Oleh
H Imam Nur Suharno MPdI
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam
(SETIA) Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat
“Berhati-hatilah
dalam bicara, jaga lidah”. Itulah sepenggal nasihat yang sering kita dengar
untuk mengingatkan agar kita senantiasa berhati-hati dalam bicara. Tidak asal
bunyi. Ada ungkapan lidah bisa lebih tajam daripada pedang, karena korban yang
diakibatkan dari keseleo lidah bisa lebih banyak dan menyakitkan dibandingkan dengan
pedang.
Terkait
hal itu, Ketua Umum Keluarga Alumni Gajah Mada, Sultan Hamengku Buwono X
menyesalkan atas ucapan yang dilontarkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI Marzuki
Alie yang menyatakan banyak koruptor di Indonesia merupakan lulusan perguruan
tinggi negeri terkenal (Pikiran Rakyat, 9/5).
Islam telah mengajarkan pada umatnya agar senantiasa
menata ucapan dan diamnya sehingga ia bisa meraih keuntungan dari pembicaraan
yang dilakukan dan meraih kesalamatan dari sikap diam yang diambilnya.
Sabda Nabi SAW, “Semoga Allah melimpahkan
rahmat kepada seorang hamba yang berbicara sehingga meraih keberuntungan dan
diam sehingga mendapatkan kesalamatan.” (Diriwayatkan Abu Syaikh dari
Abu Umamah RA).
Rasulullah SAW pun mengingatkan akan
akibat buruk dari lidah ini. Bahkan hal inilah yang sangat beliau khawatirkan
terhadap umatnya. Dari Sufyan bin Abdillah r.a, ia berkata, “Wahai Rasulullah,
katakanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan. Beliau menjawab,
“Katakanlah Tuhanku adalah Allah lalu istikamahlah. Saya berkata, “Wahai Rasulullah,
apa yang paling engkau khawatirkan atas diriku? Rasulullah SAW menunjuk lidahnya
sendiri dan berkata, “Ini.” (HR Tirmidzi).
Bahkan,
ketika Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan
orang ke dalam neraka, beliau pun menjawab, “Dua hal yang kosong, lidah dan
kemaluan.” (HR Tirmidzi).
Oleh
karena itu, kekuatan merawat lidah ini pun dikaitkan dengan keimanan kepada
Allah SWT dan hari akhir. Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau tidak
bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).
Artinya, keharusan menjaga lidah tidak
hanya sekedar menjaga hubungan baik dengan sesama. Akan tetapi, lebih dari itu,
keharusan menjaga lidah merupakan unsur ibadah dan akidah.
Fakhruddin Nursyam dalam bukunya Syarah
Arbain Tarbawiyah menyebutkan, empat syarat perkataan yang mengandung
manfaat, yaitu pertama, hendaknya perkataan itu ada tujuan yang
melatarbelakanginya, yaitu untuk meraih manfaat atau menolak bahaya. Perkataan
seseorang yang tidak memiliki tujuan hanya akan memperlihatkan kebodohannya,
menyingkap aib dan kekurangannya, serta menjerumuskannya dalam kesalahan dan
fitnah.
Oleh
karena itu, perkataan seorang Muslim hendaknya muncul dari pemikiran yang
jernih dan memiliki tujuan yang pasti, sehingga selamat dari kesalahan serta
bisa menunjukkan kecerdasan dan keimanannya.
Disebutkan
dalam sebuah atsar, “Lidah seorang yang cerdik berada di belakang akalnya. Apabila
ingin berbicara, ia kembali kepada akalnya. Jika mendatangkan keuntungan ia
akan berbicara, jika mendatangkan bahaya ia akan menahan diri. Sedangkan akal
orang yang jahil berada di belakang lidahnya, ia akan selalu berbicara tentang
semua hal yang terpampang di depannya.”
Kedua,
hendaknya perkataan itu diucapkan pada tempat dan waktu yang tepat, sehingga
mendatangkan manfaat yang besar. Pasalnya, perkataan yang tidak tepat waktu dan
tempatnya, tidak banyak mendatangkan manfaat, bahkan bisa menimbulkan bahaya
dan fitnah.
Oleh
karena itu, seorang Muslim hendaknya senantiasa memperhatikan situasi dan
kondisi yang melingkupinya ketika hendak mengeluarkan suatu perkataan. Disebutkan
dalam atsar, “Setiap situasi dan kondisi memiliki perkataan tersendiri.”
Ketiga,
hendaknya perkataan itu diucapkan sebatas kebutuhan. Segala sesuatu pasti
memiliki batas dan kapasitas tertentu. Perkataan yang melebihi batas dan
kapasitasnya hanya akan mengurangi manfaat dan pengaruhnya, di samping juga
menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi yang mendengarkannya. Dalam atsar
disebutkan, “Semoga Allah mencerahkan wajah seorang hamba yang meringkas
pembicaraannya dan mencukupkan diri sebatas kebutuhan.”
Keempat,
memilih kata-kata yang hendak diucapkan. Karena lidah adalah identitas
seseorang, hendaknya ia senantiasa memilih kata-kata yang tepat dan
mengevaluasi semua perkataannya. Kepada pamannya, Abbas RA, Nabi SAW pernah
berkata, “Aku kagum dengan ketampananmu.” Ia bertanya, “Apa ketampanan seorang
lelaki, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Lidahnya.”
Islam memberikan tuntunan dalam berbicara agar terhindar dari hal-hal yang
tidak diinginkan. Pertama, tidak banyak bicara atau diam. Rasulullah
SAW bersabda, “Barangsiapa yang diam pasti selamat.” (HR Tirmidzi).
Kedua, mengendalikan lidah dari perkataan
yang tidak bermanfaat. Sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang menahan lidahnya
pasti Allah menutupi auratnya.” (HR Ibnu Dunya).
Ketiga,
berkata yang baik. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau (kalau
tidak bisa) maka hendaknya ia diam.” (HR Muslim).
Keempat, takut kepada Allah SWT. “Sesungguhnya Allah ada
di sisi setiap orang yang berkata, maka hendaklah takut kepada Allah, Allah
mengetahui apa yang diucapkannya.” Ketahuilah, bahwa setiap ucapan yang keluar
dari lidah akan dicatat untuk dimintai pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman,
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat
pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaf [50] : 18).
Kemudian, DR Musthafa Dieb Al-Bugha dalam
kitabnya Al-Wafi Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, menambah bahwa etika
orang beriman dalam bermuamalah dengan sesamanya adalah memperhatikan adab dalam
berbicara. Di antara adab-adab itu adalah, pertama, seorang
muslim hendaknya senantiasa berusaha membicarakan hal-hal yang mendatangkan
manfaat, dan tidak mengucapkan ucapan yang tidak diperbolehkan. Perkataan yang
tidak berguna tersebut di antaranya adalah ghibah, namimah, mencela
orang lain.
Kedua, tidak banyak berbicara. Karena dengan banyak
bicara, meskipun dalam hal yang diperbolehkan, bisa jadi menjerumuskan kepada
hal yang dilarang ataupun makruh. Sabda Nabi SAW, ”Janganlah kalian banyak
bicara, yang bukan zikir kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan zikir
kepada Allah, akan membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari
Tuhannya adalah yang hatinya keras.” (HR Tirmidzi).
Ketiga, wajib berbicara ketika diperlukan, terutama untuk
menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi munkar. Ini adalah sikap mulia yang
jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa, karena orang yang
mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu.
Dengan demikian, jika setiap kita mampu
mengendalikan lidah dari perkataan yang mengandung kebatilan, seperti umpatan, hardikan, penghinaan, ejekan,
olok-olokan, adu-domba, hasutan, dan sejenisnya, niscaya tidak akan ada
perselisihan dan perdebatan yang berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Wallahu
a’lam.
- Pikiran Rakyat, Renungan Jumat, 18/5/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar