpesan kepada para dai, “Hendaknya engkau pandai membaca dan menulis.”
Alangkah indahnya jika para dai itu menuliskan bahan ceramahnya, lalu dikumpulkan sehingga lambat laun akan menjadi sebuah kumpulan ceramah, yang pada akhirnya lembaran-lembaran bahan ceramah itu dapat dikumpulkan menjadi sebuah buku yang dapat dinikmati kapan saja oleh orang lain.
Untuk itu mulailah menulis. Menulis adalah tindakan konkret dan praktis. Agar mampu menulis, seseorang harus melakukannya. Hanya dengan menulis seseorang dapat belajar menulis. Tanpa melakukannya, seseorang tidak akan pernah mampu menulis dengan baik.
Bambang Trim dalam bukunya Menjadi Power Da’i dengan Menulis Buku, memberikan tiga tips aktivitas yang bisa memunculkan stimulan dan gagasan untuk menulis, yaitu banyak membaca; banyak berjalan; dan banyak silaturahmi. Karena itu, gabungkan ketiga langkah tersebut sebagai kebiasaan sehari-hari.
Lebih lanjut, Bambang menyebutkan beberapa mitos yang dapat melemahkan semangat untuk menulis. Pertama, menulis membutuhkan mood (menulis adalah sebuah azzam yang bias mengalahkan mood). Kedua, ide buruk akan tertutupi oleh tulisan yang bagus (ide buruk akan tetap tampak buruk di tangan seorang penulis profesional sekalipun). Ketiga, bahasa indah dan menarik dibuat dengan puitis (terkadang bahasa yang terlalu berbunga-bunga malam membosankan). Keempat, bahasa yang rumit lebih bergengsi dan intelek (yang kita cari bukan gengsi, melainkan pemahaman). Kelima, menulis adalah permainan kata-kata (kata-kata yang dipermainkan adalah bagian dari kebohongan). Keenam, para penulis adalah orang yang memiliki bakat menulis (tidak ada bakat menulis yang dibawa sejak lahir).
Sebenarnya aktifitas menulis itu menjadi tradisi para ulama terdahulu. Kita mengenal Imam Syafii, Imam Hambali, Imam Malik, Imam Ahmad, dan imam-imam lainnya, termasuk ulama terkemukan saat ini Yusuf Qaradhawi bukan karena kita bertemu mereka, akan tetapi melalui karya-karya tulisnya yang ada dalam kitab-kitab mereka. Dengan ketajaman pena itulah mereka akan selalu terkenang sampai akhir zaman.
Ibnu Taimiyah telah menulis 300 buku dari berbagai disiplin ilmu, Abu Amru bin Al-Bashri menulis buku yang jumlahnya sampai memenuhi rumahnya hingga hampir mencapai atap. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri memiliki sekretaris pribadi dari kalangan sahabat sejumlah 65 orang (Lihat dalam buku ”65 Sekretaris Nabi SAW”, karya Prof Dr Muhammad Mustafa Azami).
Al-Jahidz pernah mengutip ucapan seorang penyair, ”Mereka meninggal dan tersisalah apa-apa yang mereka perbuat, dan seakan-akan peninggalan abadi mereka hanyalah apa yang mereka tulis dengan pena.”
Saking pentingnya dakwah melalui tulisan ini sampai Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya, ”Barangsiapa meninggal dan warisannya berupa tinta dan pena (yang dituliskan dalam buku) akan masuk surga.”
Maha Benar Allah yang telah berfirman, ”Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukanlah orang gila.” (QS al-Qalam [68]: 1-2). Wallahu a’lam.


•Media Pembinaan, No 11/XXXVIII/Februari 2012

MEDITASI TAWAKAL JELANG UN

Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI

Ujian Nasional (UN) akan kembali digelar. Segala usaha menghadapi UN hendaknya dipersiapkan jauh-jauh hari, bukan mengembangkan budaya SKS (sistem kebut semalam) seperti selama ini jadi andalan. Atau, sistem jamak qosor mata pelajaran (matpel) yang di-UN-kan alias sebulan menjelang UN belajar difokuskan pada matpel yang di-UN-kan dengan mengistirahatkan sementara matpel lainnya.
Budaya SKS maupun jamak qosor matpel hendaknya dijauhkan dari kehidupan peserta didik. Kebiasaan buruk ini akan membentuk karakter buruk pula pada diri mereka. Di antara bentuk ikhtiar yang perlu terus diupayakan, seperti bimbingan belajar (bimbel), optimalisasi klinik belajar (OKB), uji coba soal-soal UN (try out), remedial bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, pengayaan materi UN bagi siswa yang memiliki kemampuan lebih, general motivasi (GM) untuk mendorong semangat belajar siswa, privat mata pelajaran yang di-UN-kan, dan usaha sejenis lainnya.
Selain itu, usaha dengan memohon doa restu dari orang-orang terdekat, seperti orang tua dan para guru, termasuk istighasah juga harus dilaksanakan. Setelah berbagai usaha dilakukan, hendaknya disempurnakan dengan meditasi tawakal karena takdir Ilahi-lah yang pada akhirnya menentukan, bukan karena kecerdasan dan kehebatan kita. Dia-lah Mahatahu yang terbaik untuk kita. Jika upaya ini dilakukan dengan baik, insya-Allah tidak akan terjadi kesalahan dalam mengekspresikan kelulusan, seperti ekspresi corat-coret baju, kebut-kebutan di jalan, dan mabuk-mabukan. Atau, kesalahan dalam melampiaskan ketidaklulusan, seperti dengan mengurung diri, merusak fasilitas sekolah, percobaan bunuh diri, dan lain sebagainya.
Tentu, berbagai tindak ekspresi itu tidak dibenarkan dalam pandangan agama manapun, dan juga tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Karena itu, melalui meditasi tawakal jelang UN ini, tindak ekspresi yang buruk itu dapat dikendalikan.
Aam Amiruddin dalam bukunya Tafsir Alquran Kontemporer Juz Amma Jilid I, memberikan prinsip-prinsip dalam bertawakal (tawakal principles). Yaitu, prinsip mujahadah, doa, syukur, dan sabar. Melalui tawakal principles ini, rasa cemas, khawatir, gundah gulana, dan stres akan dapat dikendalikan.
Prinsip pertama, mujahadah (sungguh-sungguh). Misalnya, jika siswa ingin lulus UN, ia harus bersungguh-sungguh dalam belajar. Selain bermakna sungguh-sungguh, mujahadah juga bermakna sistematis. Artinya, suatu pekerjaan hasilnya akan lebih menggembirakan apabila dilakukan dengan kesungguhan dan sistematis (QS Asy-Syarh [94]: 7-8).
Prinsip kedua, selalu berdoa, terutama berdoa di sepertiga malam setelah salat Tahajud. Allah SWT memiliki kuasa tak terhingga sedangkan manusia memiliki segudang kelemahan. Karena itu, meskipun sudah melakukan mujahadah, kita harus memohon kekuatan dari-Nya agar kerja keras yang dilakukan bisa menghasilkan hasil yang terbaik.
Prinsip ketiga, bersyukur atas kelulusan yang diraih. Apabila mujahadah dan doa menyertai seluruh aktivitas, insya-Allah kesuksesan yang kita raih akan mengantarkan pada rasa syukur sehingga ekspresi tatkala lulus UN akan mengantarkan pada ekspresi yang bermakna. Seperti, melakukan sujud syukur dan doa bersama sebagai wujud syukur atas hasil yang diterima.
Jika rasa syukur ini diarahkan pada bentuk-bentuk yang positif, tidak menutup kemungkinan peserta didik akan meraihkan kesuksesan tambahan berikutnya (QS Ibrahim [14]: 7), seperti diterima sekolah di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi favorit.
Prinsip keempat, bersabar atas hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Sabar artinya tahan uji dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Misalnya, setelah siswa belajar keras dan usaha lainnya disertai kekuatan doa, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan (tidak lulus UN) maka sikap sabar ini akan menjadi obat penawarnya.
Dengan demikian, jika bekal doa, usaha atau ikhtiar, dan tawakal dalam menghadapi UN dilakukan secara terpadu dan seimbang, tidak menutup kemungkinan akan memperlancar dalam meraih kesuksesan dalam ujian (lulus UN), sekaligus dapat mengendalikan tindak ekspresi yang mengarah pada hal-hal bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa pascapengumuman kelulusan UN. Semoga.

*Republika, Guru Menulis, 12/3/2012.