Minggu, 11 Januari 2009

GAYA KAMPANYE PASCA PUTUSAN MK

Oleh Imam Nur Suharno SPd MPdI
Pemerhati Sosial dan Kepala MTs Husnul Khotimah Kuningan

Nomor urut tak akan berperan lagi dalam menentukan calon anggota legislatif (caleg) terpilih pada pemilu 2009. Caleg terpilih akan ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Sistem yang semula proporsional terbatas bergeser menjadi proporsional murni. Perubahan tersebut terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materiil (judicial review) Pasal 214 Undang-Undang No 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.
Tahap penghitungan suara pada pemilu 2009 nanti adalah: (1) Menentukan jumlah kursi yang diraih partai politik peserta pemilu. Seluruh suara sah, baik suara yang mencoblos tanda gambar partai dan nama caleg sekaligus, dari seluruh partai di sebuah daerah pemilihan (dapil) dikumpulkan. Seluruh suara itu kemudian dibagi dengan alokasi kursi untuk dapil itu, untuk menentukan bilangan pembagi pemilih (BPP). Jumlah kursi yang diraih masing-masing partai ditentukan berdasarkan BPP.
(2) Menetapkan kepada siapa kursi didistribusikan. Pascaturunnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kursi distribusi kepada caleg yang meraih suara sah terbanyak, yaitu yang mencoblos tanda gambar partai dan nama caleg sekaligus yang dihitung. Suara yang mencoblos tanda gambar saja tidak digunakan menentukan caleg peraih kursi.
Putusan MK tersebut ditanggapi beragam oleh para petinggi partai. Mahfudz Siddiq, Ketua Fraksi PKS DPR, mengatakan bahwa para caleg PKS akan lebih bergairah. Anas Urbaningrum, Ketua Partai Demokrat, suara terbanyak jelas lebih adil. Wiranto, Ketua Umum Partai Hanura, MK telah menghormati hak rakyat. Irgan Chairul Mahfidz, Sekjen PPP, putusan MK akan membuat partai yang tidak menerapkan suara terbanyak akan kelabakan. Dan Pramono Anung, Sekjen PDIP, mengatakan bahwa putusan MK melebihi kewenangannya.
Pasca turunnya putusan MK tersebut tentu akan berpengaruh terhadap gaya kampanye partai dan caleg. Sebelum turunnya putusan MK, masing-masing partai memasang kader-kader terbaiknya ditempatkan pada nomor urut jadi, sementara nomor urut sepatu diisi oleh para tokoh masyarakat yang sekiranya dapat mendulang perolehan suara partai (vote getter).
Para caleg nomor urut jadi ini dalam aktifitas kampanyenya banyak mengandalkan subsidi peroleh suara dari nomor urut di bawahnya karena memang sangat diuntungkan. Sementara caleg nomor urut buncit merasa keberadaannya dalam pencalegan hanya sebagai pelengkap. Jadi dirasa kurangnya greget dari para caleg dalam berkampanye.
Dengan putusan MK tersebut membuat para caleg semakin bergairah, terutama caleg nomor urut bawah, karena perolehan kursi tidak ditentukan dengan nomor urut, tetapi ditentukan sepenuhnya dengan suara terbanyak. Hal ini membuat partai dan caleg harus merubah gaya kampanyenya. Disinilah rasa demokrasinya akan lebih terasa. Dan disini pula akan teruji siapa yang sebenarnya tokoh atau yang dipaksa menjadi tokoh.
Ada beberapa gaya kampanye yang penulis tawarkan. Pertama, individualitas. Gaya kampanye ini lebih mengedepankan pada pola silaturrahim, door to door, dari pintu ke pintu. Masyarakat bisa bertemu secara langsung dengan caleg yang akan dipilihnya, yang selama ini mereka disuguhi kampanye dengan model penyebaran stiker, spanduk, iklan, maupun bendera. Melalui gaya ini pemilih memiliki alasan kuat dan rasional untuk memilih calon. Karenanya para caleg harus mampu mengkomunikasikan visi, misi dan programnya dengan menggunakan bahasa masyarakat sesuai tingkat kecerdasannya.
Kedua, kolektif. Gaya kampanye kolektif ini lebih mengedepankan pola jaringan struktur dan kebersamaan untuk memenangkan dan mengamankan suara partai. Karena penentuan jumlah kursi yang diraih partai politik peserta pemilu merupakan akumulasi suara sah, baik suara yang mencoblos tanda gambar partai dan nama caleg sekaligus, dari seluruh partai di sebuah daerah pemilihan (dapil) dikumpulkan. Seluruh suara itu kemudian dibagi dengan alokasi kursi untuk dapil itu, untuk menentukan bilangan pembagi pemilih (BPP). Jumlah kursi yang diraih masing-masing partai ditentukan berdasarkan BPP.
Kedua gaya kampanye di atas tentu ada kelebihan dan kekurangan. Di antara kekurangan gaya kampanye individualitas adalah kurangnya soliditas partai (para caleg). Ini rawan gesekan antar caleg dalam satu partai. Karena caleg-caleg ini melakukan kampanye untuk meraih kepentingan pribadi dengan mengesampingkan soliditas partai. Sedangkan di antara kekurangan dari gaya kampanye kolektif adalah kurangnya pengetahuan atau pengenalan masyarakat tentang caleg-caleg yang ditawarkan.
Untuk menutupi kekurangan kedua gaya kampanye di atas, maka ada alternatif gaya kampanye ketiga yaitu kombinasi gaya kampanye individualitas dengan gaya kolektif. Semoga dengan perubahan sistem penghitungan suara, yang semula proporsional terbatas menjadi proporsional murni dapat membawa arah demokrasi yang lebih baik. Wallahu a’lam.

1 komentar:

Pilihkata mengatakan...

assalamu'alaikum. Ustadz. ana yang lagi belajar ngeblog ikut sedikit komentar.
disamping hala-hal yang antum sebutkan diatas. mau tidak mau ini menjadi ujian keikhlasan bagi teman-teman yang jadi caleg.