Selasa, 24 Juli 2012

MEMBUMIKAN KOMPETENSI GURU


Oleh H Imam Nur Suharno SPd MPdI
Doses Sekolah Tinggi Agama Islam Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

            ”Guru, tak bisa tanpamu. Tak baik tanpamu, tak sukses tanpamu.” itulah sebentuk puisi yang disampaikan oleh pakar kepribadian, DR Leila Monabanieum, pada pelatihan guru tahap IV angkatan ke-3 dalam program CSR (Corporate Social Responsibility) Telkom-Republika, di Kandatel Telkom, Yogyakarta.
Guru memegang peranan utama dalam pendidikan. Tidak akan ada pendidikan tanpa guru. Banyak orang mengatakan bahwa sosok guru merupakan ujung tombak dalam pendidikan.
Karena perannya yang penting, guru dituntut untuk mengembangkan kompetensinya agar mampu mengemban amanah sebagai pendidik secara profesional. Sehingga guru mampu mengarahkan, memfasilitasi, dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
            Karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas guru. Terutama dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru menjelaskan bahwa kompetensi yang diperlukan oleh guru terbagi atas empat kategori.
            Pertama, kompetensi pedagogik. Dalam hal ini guru harus menguasai karakteristik siswa dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Mampu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, yaitu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran yang diampu. Memfasilitasi pengembangan potensi siswa untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan melakukan tindakan refleksi untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
            Kedua, kompetensi pribadi. Garu harus mampu bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi siswa dan masyarakat. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dan dewasa, arif, dan berwibawa. Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru; dan menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
            Ketiga, kompetensi sosial. Dalam hal ini guru harus mampu bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; dan berkomunikasi dengan komunitas profesi dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
            Keempat, kompetensi profesional. Guru harus menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
            Menurut Journal Education Leadership (Maret 1994), ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional: memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarnya, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugasnya, dan menjadi bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Sedangkan Malcolm Allerd mengatakan, selain kelima aspek tersebut, sifat dan kepribadian seorang guru yang amat penting artinya bagi proses pembelajaran adalah adaptabilitas, antusiasme, kepercayaan diri, ketelitian, empati dan kerjasama yang baik.
            Untuk itu perlu diupayakan terus menerus upaya peningkatan kompetensi guru ini, agar kehidupan pendidikan di negeri ini semakin bergairah. Wallahu a’lam.

  • Fajar Cirebon, Opini, 22 Mei 2012

MENGELOLA UCAPAN DALAM ISLAM


Oleh H Imam Nur Suharno MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

            “Berhati-hatilah dalam bicara, jaga lidah”. Itulah sepenggal nasihat yang sering kita dengar untuk mengingatkan agar kita senantiasa berhati-hati dalam bicara. Tidak asal bunyi. Ada ungkapan lidah bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang diakibatkan dari keseleo lidah bisa lebih banyak dan menyakitkan dibandingkan dengan pedang.
            Terkait hal itu, Ketua Umum Keluarga Alumni Gajah Mada, Sultan Hamengku Buwono X menyesalkan atas ucapan yang dilontarkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Marzuki Alie yang menyatakan banyak koruptor di Indonesia merupakan lulusan perguruan tinggi negeri terkenal (Pikiran Rakyat, 9/5).
Islam telah mengajarkan pada umatnya agar senantiasa menata ucapan dan diamnya sehingga ia bisa meraih keuntungan dari pembicaraan yang dilakukan dan meraih kesalamatan dari sikap diam yang diambilnya.
Sabda Nabi SAW, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada seorang hamba yang berbicara sehingga meraih keberuntungan dan diam sehingga mendapatkan kesalamatan.” (Diriwayatkan Abu Syaikh dari Abu Umamah RA).
            Rasulullah SAW pun mengingatkan akan akibat buruk dari lidah ini. Bahkan hal inilah yang sangat beliau khawatirkan terhadap umatnya. Dari Sufyan bin Abdillah r.a, ia berkata, “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan. Beliau menjawab, “Katakanlah Tuhanku adalah Allah lalu istikamahlah. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku? Rasulullah SAW menunjuk lidahnya sendiri dan berkata, “Ini.” (HR Tirmidzi).
Bahkan, ketika Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau pun menjawab, “Dua hal yang kosong, lidah dan kemaluan.” (HR Tirmidzi).
            Oleh karena itu, kekuatan merawat lidah ini pun dikaitkan dengan keimanan kepada Allah SWT dan hari akhir. Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).
Artinya, keharusan menjaga lidah tidak hanya sekedar menjaga hubungan baik dengan sesama. Akan tetapi, lebih dari itu, keharusan menjaga lidah merupakan unsur ibadah dan akidah.
Fakhruddin Nursyam dalam bukunya Syarah Arbain Tarbawiyah menyebutkan, empat syarat perkataan yang mengandung manfaat, yaitu pertama, hendaknya perkataan itu ada tujuan yang melatarbelakanginya, yaitu untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Perkataan seseorang yang tidak memiliki tujuan hanya akan memperlihatkan kebodohannya, menyingkap aib dan kekurangannya, serta menjerumuskannya dalam kesalahan dan fitnah.
Oleh karena itu, perkataan seorang Muslim hendaknya muncul dari pemikiran yang jernih dan memiliki tujuan yang pasti, sehingga selamat dari kesalahan serta bisa menunjukkan kecerdasan dan keimanannya.
Disebutkan dalam sebuah atsar, “Lidah seorang yang cerdik berada di belakang akalnya. Apabila ingin berbicara, ia kembali kepada akalnya. Jika mendatangkan keuntungan ia akan berbicara, jika mendatangkan bahaya ia akan menahan diri. Sedangkan akal orang yang jahil berada di belakang lidahnya, ia akan selalu berbicara tentang semua hal yang terpampang di depannya.”
Kedua, hendaknya perkataan itu diucapkan pada tempat dan waktu yang tepat, sehingga mendatangkan manfaat yang besar. Pasalnya, perkataan yang tidak tepat waktu dan tempatnya, tidak banyak mendatangkan manfaat, bahkan bisa menimbulkan bahaya dan fitnah.
Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya senantiasa memperhatikan situasi dan kondisi yang melingkupinya ketika hendak mengeluarkan suatu perkataan. Disebutkan dalam atsar, “Setiap situasi dan kondisi memiliki perkataan tersendiri.”
Ketiga, hendaknya perkataan itu diucapkan sebatas kebutuhan. Segala sesuatu pasti memiliki batas dan kapasitas tertentu. Perkataan yang melebihi batas dan kapasitasnya hanya akan mengurangi manfaat dan pengaruhnya, di samping juga menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi yang mendengarkannya. Dalam atsar disebutkan, “Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang meringkas pembicaraannya dan mencukupkan diri sebatas kebutuhan.”
Keempat, memilih kata-kata yang hendak diucapkan. Karena lidah adalah identitas seseorang, hendaknya ia senantiasa memilih kata-kata yang tepat dan mengevaluasi semua perkataannya. Kepada pamannya, Abbas RA, Nabi SAW pernah berkata, “Aku kagum dengan ketampananmu.” Ia bertanya, “Apa ketampanan seorang lelaki, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Lidahnya.”
            Islam memberikan tuntunan dalam berbicara agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pertama, tidak banyak bicara atau diam. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang diam pasti selamat.” (HR Tirmidzi).
Kedua, mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak bermanfaat. Sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang menahan lidahnya pasti Allah menutupi auratnya.” (HR Ibnu Dunya).
Ketiga, berkata yang baik. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).
Keempat, takut kepada Allah SWT. “Sesungguhnya Allah ada di sisi setiap orang yang berkata, maka hendaklah takut kepada Allah, Allah mengetahui apa yang diucapkannya.” Ketahuilah, bahwa setiap ucapan yang keluar dari lidah akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaf [50] : 18).
Kemudian, DR Musthafa Dieb Al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, menambah bahwa etika orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam berbicara. Di antara adab-adab itu adalah, pertama, seorang muslim hendaknya senantiasa berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat, dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang tidak berguna tersebut di antaranya adalah ghibah, namimah, mencela orang lain.
Kedua, tidak banyak berbicara. Karena dengan banyak bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa jadi menjerumuskan kepada hal yang dilarang ataupun makruh. Sabda Nabi SAW, ”Janganlah kalian banyak bicara, yang bukan zikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan zikir kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang hatinya keras.” (HR Tirmidzi).
Ketiga, wajib berbicara ketika diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi munkar. Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu.
Dengan demikian, jika setiap kita mampu mengendalikan lidah dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan, olok-olokan, adu-domba, hasutan, dan sejenisnya, niscaya tidak akan ada perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Wallahu a’lam.        

  • Pikiran Rakyat, Renungan Jumat, 18/5/2012